December 5, 2025
Culture Madge PCR Opini

Dari ‘Backburner’ sampai ‘The Apartment We Won’t Share’: Kenapa Sosok Ibu dan Ayah Kerap Muncul di Lagu NIKI?

Lagu-lagu NIKI enggak cuma soal patah hati. Ia menyingkap bagaimana relasi dengan ibu dan ayah membentuk cara kita mencintai orang lain, dari generasi ke generasi.

  • August 22, 2025
  • 7 min read
  • 6228 Views
Dari ‘Backburner’ sampai ‘The Apartment We Won’t Share’: Kenapa Sosok Ibu dan Ayah Kerap Muncul di Lagu NIKI?

Entah sudah berapa ratus kali aku memutar Backburner, tapi lagu ini selalu terasa segar sejak rilis dalam album kedua NIKI, Nicole (2022). Mungkin karena efeknya yang bikin eargasm—reaksi emosional intens setelah mendengar musik. 

Suatu malam, ketika memutarnya lagi, ada yang berbeda. Baitnya menghantuiku, terutama penggalan lirik: 

“Maybe I blame my mother bleeding into my stride / Maybe it was my father and his wandering eyes (It’s their fault…)” 

Aku tersentak: Kenapa NIKI menyeret sosok ibu dan ayah, seolah menuding mereka sebagai alasan di balik keputusannya menjadi backburner

Mengutip Urban Dictionary, backburner merujuk pada seseorang yang menarik tapi belum siap dijadikan pasangan. Mereka tetap “disimpan”, interaksi dijaga secara inkonsisten, bukan prioritas, bahkan keberadaannya dinilai tidak terlalu penting. Orang yang berada di posisi ini kerap terjebak dalam siklus menyakitkan, yakni orang yang disayangi pergi dan kembali tanpa penjelasan, meski harapan tetap ada.  

Baca juga: ‘High School in Jakarta’: Nostalgia dan Patah Hati NIKI di Masa SMA 

Seperti ditulis Austread, they keep coming back—not dengan niatan buruk, tapi tidak juga dengan niat yang baik. Sometimes, it’s love. Sometimes, it’s loneliness. And sometimes, it’s just a habit. 

Sentimen ini NIKI tuangkan dalam Backburner, dari sudut pandang seseorang yang rela menempati posisi cadangan, selalu tersedia untuk orang yang disayangi, berharap suatu hari dicintai secara utuh, meski untuk saat ini hanya pilihan kedua. 

Banyak pendengar, terutama perempuan muda di Indonesia, merasa lagu ini dekat dengan pengalaman mereka. Di TikTok, mereka bercanda menyebut diri sebagai “pasien NIKI” yang mengidap “penyakit backburnerngitis”. Bahkan sampai muncul pertanyaan kocak: “kira-kira backburnerngitis dicover BPJS enggak ya?” dan doa seperti “sehat-sehat pejuang second choice, semoga cepat sadar ya!” 

Selain Backburner, track lain dari Nicole (2022) juga punya benang merah serupa: The Apartment We Won’t Share (TAWWS). Lagu ini menghadirkan sosok ibu dan ayah lewat lirik: 

“The son you never wanted is the wound your father left / And the mother I won’t be is probably for the best” 

NIKI seakan ingin menunjukkan suatu hubungan tidak pernah berdiri sendiri—pola relasi dengan orang tua meninggalkan jejak dan membentuk cara kita berelasi ketika dewasa. 

Dalam TAWWS, “apartemen” menjadi metafora hubungan jangka panjang—impian masa depan yang gagal terwujud karena hubungan kandas. Lewat bait ini, NIKI bercerita tentang tokoh utama yang memilih putus untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang tersayang dari luka yang sama. Meski begitu, perasaan untuk tetap bersama masih ada. 

Fenomena ini relate dengan pendengar muda. Terbukti TAWWS jadi sound TikTok untuk video yang menampilkan screenshot obrolan terakhir dengan pasangan. Ini sekaligus mengungkap alasan perpisahan dan runtuhnya rencana masa depan. 

Jika kedua lagu ini terasa menyedihkan, pertanyaan berikut muncul: Kenapa NIKI sering mengaitkan dinamika relasi romantis dengan pengaruh ibu dan ayah? Apakah betul karena akar pengalaman emosional dan pola asuh yang ia ceritakan bersifat lintas-generasi? 

Baca juga: ‘Mental Load’: Beban Tak Terlihat Perempuan Pemikul Kehidupan 

Relasi Anak dan Orang Tua yang Terselip di Lagu NIKI 

Bohman dalam Music as Representation (2005) dan Demissie lewat The portrayal of COVID-19 in Ethiopian song lyrics (2023) mencatat, musik kerap merepresentasikan realitas di sekitarnya. Gambaran terkait kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang berkembang tengah masyarakat biasanya akan tercermin lewat lirik lagu yang diciptakan. 

Bahkan dalam bentuk yang lebih subtil, seperti yang dikatakan John Fiske lewat tulisannya Understanding Popular Culture (1989), musik mampu memotret keseharian–mulai dari masalah relasi interpersonal, pola pengasuhan anak, hingga dinamika keluarga. 

Jika dikaitkan dengan latar belakang NIKI yang dibesarkan Asia, spesifiknya di Indonesia, maka kecenderungan untuk memasukkan figur orang tua ke dalam narasi di lagunya menjadi sangat masuk akal.  

Di wilayah Asia, dinamika relasi anak dan orang tua sangat kompleks. Menurut Konselor pengasuhan anak Hafiz Aqib lewat tulisan pribadinya di Medium, hubungan ini biasanya bersifat hierarkis dan otoriter, menekankan kedisiplinan dan kesesuaian pada ekspektasi sosial, sekaligus mengabaikan kapasitas agensi anak. Ada tekanan kuat untuk menjaga reputasi keluarga atau face-saving. Serta mindset untuk tak kalah dari keluarga lain yang membuat anak dibebani harapan besar. 

Selain itu, ada kecenderungan untuk meredam emosi, termasuk ekspresi kasih sayang. Kepedulian orang tua pun lebih sering ditunjukkan lewat kritik daripada pujian. Dalam kerangka yang lebih luas, pola asuh ini menurut Bornstein & Lansford dalam Journal of Parenting: Science and Practice (2011), sebenarnya adalah cara orang tua mewariskan budaya dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. 

Dinamika relasi ini juga dipengaruhi oleh peran gender tradisional di Asia: Ibu biasanya memikul tanggung jawab lebih besar dalam pengasuhan anak dan urusan domestik, bahkan ketika ibu juga bekerja. Sementara ayah, kebanyakan tidak terlibat dalam urusan di rumah dan hanya fokus pada peran pencari nafkah. Hal ini membuat ibu merasa kewalahan dan rentan mengalami stres, depresi, hingga parental burn out

Dampaknya, menurut temuan Chen & Kovacs (2013), stres, kecemasan, atau depresi bisa membuat ibu kesulitan memberikan pola asuh yang sehat dan responsif terhadap kebutuhan anak.  

Akibat dari berbagai tekanan dan pola asuh yang kurang mendukung ini, Anugrah dan Manalu dalam tulisannya The Relationship Between Authoritarian Parenting and Stress Levels Among Indonesian Adolescents: A Cross-Sectional Study (2025) menyebut, anak-anak jadi gampang stress, merasa rendah diri, sulit mengekspresikan emosi, dan tidak berani mengambil keputusan. Kondisi ini bisa mengganggu prestasi akademik, kesehatan mental jangka panjang, dan masalah relasi di kemudian hari.  

Situasi itu semakin diperumit oleh pola komunikasi yang ambigu dan tersirat. Hocker & Wilmot dalam Interpersonal Conflict (2018) menyebut, dalam masyarakat kolektif yang mengutamakan keharmonisan seperti di Asia, perbedaan pendapat dalam keluarga kerap diselesaikan dengan strategi avoiding atau accommodating–mirip dengan people pleasing

Pola komunikasi ini sering menimbulkan ketidakpuasan, khususnya bagi anak. Karena itu, wajar jika keluhan atau luka generasional disalurkan lewat medium yang tidak konfrontatif, seperti musik. Sebab, menurut Fiske dalam bukunya Reading the Popular (1989), musik biasanya lahir dari kreativitas kelompok yang berada di posisi lemah atau tersisihkan dalam suatu sistem. 

Baca juga: Pak, Bu, Mendengar Anak Bukan Tanda Kelemahan Orangtua

NIKI Ajak Kita Kenali Luka yang Berasal dari Rumah 

NIKI barangkali memang tidak bermaksud menulis lagu tentang relasi romantis semata. Dengan menyisipkan figur ayah dan ibu, yang kita dengar sebenarnya adalah nyanyian tentang relasi yang paling pertama dan paling rumit yang kita kenal: Hubungan dengan orang tua.  

Di saat yang sama, ia juga mengajak pendengarnya–yang sebagian besar adalah anak muda dalam fase pencarian jati diri dan belajar membangun hubungan–untuk menelusuri akar masalah relasi yang berawal dari rumah, bukan sekadar kesalahan individu. 

Konsistensi narasi ini, NIKI tegaskan kembali lewat Heirloom Pain dari album terbarunya, Buzz (2024), yang secara gamblang memotret luka emosional sebagai warisan turun-temurun dari generasi ke generasi. Dalam liriknya, ia menulis: 

“Walking around with heirloom pain / Dad’s temper and mom’s mistakes / Grandma left but her heartache stayed / Now I’m always afraid to take up space / I’m doing it anyway / People fall in love and fuck up / And have kids who fall in love and fuck up / Who have kids that fall in love / And have you / You will fall in love and fuck up too” 

Meskipun NIKI tak pernah memberi penjelasan resmi di media mana pun, pesan yang ia bawa lewat Backburner, TAWWS, hingga Heirloom Pain ini sangat jelas: musiknya adalah cara untuk mengajak pendengarnya mengenali luka yang diwariskan dari rumah beserta rentetan akibatnya. 

Seperti kata Fisher dan Salmon dalam Human Nature and Pop Culture (2012), musik bukan cuma hiburan, tapi juga sumber daya bagi si pencipta karya untuk memengaruhi cara pandang dan mengarahkan pilihan pendengarnya. 

Sementara bagi pendengar, musik menawarkan informasi tentang pilihan hidup serta konsekuensinya. Dalam konteks ini, lagu-lagu NIKI bisa dibaca sebagai surat terbuka kepada para orang tua–pengingat bahwa pola asuh dan luka mereka bisa terbawa pada perilaku anak-anaknya dalam berelasi di masa depan. 

Dan buatku pribadi, lagu-lagu NIKI tak pernah gagal membuatku bergumam, “Loh, kok liriknya persis cerita hidupku?” 

Sebagai Asian kid, aku merasa ada bagian diriku yang ikut tersuarakan. Ada semacam kerumitan emosional yang membuatku selalu kehabisan kata-kata tiap kali harus menggambarkan hubunganku dengan orang tua dan bagaimana pengaruhnya dalam relasi keseharianku. 

About Author

Brigitta Novia Lumakso

Gita menyukai percakapan yang masuk akal dan logis. Tapi, di banyak kesempatan, ia justru sering membiarkan intuisi menuntun jalan hidupnya. Di luar itu, ia gemar menyelami keindahan lirik lagu Taylor Swift.