Pak, Bu, Mendengar Anak Bukan Tanda Kelemahan Orang Tua
Orang tua yang mau mendengarkan anak, digadang-gadang bakal menciptakan lingkungan keluarga sehat dan harmonis.

Baru-baru ini, X dihebohkan dengan cerita orang tua “anti-mainstream” yang mendukung pilihan anak. Dilansir dari akun @delonixregia, seorang netizen berbagi pengalaman saat berkumpul dengan keluarga. Seperti tipikal pertemuan keluarga di Indonesia, ia dihujani pertanyaan tentang kapan menikah atau punya anak. Alih-alih ikut mencecar anak, sang ayah justru menunjukkan perlawanan.
Ia justru membela anaknya dengan bilang, “Jangan atur-atur, dia anak gue.”
Pembelaan ini adalah anomali di antara karakter orang tua yang biasanya mengambil peran untuk mendesak anak memenuhi tuntutan masyarakat: Menikah, beranak-pinak. Sang ayah, sebaliknya, memilih untuk melindungi kesehatan mental anaknya dengan memberi dukungan penuh.
Masalahnya, tak semua anak punya privilese memiliki orang tua suportif yang mau mendengarkan kemauan anak.

Tangkapan layar cerita salah satu netizen di media sosial X.
Zaenal, 65 tahun, adalah contoh nyata dari orang tua yang merasa bahwa keputusannya selalu jadi yang terbaik untuk anak-anaknya. Sebagai ayah dari tiga anak, Zaenal merasa memiliki hak penuh untuk menentukan arah hidup anak-anak, sebuah pandangan jamak di kalangan orang tua yang terbiasa dengan pola asuh otoriter.
“Karena kan anak itu kita yang urus, kita yang rawat, masa enggak nurut. Saya juga perlu untuk menentukan apa yang terbaik untuk dia kan itu wajib,” ujarnya dengan tegas.
Selama anak mendengarkan dan mengikuti nasihat orang tua, ia percaya segala masalah bisa diselesaikan. Pemikiran ini, meskipun datang dari niat baik, sering kali justru mengabaikan pentingnya ruang bagi anak untuk menyuarakan pendapat dan keinginan sendiri.
Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya
Inilah yang dialami Egi Julia, 24 tahun, perempuan asal Tangerang. Ia mengisahkan pengalaman tumbuh di bawah pengaruh orang tua yang terlalu keras dan mengekang kebebasan berekspresi. Sejak kecil, ia tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
“Bahkan saat aku kecil, enggak pernah dibolehin nangis oleh ayah untuk mengungkapkan rasa sakit. Aku selalu diomelin dan dampak dari itu banyak banget sekarang yang aku rasain,” kenangnya.
Egi tidak menyalahkan penuh orang tua, tetapi kecewa karena emosinya sering kali diabaikan. Perasaan yang terpendam sejak kecil itu celakanya berlanjut ke masa dewasa, sehingga mengganggu kesehatan mentalnya.
Namun, ada juga contoh positif dari orang tua yang mulai berusaha berubah untuk memberikan ruang bagi anak-anak mereka dalam menentukan pilihan hidup. Sarjono Santoso, sopir taksi online, tersadar dari kesalahan masa lalunya sehingga tak lagi memaksakan kehendak pada anak.
“Dulu saya memaksakan anak kuliah di tempat yang saya pilih. Anaknya enggak berani menolak, dan akhirnya kuliah setengah hati,” ungkapnya kepada Magdalene.
Melihat dampak negatif dari tindakannya, Sarjono melakukan evaluasi diri dan berusaha untuk mengubah pendekatannya. “Saat ini, saya tidak mau memaksakan kehendak pada anak. Kehendak anak yang harus didorong selama itu benar, itu adalah evaluasinya,” katanya.
Sarjono menyadari orang tua seharusnya sekadar memberi arahan dan dukungan, bukan menentukan segala sesuatunya untuk anak. Yang dilakukan Sarjono ini nyatanya bisa diadaptasi oleh orang tua lain. Bagaimana caranya?
Membangun Keluarga yang Mendukung Kesehatan Mental Anak
Lusty Ro Manna, perencana di Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS) Indonesia, menggarisbawahi pentingnya perubahan budaya dalam keluarga demi kesehatan mental anak-anak.
“Kita perlu berani membangun budaya baru dalam keluarga yang bukan didasarkan pada patriarki, tetapi menghargai keinginan dan pendapat anak,” ujarnya.
Menurut Lusty, budaya yang berkembang dalam keluarga patriarki dapat berkontribusi pada kekerasan fisik maupun psikologis, yang tentunya berdampak buruk bagi kesehatan mental anak. Jika budaya keluarga yang terbangun tidak memberikan ruang untuk perbedaan pendapat atau emosi, anak-anak akan merasa terkekang dan kehilangan kesempatan untuk berkembang secara optimal.
Penting bagi orang tua untuk memahami, setiap anak punya kebutuhan dan potensi yang berbeda. Tidak semua anak akan mengikuti jalan yang sama, dan mendengarkan mereka bisa membantu orang tua lebih memahami karakter dan keinginan anak. Dalam banyak kasus, anak-anak yang merasa didengar dan dihargai akan merasa lebih percaya diri dalam mengambil keputusan hidup.
Sebaliknya, ketika orang tua terlalu mengatur segalanya tanpa memberi kesempatan anak untuk berbicara, bisa timbul rasa tidak puas dan hubungan yang renggang antara orang tua dan anak. Ini sejalan dengan riset Dunham dan Shannon Dermer, profesor dari Governors State University (2011). Kata mereka, orang tua bisa dianggap toksik ketika berperilaku merugikan, seperti menekan psikologi anak, memanipulasi anak dengan pemberian imbalan agar permintaan orang tua dituruti, serta melibatkan anak dalam masalah orang tua.
Baca juga: Tips Hadapi Lelaki yang Suka ‘Mansplaining’, Berdasarkan Pengalaman Nyata
Penelitian oleh Siti Kholifah dari Universitas Bina Bangsa (2022) dalam jurnal Pengaruh Toxic Orang Tua Terhadap Karakter dan Moralitas Anak juga turut mengamini, pola asuh yang toksik sering kali meninggalkan trauma mendalam pada anak, seperti memaksa kehendak, mengejek, atau membandingkan anak dengan orang lain.
Namun, meski ada penelitian yang menunjukkan dampak buruk dari pola asuh orang tua yang toksik, ada juga langkah-langkah yang bisa diambil untuk memperbaiki hubungan tersebut. Menurut psikolog Fitri Jayanti, Co-Founder dari Cup of Stories, sangat penting bagi orang tua untuk memberi batasan yang sehat bagi anak dan berkomunikasi secara terbuka.
“Pola ini biasanya muncul ketika orang tua kelelahan setelah bekerja. Anak perlu mengetahui kapan pola ini muncul dan mencari perlindungan jika diperlukan,” jelasnya.
Egi Julia juga menceritakan, “Dulu saya sering disumpahi orang tua untuk tidak sukses dan menjadi perawan tua. Ini berdampak pada sikap saya yang sekarang cenderung mengabaikan perkataan mereka.”
Fitri menambahkan peran orang tua dalam memberikan rasa aman bagi anak sangatlah penting. “Orang tua harus membantu anak menentukan standar kesuksesan mereka sendiri. Seperti pohon dengan akar yang kuat, anak-anak yang mendapatkan dukungan emosional yang sehat akan tetap tegar meskipun menghadapi tantangan besar,” ucap Fitri.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak. “Sebagai orang tua, lebih baik bertanya terlebih dahulu, ‘Apa yang bisa ayah/ibu bantu?’ untuk mengetahui kebutuhan anak dan memberi dukungan yang tepat,” katanya.
Salah satu cara orang tua dapat membantu anak untuk berkembang dengan lebih sehat adalah dengan membangun komunikasi yang penuh pengertian. Tanpa komunikasi yang baik, anak akan merasa terisolasi dan bingung dalam menentukan langkah hidup mereka. Maka dari itu, sangat penting untuk tidak hanya mendengarkan kata-kata anak, tetapi juga perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata tersebut.
Dalam hal ini, membangun kepercayaan adalah kunci utama. Orang tua perlu menciptakan suasana yang memungkinkan anak untuk berbicara tanpa rasa takut akan hukuman atau kecaman. Dengan begitu, anak dapat mengembangkan rasa percaya diri dan rasa aman yang sangat penting untuk kesehatan mental mereka. Dalam banyak kasus, komunikasi yang sehat ini tidak hanya membantu anak merasa didengar, tetapi juga memberikan mereka rasa kasih sayang dan dukungan yang stabil dari orang tua.
Baca juga: Laki-Laki Tidak Bercerita: Ketika Maskulinitas Berujung Beban Mental
Untuk menciptakan keluarga yang harmonis dan mendukung kesehatan mental anak, orang tua perlu mendengarkan anak mereka dengan penuh perhatian dan empati. Sebuah keluarga yang penuh kasih, adil dalam membagi perhatian, dan mendukung keputusan anak akan menciptakan lingkungan yang aman bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Seperti yang diungkapkan oleh Fitri Jayanti, “Keluarga adalah tempat saling memahami dan membahagiakan satu sama lain, dan anak akan merasa nyaman dan aman jika mereka merasa didengar dan dihargai oleh orang tuanya.”
Dengan membangun budaya keluarga yang lebih terbuka dan inklusif, anak-anak dapat berkembang menjadi individu yang lebih percaya diri, lebih sehat secara mental, dan lebih siap menghadapi dunia luar. Hal ini tentunya akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kehidupan mereka, serta menciptakan hubungan keluarga yang lebih harmonis dan penuh kasih.
