Mengundang Zionis dan ‘Manel’: Bukti Universitas Indonesia ‘Overrated’?
Hampir dua dekade saya menghabiskan waktu di Universitas Indonesia (UI). Saya pertama kali masuk sebagai mahasiswa pada 2006 dan kemudian menjadi pengajar lembaga bahasa serta dosen paruh waktu sekitar tiga belas tahun lalu. Selama waktu itu, rasa bangga sebagai “orang dalam” perlahan terkikis oleh realitas. Kampus ini memiliki reputasi akademik baik, tapi manajemen dan kultur internalnya jauh dari sempurna.
Jika akademik masih bisa bersaing, manajemen UI justru tampak seperti miniatur pemerintahan: Rentan kecurangan, pimpinan yang tidak selalu kompeten, dan penindasan seperti kekerasan seksual masih kerap terjadi. Citra UI yang dijulang tinggi sebagai universitas favorit memberi kesan overrated, karena kualitas internalnya belum sejalan dengan reputasi publik.
Baca juga: Apa yang Kita Pelajari dari Polemik Disertasi Bahlil di UI?
Undangan Peter Berkowitz dan Kritik terhadap Kultur Akademik
Bukti paling nyata adalah undangan UI terhadap Peter Berkowitz pada (23/8) lalu. Berkowitz, akademisi keturunan Yahudi dari Stanford University, jelas mendukung Israel menurut publikasinya di situs http://www.peterberkowitz.com/. Sebanyak 16 dari 84 artikelnya pada 2024–2025 jelas membahas keunggulan Israel dan membela kebijakan Zionis. Bahkan dalam buku Israel and the Struggle Over the International Laws of War (2012), Berkowitz mendukung operasi militer Israel terhadap Hamas dengan dalih “membela diri”.
Mengundang zionis kulit putih juga menunjukkan mental kolonialisme yang terselip dalam budaya kampus.
Membaca siaran pers UI yang mengaku khilaf dan kurang berhati-hati menjadi miris. Siapa pun, tanpa gelar tinggi sekali pun, bisa mengetahui Berkowitz memiliki afiliasi pro-Zionis hanya dengan browsing sederhana. Undangan ini menunjukkan lemahnya proses seleksi narasumber dan minimnya sensitivitas terhadap konteks geopolitik.
Jika UI tidak menempatkan isu genosida Palestina sebagai pertimbangan utama, bagaimana nasib sivitas akademikanya sendiri?
Baca juga: Kasus KS Ketua BEM UI Melki: Warga Harus Belajar Percaya Korban sampai Terbukti Sebaliknya
Wawancara saya dengan mantan ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI Manneke Budiman, pada 2024, mengungkap kurangnya perhatian kampus terhadap perlindungan korban. Pendanaan rehabilitasi korban maupun pelaku sulit diakses karena birokrasi yang rumit.
Dalam jurnal Relasi Kuasa dan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus oleh Sulistyowati Irianto, guru besar Fakultas Hukum UI, terungkap pelaku kekerasan seksual sering berada dalam posisi superior. Sementara korban—umumnya mahasiswa—tak berdaya. Dosen dan dosen tamu disebut sebagai dua kategori pelaku. Penanganan kasus acap dihentikan karena korban takut gagal lulus atau kehilangan kesempatan karier.
Minimnya perhatian terhadap kekerasan seksual tidak lepas dari budaya patriarki dan bias gender di UI. Hal ini terlihat jelas saat orasi Peter Berkowitz, yang diselenggarakan dalam format manel atau all-male panel di Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Pascasarjana UI. Selain Berkowitz, pembicara laki-laki lain adalah Sigit P. Santosa, Direktur Utama PT Pindad, perusahaan yang memproduksi alat perang dan alat berat untuk pertambangan.
Pertanyaannya, apa relevansi figur yang menghalalkan perang dan eksploitasi alam ini bagi konteks akademik?
Citra UI yang dijulang tinggi sebagai universitas favorit memberi kesan overrated, karena kualitas internalnya belum sejalan dengan reputasi publik.
Daripada mempertahankan manel, UI seharusnya mengundang akademisi perempuan untuk menyeimbangkan dominasi laki-laki. Jika Berkowitz hadir untuk membahas Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM), akademisi perempuan bisa menunjukkan bahwa STEM bukan hanya ranah laki-laki dan memberi perspektif baru bagi mahasiswa. Banyak figur berkompeten lain juga bisa berbagi wawasan tanpa menimbulkan kontroversi geopolitik.
Mengundang zionis kulit putih juga menunjukkan mental kolonialisme yang terselip dalam budaya kampus. Sigit, meskipun orang Indonesia, dianggap ‘unggul’ karena lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT). Berpuluh tahun berinteraksi dengan akademisi, saya bisa jamin tidak semua lulusan luar negeri, termasuk kulit putih, lebih unggul dibandingkan lulusan universitas lokal.
Baca juga: Relokasi Warga Gaza ke Pulau Galang ala Prabowo: Ngawur dan Berpotensi Jadi Penjajahan Terselubung
Kualitas Internal Kampus yang Perlu Ditingkatkan
Cemerlangnya UI tidak tercoreng hanya karena undangan kontroversial. Namun, perawatan fasilitas lambat, parkir buruk, proyektor rusak, internet tidak stabil, dan toilet kotor menunjukkan manajemen internal yang lemah. Pimpinan lebih fokus proyek eksternal ketimbang kualitas sehari-hari. Bahkan langganan parkir sederhana untuk dosen baru dikabulkan setelah sebulan.
Meski keburukan ini tidak merata di semua fakultas, perbaikan kualitas internal harus setara dengan kemampuan melakukan background checking terhadap narasumber. UI bisa tetap menjadi universitas unggulan, tapi integritas dan empati harus menyertai reputasi akademik.
Apakah UI yang overrated membuatnya tidak layak untuk kuliah? Tentu tidak. Mahasiswa tetap bisa mengeksplorasi ilmu, pengalaman dosen, dan jejaring. Namun, reputasi besar bukan jaminan keberhasilan akademik atau profesional; lingkungan kerja sehat menekankan hak, prestasi, dan aktualisasi tanpa memandang almamater.
Layaknya negara, UI menjadi overrated karena pihak-pihak yang tidak mampu mempertahankan kerja baiknya. Pengawasan menyeluruh perlu diterapkan agar setiap kegiatan menjunjung Hak Asasi Manusia, kemerdekaan, dan keadilan.
Retno Daru Dewi G. S. Putri adalah pengajar bahasa Inggris paruh waktu di Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia. Topiknya meliputi isu gender, kesehatan mental, filsafat, bahasa, dan sastra.
















