December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

‘Bro’ Mengira Rumah dan Santunan Bisa Beli Nyawa Warganya 

Kematian Affan Kurniawan dan banyak orang lainnya, meninggalkan duka buat keluarga. Santunan dan rumah baru tak mampu menebus kehilangan.

  • September 3, 2025
  • 5 min read
  • 4445 Views
‘Bro’ Mengira Rumah dan Santunan Bisa Beli Nyawa Warganya 

“Uang miliaran tidak akan membuat anak saya kembali.”

Kalimat itu diucapkan Zulkifli, ayah Affan Kurniawan, di tengah pejabat yang datang membawa janji santunan dan pekerjaan. Keluarga Affan menerimanya karena hidup harus terus berjalan. Namun yang mereka inginkan bukan donasi tapi keadilan buat si mendiang. Negara salah alamat. 

Kronologi kematian Affan bisa dicatat dengan rapi, tetapi tidak ada catatan untuk kursi makan yang kosong, pintu yang tak lagi diketuk, atau ibu yang menunggu kepulangan anaknya. Santunan mungkin datang, rumah baru diserahkan, tapi tidak ada angka yang bisa mengukur kehilangan itu. Itulah ongkos duka yang tak pernah diakui negara. 

Kesedihan serupa juga dialami ibu lain yang menolak diam, Maria Catarina Sumarsih. Anaknya, Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya, ditembak mati dalam Tragedi Semanggi I, 1998. Sejak itu, setiap Kamis, Bu Sumarsih berdiri di depan Istana Negara dengan payung hitam. Delapan belas tahun lebih ia menagih pertanggungjawaban. Presiden silih berganti, aparat berganti seragam, jalan raya di depan Istana berubah berkali-kali, tapi jawaban negara tidak pernah datang. Yang abadi hanya payung hitam itu dan kesedihan seorang seorang ibu. 

Lalu ada Suciwati, istri Munir. Suaminya diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia ke Belanda pada 2004, saat hendak melanjutkan studi. Suci tidak hanya kehilangan suami, tapi juga ditinggalkan dengan anak-anak yang tumbuh dalam bayangan kehilangan. Ia menghabiskan tahun-tahun panjang memperjuangkan kebenaran yang ditolak negara. 

Inilah wajah kehilangan di negeri ini: Affan dengan santunan yang tak menyembuhkan, Wawan dengan duka yang bahkan tak diakui, Munir dengan keadilan yang tak pernah ditegakkan. Negara bisa berbeda sikap pada tiap kasus, tapi benang merahnya sama: kesedihan dibebankan pada keluarga, seolah bukan urusan negara. 

Baca Juga: Ribuan Massa Demo di DPR Tuntut Penarikan Tunjangan Anggota DPR

Negara Abai pada Kesedihan dan Utang Publik 

Negara punya kalkulator untuk inflasi, subsidi BBM, hingga utang luar negeri. Namun, ada ongkos lain yang tidak pernah masuk statistik resmi: Kehilangan yang dirasakan keluarga korban, beserta trauma yang merayap dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehilangan ini enggak cuma personal, tetapi juga memengaruhi tatanan sosial di sekitarnya. 

Silvia Federici, dalam Revolution at Point Zero (2012), menulis kerja perawatan, emosi, dan tubuh perempuan menjadi fondasi ekonomi dunia, tapi sering dihapus dari perhitungan resmi. Jika kerja yang tak dibayar saja diabaikan, bagaimana dengan duka yang tak pernah diakui negara? 

Kesedihan dan kecemasan keluarga korban sebenarnya menopang kehidupan sosial. Mereka menjaga ingatan kolektif dan menuntut keadilan. Dalam praktiknya, santunan diberikan untuk kasus Affan, sementara kasus Wawan dan Munir diabaikan sama sekali. Ironisnya, yang paling mahal—nyawa dan kehilangan yang tak tergantikan—justru tak pernah dicatat. Padahal tidak ada uang yang sanggup membeli kembali nyawa yang hilang. 

Lebih dari itu, ketidakpedulian negara membuat luka keluarga korban kian panjang. Mereka harus menghadapi rasa kehilangan sendirian, sekaligus melawan birokrasi yang lambat dan janji yang tidak pernah ditepati. Setiap tindakan atau kebijakan yang seharusnya meringankan beban mereka sering kali bersifat simbolis, tanpa solusi nyata. 

Duka yang tak terlihat ini juga berdampak pada masyarakat luas. Rasa ketidakadilan menimbulkan kecemasan kolektif dan melemahkan kepercayaan warga terhadap institusi publik. Seharusnya negara menghitung dan mengakui kehilangan ini sebagai bagian dari utang moral dan sosialnya, bukan sekadar menganggapnya sebagai “biaya tak terlihat” yang bisa diabaikan. 

Baca Juga: 3 Pelajaran dari Aksi Kamisan dalam Membangun Gerakan Sosial

Duka yang Tidak Ternilai dan Peran Negara 

Definisi membayar bukan berarti memberi bingkisan, santunan, atau beasiswa semata. Membayar berarti mengakui kesalahan dan mengambil tanggung jawab. Membayar berarti memastikan keluarga korban mendapat pemulihan layak, pendidikan bagi anak-anak yang ditinggalkan, dan kebijakan yang sungguh berubah agar nyawa tak lagi berakhir sia-sia di bawah roda atau peluru aparat. 

Ironisnya, sepanjang gelombang demonstrasi yang memakan korban jiwa, tidak ada anggota DPR yang berdiri menemui rakyat. Mereka yang mestinya menjadi suara rakyat bersembunyi di balik pagar tinggi Senayan, atau kabur ke luar negeri—dengan uang rakyat. Sementara rakyat di luar dipukul, ditembaki, diculik, dan digilas mati. 

Duka semacam ini tidak bisa ditutup dengan konferensi pers atau permintaan maaf seremonial. Ia hanya bisa ditebus jika negara berani mengubah cara kerjanya. Dari menutup luka menjadi memulihkan, dari menambah korban menjadi melindungi. Negara bisa membangun jalan tol berlapis beton, tapi membiarkan ibu-ibu berjalan puluhan tahun di bawah payung hitam. Negara bisa menghitung devisa migas, tapi tak pernah menghitung anak-anak yang tumbuh tanpa ayah karena negara sendiri yang merenggut mereka. 

Hari ini, duka kita untuk Affan. Namun di bawah bayangan payung hitam Kamisan dan di wajah Suciwati serta anak-anaknya, kita tahu, duka ini panjang dan menumpuk. Hannah Arendt, dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), menulis tentang banalitas kejahatan. Tentang bagaimana negara bisa menjalankan kekerasan dengan wajah birokrasi yang tenang, seakan-akan duka hanyalah prosedur administrasi. 

Sementara itu Judith Butler, dalam Frames of War: When Is Life Grievable? (2009), mengingatkan tentang hidup yang dianggap “layak diratapi”. Bahwa ada nyawa yang diperingati dengan upacara, tapi di saat bersamaan, ada nyawa lain yang dibiarkan lenyap tanpa pengakuan. 

Affan, Wawan, dan Munir—bersama keluarga mereka—adalah luka paling terbuka bahwa negeri ini masih memilih untuk tidak menghitung kesedihan warganya. 

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Ashoka Fellow (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan. 

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.