June 20, 2025
History Issues Politics & Society

27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri 

Yang hilang menjadi katalis. Di setiap Kamis, nyali berlapis. Marah kami senyala api. Di depan Istana kami berdiri.

  • May 26, 2025
  • 6 min read
  • 985 Views
27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri 

Sumarsih masih ingat, sore itu di basement Rumah Sakit Jakarta. Bukan tempat parkir yang ia tuju, tapi ruang jenazah tempat anaknya, Bernardinus Realino Norma Irmawan—atau Wawan—dibaringkan. Saat kain penutup tubuh itu dibuka, darah masih membekas di kaos putih anaknya.  

“Ditembak dengan peluru tajam standar militer di dada sebelah kiri mengenai jantung. Wawan ketika itu matanya terpejam seperti orang tertidur pulas. Kemudian dua jempol kaki Wawan diikat pakai kain kasa putih,” katanya. 

Wawan adalah satu dari 17 korban tewas dalam Tragedi Semanggi I, 1998. Sejak dikabari Wawan tertembak, Sumarsih tak berhenti berdoa. 

“Sebagai orang tua, tidak lepas selalu mendoakan anak-anak. Supaya selamat, supaya masa depannya baik dan lain sebagainya,” ujarnya. 

Namun doa itu tak menyelamatkan nyawa Wawan. Yang tersisa hanyalah luka, yang perlahan menjelma menjadi perlawanan. 

Sejak 2007, Sumarsih berdiri setiap Kamis di depan Istana, memeluk potret Wawan dalam Aksi Kamisan. Ia menuntut keadilan untuk korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Aksi itu kini telah berlangsung lebih dari 860 kali. 

“Siapa sih yang rela anaknya ditembak, dibunuh? Siapa pun tidak akan rela,” kata Sumarsih. “Saya percaya hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan. Tetapi cara meninggalnya Wawan yang ditembak dengan peluru tajam itu yang kami permasalahkan.” 

Aksi Kamisan adalah bentuk perlawanan terhadap amnesia negara. Di tengah parade peringatan Reformasi, suara para ibu yang anaknya direnggut negara justru makin tenggelam. 

Baca Juga : Agar Permintaan Maaf atas Pelanggaran HAM Berat Tak Jadi Gula-gula Politik 

Negara Enggan Mengusut: Berkas Hilang hingga Impunitas Aktor 

Sejak Reformasi 1998, berbagai pelanggaran HAM berat belum juga menemui titik keadilan. Tragedi Trisakti, Semanggi I & II, penghilangan paksa 13 aktivis, Talangsari, hingga pembantaian 1965, semuanya tersangkut dalam jaring impunitas. Kertas posisi Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bertajuk “Penantian dalam Ketidakpastian” menunjukkan betapa beratnya jalan pencarian keadilan bagi keluarga korban TSS (Trisakti, Semanggi I dan II). 

Pansus DPR yang tidak serius, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang wewenangnya dibatasi, Jaksa Agung yang menolak bertindak, serta Presiden yang abai, memperlihatkan kolapsnya mekanisme akuntabilitas negara. 

Sumarsih mengalami langsung kebohongan aparat. Pada Maret 2008, Jaksa Agung menyatakan berkas penyelidikan Trisakti dan Semanggi hilang. 

Aksi Kamisan adalah bentuk perlawanan terhadap amnesia negara. Di tengah parade peringatan Reformasi, suara para ibu yang anaknya direnggut negara justru makin tenggelam.

“Tanggal 26 Maret 2008, kami kan diterima Presiden SBY. Saya sampaikan ke Presiden SBY. SBY kemudian menugaskan Menteri Sekretaris Kabinet agar mengecek kebenarannya,” katanya. Sehari kemudian, Kejaksaan Agung menyatakan berkas tersebut ternyata tidak hilang. 

“Banyak itu kebohongan yang dilakukan oleh penguasa untuk menghindar dari jerat hukuman terhadap para pelanggar berat HAM,” ujar Sumarsih. “Impunitas sekarang semakin menguat karena pelanggar berat HAM-nya menduduki jabatan strategis di pemerintahan.” 

Salah satu pelanggaran HAM paling mencolok adalah penghilangan paksa 13 aktivis pro-demokrasi. Mereka—termasuk Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Kambali, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan Ismail—diduga diculik oleh Tim Mawar. Tiga di antara mereka ditemukan selamat, sementara 13 lainnya tak pernah kembali. Mereka diduga kuat dihilangkan oleh Tim Mawar, satuan khusus dari Kopassus yang bertugas meredam gerakan mahasiswa dan pro-demokrasi saat itu. 

Baca Juga : Dari Jerman hingga Indonesia: Negara yang Minta Maaf atas Pelanggaran HAM Berat 

Tangkapan layar diambil dari data Kontras “Inilah penculik aktivis 1998”.

Mengutip laporan KontraS Inilah Penculik Aktivis 1998, Tim Mawar dibentuk di bawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasarkan perintah langsung dari Danjen Kopassus saat itu, Mayjen TNI Prabowo Subianto. Perintah itu diteruskan ke Komandan Grup 42 Kolonel Chairawan, lalu ke Komandan Batalyon 42 Mayor Bambang Kristiono. Ketika Mayjen Muchdi PR menjabat sebagai Danjen Kopassus menggantikan Prabowo, praktik penghilangan paksa tetap berlanjut. 

Hari ini, Prabowo Subianto adalah Presiden RI terpilih. Chairawan pun sempat menjadi Kepala Pos BIN Wilayah Aceh, terakhir dia menjabat staf ahli Panglima Tentara Nasional Indonesia dan pensiun dengan pangkat mayor jenderal. 

Menurut Usman, hukum internasional mengenal empat bentuk pelanggaran serius, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma: Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Sebagian besar kasus masa Orde Baru masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu ditegaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM dan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta. 

Terbaru, Letjen Djaka Budhi Utama—yang disebut dalam buku Menerobos Jalan Buntu: Kajian Terhadap Sistem Peradilan Militer di Indonesia (KontraS, 2009) sebagai anggota Tim Mawar—diangkat menjadi Dirjen Bea Cukai. Padahal, dalam putusan pengadilan militer 6 April 1999, Djaka dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 4 bulan.  

Reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa kini dibajak oleh elite-elite lama. Revisi UU TNI yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu pun, menjadi sinyal kuat kembalinya dwifungsi ABRI dalam wajah baru. Militer kembali dilibatkan di berbagai jabatan sipil dan ruang demokrasi. 

Baca Juga : Yang Hilang dari Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Jokowi

Pejabat Menafsirkan HAM Sesuka Hati 

Dilansir dari Tempo, pernyataan Yusril Ihza Mahendra, yang menyebut Tragedi Trisaksi dan Semanggi (TSS) bukan pelanggaran HAM berat karena tidak ada genosida, pembersihan etnis, atau pembunuhan massal, menuai kritik keras. Amnesty International Indonesia menyebut pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI itu keliru dan membahayakan prinsip-prinsip hukum. 

“Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty. 

Menurut Usman, hukum internasional mengenal empat bentuk pelanggaran serius, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma: Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Sebagian besar kasus masa Orde Baru masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal itu ditegaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM dan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta. 

Namun penyelidikan tak pernah berlanjut ke pengadilan. Pasal 43 UU Pengadilan HAM menyebut pengadilan ad hoc hanya bisa dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Ketika keduanya tak berniat, maka keadilan pun lumpuh sejak awal. 

Komnas HAM pun tak bisa berbuat banyak. Dalam jurnal Komnas HAM and the Challenge of Investigating Serious Human Rights Violations oleh Zahratul’ain Taufik dan Titin Nurfatlah, disebutkan, Komnas HAM hanya diberi kewenangan penyelidikan, bukan penyidikan dan penuntutan. Para peneliti menyarankan agar Komnas HAM diberi wewenang lebih besar agar tak terus-menerus jadi macan ompong. 

Kini, setelah 27 tahun Reformasi, demokrasi seakan dikembalikan ke titik semula. Bahkan ada yang menyebut demokrasi layu sebelum benar-benar mekar. Penyebabnya, aktor-aktor Orde Baru berkuasa kembali dan kini keadilan hanya jadi slogan kampanye. Sementara di luar sana, para ibu, termasuk Sumarsih masih tegak berdiri di depan Istana, bukan untuk mengemis belas kasihan, tapi mengingatkan: Sejarah belum selesai dan perjuangan masih panjang. 

“Kami berdiri karena negara diam,” ujar Sumarsih. 

Hari ini kita mungkin bukan korban, tapi tak tahu esok. Seperti lirik lagu Hilang dari Efek Rumah Kaca: 

Rindu kami seteguh besi 
Hari demi hari menanti 
Tekad kami segunung tinggi 
Takut siapa? Semua hadapi 
Yang hilang menjadi katalis 
Di setiap Kamis 
Nyali berlapis 
Marah kami senyala api 
Di depan Istana berdiri 



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.