December 5, 2025
Culture Issues Politics & Society

Dari 1998 ke 2025: Warga Keturunan Tionghoa di Antara Harapan dan Trauma Kolektif

Gelombang demonstrasi yang disusul dengan berita kematian, penjarahan, serta pembakaran membuka trauma lama warga Tionghoa lintas generasi. Namun ada sedikit harapan yang masih bisa dirawat.

  • September 3, 2025
  • 7 min read
  • 4814 Views
Dari 1998 ke 2025: Warga Keturunan Tionghoa di Antara Harapan dan Trauma Kolektif

“Reni”, 61, takkan pernah lupa 1998—tahun yang kemudian dikenal sebagai tonggak Reformasi. Di balik euforia perubahan, ia justru menyimpan mimpi buruk. Sebagai warga keturunan Tionghoa, ia menjadi kambing hitam setiap kali negara dilanda krisis.

Ketika ekonomi Indonesia runtuh, rumor beredar kencang. Warga keturunan Tionghoa dituding menimbun uang dan sembako. Fitnah itu dengan cepat mewujud dalam amarah massa. Banyak rumah, toko, dan pusat perbelanjaan jadi sasaran jarahan dan pembakaran.

Reni, yang bekerja di perusahaan keluarga di Kelapa Gading, Jakarta Utara panik. Sebagai staf keuangan, ia baru saja menyiapkan kebutuhan karyawan dan masih memegang uang ratusan juta rupiah di brankas. Dalam kondisi serba cemas, ia menyelipkan uang itu ke perutnya dengan stagen, menutupinya dengan kaos longgar dan celana pendek milik kakaknya.

“Kalau sampai ketahuan, habis sudah,” begitu ia mengingat pikirannya kala itu.

Dengan mobil Suzuki Katana, Reni mencoba pulang. Namun perjalanan pulang berubah jadi teror. Jalanan penuh massa yang menjarah, menahan mobil, dan membakar pusat perbelanjaan. Ia dan keluarganya harus berputar-putar mencari rute aman, dari Slipi hingga Ancol.

“Di Slipi Jaya, Tante lihat ibu-ibu mendorong troli, mengambil kulkas dan televisi sambil tertawa Allahuakbar. Mobil di depan tante saat lewat atas Ancol juga dijarah. Orang di dalamnya dipukuli,” ceritanya.

Ketakutan mencekam membuat Reni mengambil tindakan nekat. Ia melempar uang receh dari jendela mobil, berharap kerumunan bubar.

“Jangan ngerem kalau ada orang di depan. Kalau sampai nabrak, itu sudah risiko. Tante bilang gitu ke adik Tante,” kenangnya.

Malam itu terasa tak berujung. Putar balik berkali-kali, menghindari titik kerusuhan, hingga akhirnya mereka tiba di rumah di BSD, Tangerang Selatan menjelang tengah malam. Selamat, tetapi dengan trauma yang membekas.

Baca Juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia  

Membangkitkan Luka Lama 

Reni berdoa agar pengalaman di tahun keramat itu tak pernah terulang. Terlalu nyata, membekas, hingga mengendap menjadi trauma. Namun doa itu seolah tak terkabul. Beberapa hari terakhir, rasa takut kembali menyelimuti dirinya. Dari media sosial dan pemberitaan tentang gelombang demonstrasi di berbagai daerah, bayangan 1998 muncul lagi di ingatannya.

Dari gawai miliknya, Reni melihat bagaimana aksi demonstrasi ini selalu disusul dengan berita kematian, pembakaran gedung, fasilitas umum, hingga penjarahan. Tempo melaporkan sejumlah kantor DPRD daerah dilempar molotov dan dibakar. Bahkan IDN Times menulis bagaimana rumah dinas milik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga properti keluarga Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut dijarah. 

“Itu sama (polanya). Malah sekarang ketakutannya lebih besar karena masa sih setingkat Menteri Sri Mulyani keamanannya enggak ada, bisa dijarah gitu kan apalagi kita,” ungkapnya.

Reni tidak sendiri, suami istri “Vincent”, 33, dan “Lara”, 32, juga berpendapat sama. Saat 1998 keduanya boleh jadi masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Namun, ketakutan yang lahir dari 1998 meninggalkan jejak panjang bagi banyak keluarga Tionghoa. Ingatan tentang penjarahan dan pembakaran terus hidup lewat cerita yang dibisikkan orang tua, sanak saudara, atau obrolan sembunyi-sembunyi antarwarga. Vincent, misalnya, masih mengingat jelas hari ketika ia dijemput paksa dari sekolah.

“Selama di jalan gue ngeliat jalanan sepi banget. Gue ngeliat orang tua kok selalu khawatir, kan gue jadi ikutan takut. Engkong terus cerita ada pembakaran gitu, tapi di luar jalanan,” kenangnya.

Lara mengalami hal berbeda, tapi tak kalah berat. Sebagai perempuan Tionghoa yang tumbuh di era pasca-1998, ia mewarisi trauma generasi sebelumnya meski tak menyaksikan langsung kekerasan. Dari ibunya, ia tahu bagaimana perempuan Tionghoa menjadi target pemerkosaan di rumah, di jalan, bahkan di angkutan umum.

Cerita itu membentuk pola hidup baru. Ibunya melarang Lara mengenakan pakaian yang menonjolkan kulit putihnya dan menuntutnya selalu berpakaian tertutup. Angkutan umum pun jadi hal yang tabu. Hingga dewasa, Lara bisa menghitung dengan jari berapa kali ia pernah naik bus atau angkot.

Sementara bagi Reni, pengalaman traumatis itu bukan sekadar kisah yang diwariskan, melainkan sesuatu yang nyata. Ia mendengar langsung kabar tentang anak-anak perempuan teman dan kerabatnya di Teluk Gong serta kawasan Jembatan II, III, dan IV, Jakarta yang diperkosa.

“Mereka diperkosa di depan orang tua mereka, di depan kakak-kakaknya, di depan adiknya gitu loh. Jelas Tante takut sekali,” ujarnya.

Baca juga: Apa yang Tidak Kita Bicarakan Saat Berbicara tentang Tionghoa Indonesia  

Kewaspadaan yang Meningkat 

Kejadian belakangan ini membuat warga keturunan Tionghoa semakin waspada. Berbagai langkah antisipasi dilakukan demi menjauhkan diri dari potensi bahaya.

Lenny, 54, pengusaha yang berkantor di Cempaka Putih, Jakarta Pusat misalnya, kini harus memutar otak setiap kali pulang ke rumahnya di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Ia berusaha mencari jalan alternatif agar terhindar dari titik-titik rawan, yang diberitakan akan menjadi lokasi demonstrasi. Aktivitas malam pun ia hentikan.

“Biasanya kalau pulang malam saya suka mampir makan dulu. Sekarang langsung pulang ke rumah,” ujarnya.

Kewaspadaan serupa dialami Lara yang memiliki usaha pastry. Selama tiga hari terakhir, ia memilih menutup tokonya lebih awal. Jika biasanya toko beroperasi hingga pukul 8 malam, kini ia menutup pintu pada pukul 5 sore. Lara juga berusaha meminimalisasi kunjungan ke tokonya kecuali untuk urusan mendesak.

Demi menjaga keselamatan, Lara lebih sering memberi kabar kepada suaminya. Barang-barang kecil yang sebelumnya jarang ia pikirkan kini jadi “perlengkapan wajib.” Selain power bank, ia bahkan membawa gunting ke mana pun.

“Dulu kalau HP sampai mati ya sudah, enggak masalah. Sekarang power bank selalu ada. Gunting juga mulai saya bawa. Pokoknya apa pun yang bisa dibawa, bawa aja buat pertahanan diri,” jelasnya.

Namun langkah Lenny dan Lara terasa ringan jika dibandingkan dengan Reni. Ia begitu takut meninggalkan rumah. Kebiasaannya mengikuti misa pagi pukul 05.30 kini tak lagi ia lakukan. Untuk sekadar pergi ke pasar, ia harus ditemani menantu perempuannya. Bahkan, pada (1/9) lalu—hari peringatan 32 tahun wafat ibunya—Reni memutuskan tidak berziarah ke makam.

“Banyak hal yang biasanya Tante lakukan, sekarang tidak lagi karena saking takutnya,” tuturnya.

Ketakutan Reni tidak berhenti di situ. Trauma yang ia alami sejak peristiwa 1998 membuatnya enggan mengunggah apapun terkait isu-isu terkini di media sosial. Meski akunnya di Facebook masih aktif, ia memilih diam. Baginya, sekadar menyukai sebuah postingan pun terasa berisiko. Ia khawatir keberadaannya bisa dilacak, atau bahkan dipidanakan oleh pihak yang memiliki kuasa lebih.

“Takut sekali diintimidasi. Dengan usia Tante yang sudah di atas 60, rasanya berat,” katanya pelan.

Baca Juga: Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur  

Harapan dari Generasi Muda 

Namun, seperti lorong gelap yang sesekali memantulkan cahaya, ada secercah harapan di tengah trauma itu. Beberapa warga keturunan Tionghoa, terutama generasi mudanya, percaya kekerasan seperti 1998 tidak akan terulang di era sekarang.

Keyakinan ini tumbuh dari perubahan wajah demografi Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Gen Z mendominasi 27,94 persen populasi, disusul Milenial 25,87 persen. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 juga menegaskan hal serupa: Milenial 27,4 persen, Gen Z 25,9 persen. Dominasi generasi muda ini dianggap penting, karena mereka tumbuh dengan literasi digital yang lebih tinggi, terbiasa berjejaring, dan lebih kritis terhadap narasi provokatif yang bisa memecah belah.

Hal ini disampaikan oleh Vicky Florencego, Ketua Generasi Muda Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Gema INTI) Jakarta.

“Mereka berani mencari tahu segala halnya lalu menyuarakannya. Jadi mereka tahu harus saling menjaga karena misalnya saja ketika dulu orang-orang percaya yang menyebabkan keadaan ekonomi saat itu adalah warga keturunan Tionghoa, anak-anak Gen Z paham ya yang menyebabkan itu pemerintah,” ujarnya ketika dihubungi Magdalene (1/9).

Kesadaran ini juga dirasakan Vincent. Ia mencontohkan gerakan Warga Jaga Warga yang marak di media sosial. Lewat Twitter dan Instagram, masyarakat saling membagikan informasi real-time, dari titik aman, lokasi demo, hingga potensi gangguan keamanan. Yang paling penting, gerakan ini konsisten mengingatkan warga agar tidak terjebak isu etnis atau ras, dan tetap fokus pada akuntabilitas pemerintah.

Lara, yang dulu hidup dalam ketakutan, kini juga melihat perubahan itu. “Sekarang kita (ia dan suami) malah lebih pro ke pendemo. Demo itu bukan sesuatu yang jelek lagi kayak aku persepsikan 1998 dulu,” katanya. Dukungan ini lahir dari keyakinannya bahwa masyarakat sudah lebih paham cara melindungi diri sekaligus menjaga sesamanya.

Meski begitu, kewaspadaan tetap diperlukan. Vicky melaporkan, pada (31/8) pagi, Ketua Umum INTI Teddy Sugianto menggelar rapat virtual bersama pengurus pusat, daerah, dan cabang INTI serta Gema INTI. Agenda utamanya, konsolidasi situasi terkini di berbagai kota, dari Jakarta, Bali, Medan, Batam, Surabaya, Tangerang, Makassar, hingga Lombok. Dari pertemuan itu, Gema INTI menyerukan pentingnya menahan diri agar tak terprovokasi melakukan aksi merusak yang justru akan menjadi kerugian bersama.

Selain itu, koordinasi dengan warga lokal dan pemerintah setempat ditekankan sebagai langkah penting. “Saya juga meminta kepada teman-teman pengurus agar koordinasi dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat seperti RT atau RW dan juga kelurahan, supaya terus memantau jika memang terjadi aksi,” lanjut Vicky.

Harapan itu kini berwujud solidaritas generasi muda. Dengan literasi digital, kesadaran sejarah, dan semboyan Warga Jaga Warga, mereka mencoba membangun benteng perlawanan baru. Karena musuhnya bukan sesama warga, melainkan kekuasaan yang menindas.

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.