Politics & Society

Perempuan Keturunan Tionghoa Pecah Pembungkaman Pemerkosaan Massal 1998

Karya-karya tiga perempuan Indonesia-Tionghoa mengisi kekosongan dalam pengetahuan publik tentang bab gelap dalam sejarah Indonesia.

Avatar
  • June 4, 2018
  • 6 min read
  • 567 Views
Perempuan Keturunan Tionghoa Pecah Pembungkaman Pemerkosaan Massal 1998

Anak muda di Indonesia seperti saya tidak tahu apa-apa tentang kekerasan Mei 1998, bagaimana Anda bisa memberi pengetahuan kepada mereka di luar sekedar ber-selfie di media sosial?
 
Seorang siswi menanyakan hal ini kepada Rani Pramesti, seorang seniman Indonesia keturunan Tionghoa yang sedang mempresentasikan novel grafis daring miliknya Chinese Whispers di sebuah acara di Melbourne, Australia.. Peluncuran itu sekaligus memperingati 20 tahun kekerasan Mei 1998 di Indonesia.
 
Lebih dari 100 orang, kebanyakan orang Indonesia dari berbagai kelompok etnis yang tinggal di Melbourne, hadir saat itu. Perempuan Indonesia keturunan Tionghoa lain yang mempresentasikan karya seni dan sastra mereka di acara tersebut termasuk seniman-instalasi Elina Simbolon dan Dewi Anggraeni, seorang jurnalis dan penulis.
 
Dua puluh tahun yang lalu, menjelang dan sesudah pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei, kekerasan meletus. Minoritas Tionghoa Indonesia menjadi sasaran kemarahan massa. Dalam rangkaian kekerasan tersebut perempuan keturunan Tionghoa di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Solo menjadi korban pemerkosaan massal dan pelecehan seksual oleh kelompok-kelompok terorganisasi yang bertindak di bawah perintah aparat keamanan.
 
Meskipun ada bukti pelanggaran hak asasi manusia berat, kasus ini tidak pernah diajukan ke pengadilan. Keadilan bagi para korban dan penyintas hingga kini tetap sulit diraih. Banyak penolakan dan pembungkaman terhadap pengungkapan mengenai kekerasan ini.
 
Ketika laporan awal tentang kekerasan dipublikasikan pada 1998, negara membantah keterlibatan aparat keamanan. Pejabat pemerintah lewat pernyataan mereka dan media lewat laporan-laporan mereka menyangkal terjadinya pemerkosaan.
 
Kelompok-kelompok yang membantu korban mengalami ancaman. Satu korban, yang telah setuju untuk bersaksi di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dibunuh.
 
Suara perempuan Tionghoa Indonesia
 
Dalam peringatan Mei 1998 pada dua dekade terakhir, suara perempuan Tionghoa Indonesia jarang terdengar. Karya-karya Rani, Elina, dan Dewi yang disajikan di Melbourne mengisi kekosongan dalam pengetahuan publik tentang bab gelap dalam sejarah Indonesia. Pada saat yang sama, suara mereka terus dipertanyakan.

Organisasi-organisasi hak asasi manusia, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), telah gigih menuntut perhatian terhadap kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada 1998. Namun, mereka lebih banyak menyoroti peristiwa-peristiwa itu sebagai pelanggaran hak-hak semua perempuan Indonesia, meninggalkan motif rasial dari narasi kekerasan berbasis gender.
 
Demikian pula upaya untuk menandai situs-situs kekerasan (misalnya melalui Prasasti Mei 1998 di Jakarta), menempatkan Mei 1998 di bawah cerita besar soal perubahan rezim. Meskipun hal ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, langkah ini menghindari isu utama dalam kekerasan yang terjadi: diskriminasi sistemik terhadap keturunan Tionghoa, posisi perempuan, dan penggunaan kekerasan seksual sebagai alat represi.
 
Peringatan Diaspora
 
Sekitar tiga bulan setelah kekerasan Mei ‘98 di Indonesia, kelompok diaspora daring Tionghoa Huaren menyelenggarakan acara peringatan di Sydney. Acara ini membahas panjang lebar pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang-orang keturunan Cina, dengan penekanan pada kesaksian laki-laki. Meskipun bagian itu penting, hal itu mengecilkan kekerasan berbasis etnisitas dan gender yang terjadi terhadap perempuan Tionghoa.
 
Acara di Melbourne, selain memamerkan tiga karya seni perempuan Indonesia Tionghoa dan karya sastra juga menampilkan kesaksian dua laki-laki Tionghoa Indonesia dan komentar dari sebagian besar penonton yang laki-laki. Mereka secara grafis menceritakan kembali peristiwa 20 tahun yang lalu. Satu peserta menggambarkan seolah-olah dia seorang prajurit yang siap berperang ketika melindungi propertinya.
 
Studi tentang pemerkosaan dalam genosida menganalisis kritis kesaksian laki-laki yang menggambarkan kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk komunikasi antara laki-laki. Dengan kata lain, kisah-kisah tersebut menekankan kekerasan terhadap perempuan sebagai cara untuk menurunkan derajat kejantanan kelompok lain, atau menjadikan mereka seakan-akan bukan laki-laki sejati karena kegagalan mereka melindungi perempuan mereka, yang diperlakukan sebagai hak milik laki-laki.
 
Rani mengajak penonton menyadari bahwa komentar dan pertanyaan telah kebanyakan di dominasi oleh penonton laki-laki dalam acara tersebut. Dia mengajak penonton untuk mendorong keseimbangan gender dan memberi perempuan, seperti pelajar perempuan Indonesia yang bertanya kepada Rani, kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka.
 
Cerita para perempuan
 
Chinese Whispers karya Rani menceritakan kisah Mei 1998 melalui matanya. Pada 1998 dia berumur 12 tahun dan tinggal di Jakarta. Dia kemudian bermigrasi ke Australia. Novel grafis digital nonfiksi karya Rani menelusuri cerita Rani mencari tahu bagaimana kekerasan semacam itu bisa terjadi. Rani berbicara dengan perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang tinggal di Melbourne, termasuk Dewi Anggraeni untuk proyek ini. Chinese Whispers menampilkan kisah-kisah pribadi Rani serta kisah-kisah para perempuan Tionghoa Indonesia yang dia wawancarai.
 
Dewi bercerita pada Rani bahwa pada saat itu, sebagai seorang jurnalis yang berbasis di Melbourne, dia tidak mempercayai bahwa perkosaan massal dan kekerasan seksual bisa terjadi. Ini karena sangat sedikit jurnalis di Jakarta yang dapat berbicara dengan korban kekerasan. Baru ketika ia bertemu dengan seorang korban perempuan di Melbourne ia mulai melakukan penelitian sendiri dan menggali kebenaran. Melalui tulisannya, Dewi menantang penolakan dan pembungkaman terhadap kejadian kekerasan terhadap perempuan keturunan Tionghoa.
 
Dewi juga mengalami perlawanan terhadap karyanya tentang kekerasan Mei 1998, terutama novelnya My Pain, My Country. Karya ini terinspirasi oleh kisah korban perempuan yang ditemuinya di Melbourne. Menurut Dewi, liputan media sosial dari bukunya yang dimuat di Australia Plus mengundang komentar kasar dan negatif di Facebook.
 
Beberapa berargumen karena Dewi berada di luar Indonesia, dia tidak berhak untuk menulis tentang peristiwa itu. Namun, dia menjelaskan bahwa jarak inilah yang memungkinkan dia menulis tentang Mei 1998. Hal ini sulit dilakukan di Indonesia, di mana individu dan organisasi yang peduli dengan kasus ini terus diintimidasi.
 
Seorang penonton laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia yang punya teman-teman dekat keturunan Tionghoa bertanya pada Dewi dan Rani, “Kenapa kita tidak melangkah ke depan saja?” Ia ingin agar Indonesia dapat berfokus dengan hubungan positif antarsuku termasuk dengan kelompok Tionghoa di Indonesia.
 
Dewi menjawab bahwa “pengakuan dan keadilan masih dibutuhkan”. Rani berkata: “Melangkah ke depan tidak berarti melupakan masa lalu atau membungkam ceritanya. Itu penolakan.”
 
Acara-acara seperti peringatan di Melbourne bermaksud untuk menciptakan ruang di mana orang dapat berdialog. Tanggapan terhadap artis perempuan menunjukkan bahwa suara mereka tetap ditentang. Tetapi pada saat yang sama, reaksi-reaksi itu juga menunjukkan bahwa orang terpengaruh oleh pesan-pesan yang disampaikan para perempuan melalui karya mereka.
 
Lebih penting lagi, peristiwa seperti ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang dapat berbicara atau bersaksi. Ketika kita semakin jauh dari Mei 1998, mau tidak mau orang lain akan berbicara.
 
Perempuan seperti Rani, Dewi, dan Elina dapat membuka jalan bagi lebih banyak suara perempuan Tionghoa Indonesia yang hilang dalam peringatan sebelumnya, yang menghasilkan wawasan tentang bagaimana masa lalu Indonesia terus bergema lintas ruang dan waktu.
 
Monika Winarnita adalah Research Assosiate bidang Humaniora dan Ilmu Sosial di La Trobe University, Australia. Ken Setiawan adalah McKenzie Research Fellow di Asia Institute, University of Melbourne, Australia.
 
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

 

 


Avatar
About Author

Monika Winarnita and Ken Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *