December 5, 2025
Issues Opini

Perempuan Lintas Generasi di Garda Demokrasi: Dari Dapur ke Jalanan

Dari kampus hingga dapur, dari jalanan hingga ruang kelas, perempuan lintas generasi membuktikan bahwa demokrasi hanya hidup bila mereka bersuara dan menolak tunduk.

  • September 10, 2025
  • 5 min read
  • 1290 Views
Perempuan Lintas Generasi di Garda Demokrasi: Dari Dapur ke Jalanan

“Feminism is the radical notion that women are people.” – Cheris Kramarae
“Democracy is not just the right to vote, it is the right to live in dignity.” – Naomi Klein

Dian Purnomo, penulis dan peneliti yang sering hadir di Aksi Kamisan, kali ini tidak turun ke jalan. Ia menunggu anaknya dan anak-anak teman-temannya yang ikut aksi pada 25, 28, dan 29 Agustus 2025 di Jakarta. Dari jarak aman, ia memastikan keselamatan mereka dan memberikan dukungan sebagai seorang ibu.

Kehadiran Dian mengingatkan peran orang tua bisa sama pentingnya dengan keberadaan di barisan demonstrasi. Perjuangan demokrasi tidak selalu harus dilakukan di jalanan; dukungan dan perlindungan dari sisi lain juga merupakan bentuk aksi yang nyata dan penuh makna.

“Kalau negara tidak bisa melindungi kalian, biar aku yang melindungi.”

Dian adalah bagian dari barisan perempuan lintas generasi yang kembali hadir di ruang publik, bukan hanya sebagai pendukung moral, tapi sebagai aktor utama dalam mempertahankan demokrasi yang terasa kian rapuh.

Harga kebutuhan pokok melambung, kebebasan sipil terus ditekan, dan ruang kritik makin sempit. Sementara itu, mereka yang bersuara dipukul balik oleh kekuasaan. Perempuan—dari mahasiswa, penulis, pengajar, hingga ibu rumah tangga—berdiri di tengah pusaran ini: menjadi saksi, pelindung, dan perlawanan itu sendiri.

Baca juga: Bagaimana Jelaskan ke Anak tentang Demonstrasi dan Kabar Buruk Hari ini?

Dari 1998 ke 2025: Sejarah yang berulang

Bagi banyak perempuan, ini bukan kali pertama mereka turun ke jalan. Dian mengingat masa 1998, saat generasinya menuntut reformasi. “

Kalau saat itu kita dilarang orang tua, kita juga nggak akan berhenti. Kita ingin jadi bagian dari sejarah,” ujarnya. “Jadi biarlah sekarang anak-anak menegakkan demokrasi dengan hak mereka untuk berdemonstrasi.”

Tahun 1998 mungkin penuh euforia, tapi 2025 terasa lebih getir. Demokrasi yang dulu diperjuangkan kini justru dikerdilkan. Aparat bersenjata mengintimidasi warga sipil, pemerintah menutup telinga terhadap kritik, dan ruang berekspresi kian sempit.

Namun, di tengah keterpurukan itu, suara perempuan tetap bergaung. Najmicitta, mahasiswa jurusan Fisika di Bandung, menilai kekuatan perempuan dalam demokrasi hadir lewat pendidikan dan literasi.

“Demokrasi tanpa pendidikan politik hanyalah formalitas: pemilu tanpa makna, kotak suara tanpa suara,” ujarnya.

Ia juga menyoroti tantangan yang lebih besar: minimnya representasi perempuan di dunia politik, budaya patriarki yang mengakar, serta kekerasan berbasis gender yang menjalar hingga ke ruang-ruang digital. Perempuan masih sering dikurung dalam peran domestik—dipuji sebagai “penjaga moral bangsa”—namun suaranya diremehkan ketika berbicara di ruang publik.

Hal ini diamini oleh penulis Nimas Rassa, yang menyebut patriarki sebagai tembok tak kasat mata dalam demokrasi. “Perempuan boleh ada, asal jangan lebih unggul dari laki-laki. Boleh bicara, asal jangan terlalu lantang,” ujarnya. Batasan-batasan itu diperkuat oleh norma sosial, adat, bahkan tafsir agama. Demokrasi kita, kata Nimas, seperti rumah besar yang tak menyediakan pintu bagi perempuan: mereka boleh masuk, tapi sulit keluar dengan suara utuh.

Hal ini diamini oleh penulis Nimas Rassa, yang menyebut patriarki sebagai tembok tak kasat mata dalam demokrasi. Demokrasi kita, kata Nimas, seperti rumah besar yang tak menyediakan pintu bagi perempuan: mereka boleh masuk, tapi sulit keluar dengan suara utuh.

“Perempuan boleh ada, asal jangan lebih unggul dari laki-laki. Boleh bicara, asal jangan terlalu lantang. Dan batasan-batasan itu diperkuat oleh norma sosial, adat, bahkan tafsir agama,” ujarnya.

Baca juga: Kami Turun ke Jalan karena Kami Marah: Inklusif di Tengah Gempuran Rezim Opresif

Suara perempuan dari berbagai ruang

Bagi sebagian perempuan, perjuangan demokrasi tidak selalu hadir dalam bentuk orasi atau aksi jalanan, tetapi melalui pilihan sehari-hari. Aeni, ibu rumah tangga berusia 44 tahun, percaya bahwa bilik suara adalah medan juangnya.

“Jadilah pemilih cerdas, melek politik. Karena suara kita menentukan masa depan anak bangsa,” katanya.

Pesan itu terdengar sederhana, namun substansial. Suara ibu rumah tangga sering dipinggirkan dalam wacana politik, padahal merekalah yang setiap hari menghadapi dampak langsung dari keputusan negara: harga sembako, layanan kesehatan, pendidikan.

Ginaya Keisya Rais, mahasiswa 22 tahun, menyebut kurangnya representasi politik sebagai luka demokrasi. Menurutnya, ruang untuk perempuan bersuara sangat terbatas, bahkan dalam unjuk rasa.

“Bahkan saat memperjuangkan demokrasi pun, harus ada korban akibat boneka politik-aparat,” katanya getir.

Sementara itu, Lupita Lestari, pengajar di sebuah universitas, menolak anggapan bahwa perempuan hanyalah pelengkap demokrasi. “Lantangkan suara dan terus lawan! Perempuan bukan warga kelas dua. Kita punya hak dan kewajiban yang sama,” ujarnya.

Semua suara ini—dari Najmicitta di kampus, Ginaya di jalanan, Aeni di dapur, Nimas di tulisan, hingga Lupita di kelas—mengalir pada kesimpulan yang sama: perempuan tak hanya hadir dalam demokrasi, mereka adalah denyut nadinya.

Dari literasi dan pendidikan, pilihan politik yang cerdas, tulisan kritis, hingga keberanian hadir di ruang-ruang publik, perempuan menunjukkan bahwa demokrasi sejati adalah ruang yang menjamin martabat semua warga negara.

Refleksi Dian menutup narasi ini dengan nada satire yang sarat kasih: “Kalau negara tidak bisa melindungi kalian, biar aku yang melindungi.”

Kalimat itu bukan sekadar ekspresi keibuan. Ia adalah pernyataan politik. Tentang negara yang gagal menjalankan tugasnya. Tentang perempuan yang mengambil alih peran pelindung, bukan karena ingin, tapi karena harus.

Jika negara terus menutup telinga, jangan heran bila suara perempuan, lintas generasi, justru makin lantang. Sebab demokrasi bukan milik parlemen atau aparat. Demokrasi adalah milik rakyat, dan perempuan adalah denyut nadi besarnya.

Catatan Redaksi: Dua paragraf awal telah dikoreksi pada 10 September 2025 atas permintaan kontributor. Ada kesalahan dari peran Dian yang tidak ikut aksi tapi menunggu anaknya yang ikut turun ke lapangan.

About Author

Foggy FF

Foggy FF adalah novelis dan cerpenis, aktif berkampanye tentang isu kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan.