Election 2024 Issues

Alasan di Balik Minimnya Perempuan Capres dan Cawapres di Indonesia

Megawati Sukarnoputri adalah satu-satunya perempuan presiden di Indonesia. Setelah ia mundur, Indonesia tak pernah lagi punya perempuan capres atau cawapres. Ada apa dengan Indonesia?

Avatar
  • April 10, 2023
  • 11 min read
  • 1354 Views
Alasan di Balik Minimnya Perempuan Capres dan Cawapres di Indonesia

Kini kita telah memasuki tahun politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024. Berbagai media tengah sibuk memberitakan nama-nama politisi yang akan maju pada pemilu ke-6 pasca reformasi ini. Mulai dari profil hingga wawancara eksklusif yang khusus membahas kinerja dan program kerja para politikus ditayangkan untuk menggaet para pemilih di pemilu nanti.

Namun, dari berbagai nama politisi yang hilir mudik hadir di media nampaknya tak ada satu pun politisi perempuan yang tampil. Semua politisi yang disorot selalu laki-laki. Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil misalnya selalu jadi nama yang selalu tampil dalam berbagai liputan media jelang pemilu 2024 ini.

 

 

Ini menyusul elektabilitas atau keterpilihan yang tinggi dari para politisi laki-laki jelang pemilu. Dalam hasil survei Pollmark Research Center misalnya empat nama politisi laki-laki ini menduduki peringkat 4 teratas.

Perlu dicatat survei ini dilakukan pada 23 Januari hingga 18 Maret 2023 di 78 daerah pemilihan se-Indonesia yang mewakili 562 kursi di DPR RI. Sebanyak 62.480 atau sebesar 97,8% responden dilibatkan dari seluruh potensi pemilih di Pemilu 2024. Adapun margin of error survei +/- 0,4%.

Dengan cakupan data ini, survei yang dilakukan Pollmark Research Center lebih mengakomodir gambaran besar elektabilitas para politisi jelang pemilu dibandingkan survei-survei lain yang serupa. Sayangnya, ini tidak mengubah fakta tentang minimnya representasi dan elektabilitas politisi perempuan.

Dalam survei tersebut misalnya dari 10 bakal calon capres dan cawapres yang ada, hanya dua nama politisi perempuan yang hadir, yaitu Puan Maharani dan Khofifah Indar Parawansa. Keduanya juga hanya mengantongi elektabilitas masing-masing sebesar 1.7 persen dan 1.3 persen saja.

Melihat minimnya representasi dan elektabilitas dari bakal calon capres dan cawapres pada (30/3) lalu International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam bidang pembangunan di Indonesia pada Kamis (30/03) lalu menyelenggarakan talkshow khusus.

Dengan judul Menguak Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan, talkshow ini menghadirkan berbagai narasumber lintas profesi untuk memetakan masalah mengenai minimnya bakal calon capres dan cawapres perempuan.

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya

Keterwakilan Perempuan dalam Politik

Berbincang tentang minimnya bakal calon capres dan cawapres perempuan tak bisa dipisahkan dari pembahasan keterwakilan perempuan dalam politik baik. Apalagi pemilu di Indonesia menerapkan skema presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden. Artinya, setiap partai politik atau gabungan partai politik yang hendak mengusung capres/cawapres pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 harus minimal meraih 25 persen dari suara sah nasional atau minimal 20 persen dari total kursi DPR RI.

Dalam level legislatif menurut Nurul Amalia Salabi, peneliti dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan sudah 18 tahun semenjak diselenggarakannya pemilu 2004, keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah mencapai 30 persen.

“Memang menurut data Perludem tren pencalonan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meningkat. Tren ini bergerak dari 33 persen pada 2009, lalu 37 persen di 2014 dan 39,98 persen di 2019,” jelas Amalia.

Akan tetapi yang pada akhirnya mampu menduduki kursi parlemen pada Pemilu 2019 hanya sekitar 20,52 persen saja. Amal sangat menyayangkan hal ini, pasalnya kuota 30 persen sendiri sudah ditetapkan oleh Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Status Perempuan (UN Commission on the Status of Women).

Berikut menjadi bagian dari affirmative action pemerintah Indonesia dalam bentuk reserved seat. Skema di mana parlemen mengalokasikan jumlah kursi tertentu untuk kelompok yang dituju, dalam hal ini perempuan.

Amalia pun menegaskan minimnya keterwakilan perempuan di parlemen juga tak bisa dilepaskan dari partai politik. Dalam Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU No. 2/2011 tentang Perubahan UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, partai politik (parpol) telah diamanatkan negara untuk memastikan setidaknya 30 persen perempuan dicalonkan dalam daftar anggota parlemen.

Namun, pada kenyataannya amanat ini juga tidak dipenuhi oleh banyak parpol bahkan dalam pernyataan Amalia ada praktik “nakal” yang dilakukan parpol dalam memaksa adanya keterwakilan perempuan di parpol mereka masing-masing.

“Dari sembilan parpol di parlemen, hanya ada satu partai yang memenuhi target keterwakilan perempuan 30 persen, yaitu Partai NasDem (Nasional Demokrat). Masalahnya ada parpol yang dalam penelitian Perludem 2021, ketika mereka mencalonkan perempuan di internal mereka, mereka asal comot. Untuk formalitas aja.” ungkap Amalia Kamis lalu.

Amalia kemudian melanjutkan realita ini juga bisa dipotret melalui data peneltian Cakra Wikara Indonesia yang juga menunjukkan bahwa hanya ketika menjelang pemilu, DPP (Dewan Pengurus Pusat) akan mengubah kepengurusan partai dengan memasukkan 30 persen perempuan.

Selesai pemilu, pengurusan ini akan diubah. Tidak lagi ada perempuan 30 persen di parpol, hal yang menurut Amalia membuat parpol hanya melihat keterwakilan perempuan sebagai tokenisme belaka.

“30 persen yang coba dipaksakan ini membuat keterwakilan perempuan dalam ranah politik jadi keterwakilan simbolis bukan substantif. Dan ini membuat keterwakilan akan selalu minim dalam kontestasi politik secara keseluruhan,” jelasnya.

Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin

Penyelenggaraan Pemilu Perempuan yang Minim

Betty Epsilon Idroos, komisioner KPU nasional periode 2024 – 2027 mengatakan keterwakilan perempuan dalam politik juga harus berjalan berdampingan dengan keterwakilan keterwakilan perempuan dalam penyelenggaran pemilu. Dalam keterangannya di talkshow Infid, Betty mengungkapkan keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu sangat lah penting.

Ini tak lain karena hadirnya perempuan penyelenggara pemilu dapat melakukan pengawalan terhadap suara perempuan, sekaligus jadi tiket penting untuk dapat mengambil peran strategis seperti sosialisasi hingga pendidikan pemilih.

“Kehadiran perempuan juga dapat mendorong terhadap peningkatan partisipasi perempuan di institusi politik. Mereka bisa mengawal suara perempuan baik pemilih atau calon. Apalagi kan kebijakan afirmasi perempuan dalam penyelenggara pemilu sudah diatur dalam sejumlah ketentuan,” ucap Betty.

Namun sangat disayangkan data internasional Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menunjukkan kurang dari 33 negara penyelenggara Pemilu di dunia dipimpin oleh perempuan. Indonesia sendiri, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu masih didominasi oleh laki-laki.

Dari tujuh komisioner, Betty jadi satu-satunya perempuan dalam jajaran komisioner nasional KPU yang terpilih pada periode 2022-2027.  Komposisi tim seleksi calon anggota KPU pun menjadi catatan. Menurut penelusuran Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) tim seleksi (timsel) calon anggota KPU untuk 20 provinsi tahun ini tidak memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen. Hanya ada 23 perempuan dari 100 anggota timsel, yang ditunjuk KPU RI sebagai timsel KPU daerah.

Padahal jika mengacu pada Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2023 KPU, dalam menyusun komposisi tim seleksi harus memperhatikan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.  Keadaan inilah yang bisa menghambat harapan agar komposisi anggota KPUD terpilih periode 20-2028 di 20 provinsi nanti juga bisa memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30 persen.

Saat ini saja misalnya di level provinsi, keterwakilan perempuan hanya mencapai angka sekitar 21,08 persen. Bahkan di lima provinsi tidak punya komisioner perempuan. Provinsi ini masing-masing adalah Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.

Amal menambahkan dalam catatan Perudem hal ini juga disusul dengan hanya enam provinsi dengan tim seleksi yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30 persen, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah (40 persen), dan Sulawesi Utara (60 persen).

Di tingkat kabupaten atau kota, angkanya lebih rendah. Hanya 17,35 persen. 441 perempuan, dari total 2.542 anggota. Data-data ini jelas mengkhawatirkan, apalagi menurut Betty bakal calon perempuan sulit sekali didapatkan. Jika tidak ada intervensi langsung dari perempuan dalam penyelenggaran pemilu, maka semakin sedikit pula perempuan yang mencalonkan diri atau dicalonkan dalam kontestasi politik ini.

Baca juga:  Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu

Politik yang Tak Berpihak pada Perempuan

Selain keterwakilan perempuan dalam politik dan penyelenggaraan pemilu, dua hal penting lainnya yang harus dibahas soal minimnya capres dan cawapres perempuan adalah politik dan media yang tidak ramah atau berpihak pada perempuan.

Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dan juga dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera mengatakan iklim politik di Indonesia masih sangat maskulin. Bahkan ia menyebutkan iklim politik di Indonesia diciptakan untuk dan dari laki-laki hal yang tak lain menurutnya hadir karena habitus politik atau kebiasaan yang kita bangun sendiri.

Ini tak hanya mengacu pada kuantitas atau jumlah laki-laki dalam politik, tetapi juga bagaimana politik di Indonesia didesain hanya untuk bisa memajukan laki-laki saja. Bivitri menjelaskan bagaimana guyonan seksis masih ia dengar dalam lingkungan DPR. Dalam jajak pendapat di rapat DPR, pemikiran perempuan juga dipinggirkan.

Amalia secara spesifik misalnya pernah ikut dalam rapat Komisi II DPR dan melihat bagaimana salah satu politisi perempuan justru “dibully”.

“Ketika mereka ingin menyampaikan pendapat, perempuan suka tidak dianggap serius. Ruangnya terlalu maskulin, ngebuat perempuan jadi jarang ngomong. Saya melihat tendensi ini ketika perempuan kalah jumlah,” jelas Amalia.

Selain itu, Bivitri juga menjelaskan bagaimana rapat-rapat DPR seringkali tak kenal waktu. Bisa sampai jam 12 malam atau lebih. Hal yang kemudian juga ditambah dengan beban ganda bahkan multiple burdens yang harus dipikul oleh perempuan politisi.

Dengan anggapan bahwa perempuan harus memerankan peran gendernya sebagai ibu sekaligus istri, bertanggung jawab atas ranah domestik, perempuan politisi mau tidak mau harus berjibaku dengan dua peran sekaligus. Tentunya ini membuat perempuan kesulitan memainkan perannya sebagai perempuan politisi secara maksimal.

“Saya kalau memberikan pembekalan tuh suka pake ilustrasi perempuan dan laki-laki di mana jika laki-laki berlari dari garis start dia jalannya lurus saja, sedangkan perempuan ketika berlari ada saja yang ngebuat dia berhenti. Mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik terus mereka hamil, melahirkan, menyusui tidak dibantu,” jelas Bivitri dalam talkshow itu.

Tak hanya sampai ini saja, perempuan politisi juga harus mengalami kekerasan berbasis gender. Rizka Antika, Program Officer Infid menerangkan perempuan akan lebih sering mendapatkan perlakukan berbeda hanya karena gaya berpakaian mereka, cara mereka bersolek, sampai cara berbicara mereka. Komentar-komentar seksis misoginis yang dilayangkan kepada mereka pun tidak hanya terlontar dari sesama politisi saja, tetapi juga media dan masyarakat pada umumnya.

Pernyataan Rizka sejalan dengan temuan The Disinformation Project pada 2022 yang menyatakan ada pertumbuhan yang berlipat-lipat pada jenis kekerasan yang bisa diidentifikasi sebagai KBGO pada para perempuan politisi dan ini meningkat setiap harinya.

Temuan senada disampaikan akademisi dari University of Exeter. Dilansir dari BBC Worklife, dalam lima tahun terakhir, ada kekhawatiran besar terkait keamanan perempuan di ruang digital. Ancaman dengan kata-kata “pukul, tusuk, tembak, serang” jumlahnya terus meningkat menjadi total 849 referensi harian.

Dengan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh perempuan dan berakibat langsung pada minimnya bakal calon capres dan cawapres perempuan, maka solusi yang ditawarkan pun tidak bisa bersifat tunggal tetapi dalam berbagai cara.

Pertama, dalam memecahkan masalah soal keterwakilan ini parpol bisa melakukan konsolidasi dari berbagai gerakan perempuan atau organisasi perempuan akar rumput. Ini tak hanya untuk menjamin keterwakilan perempuan secara kuantitas tapi juga kualitas atau substantif.  

Amalia menerangkan organisasi-organisasi perempuan ini bisa merekomendasikan nama-nama perempuan potensial untuk menjadi kader partai, yang kemudian bisa dilatih untuk menjadi calon.

“Jadinya perempuan bisa hadir di ranah politik dengan modalitas kemampuan yang baik,” ungkapnya.

Kedua, di saat bersamaan Amalia menilai parpol juga harus didorong untuk menjalankan fungsinya memberikan pendidikan kepada kadernya. Parpol harus memastikan adanya investasi khusus pada kader-kader perempuan mereka. Memberikan mereka pendidikan yang cukup agar mereka bisa bersaing.

Ia mencontohnya misalnya kader bisa secara khusus memberikan edukasi sistem pemilu atau bahkan yang spesifik pada pemberdayaan pada kader perempuannya. Ini agar kader perempuan tidak salah strategi dalam berpolitik.

Ketiga, khususnya terkait presidential threshold dan kemungkinan tipis bakal calon perempuan hadir lewat sistem ini karena tak mengakui calon independen di luar partai politik, maka ia mendorong pemerintah untuk menghapuskan ambang batas pencalonan paslon presiden dan wapres.

“Ambang batas pencalonan presiden ini juga tidak relevan dengan sistem pemilu yg menyerentakkan pilpres dengan pileg di satu hari yg sama,” tegasnya.

Solusi yang ditawarkan Amalia menurut Bivitri kemudian perlu diperkuat dengan cara keempat. Yaitu, harus adanya perombakan persepsi demokrasi di jajaran pemerintahan dengan tujuan transformasi politik yang inklusif dan berperspektif gender. Perombakan persepsi ini dimaksudkan agar demokrasi tidak lagi dipotret harus bisa mewakilkan perempuan tetapi sebaliknya, demokrasi justru membutuhkan perempuan untuk bisa hidup dalam esensinya.

“Demokrasi yang membutuhkan perempuan akan membuat ruang politik lebih penuh kecermatan. Ini membuka jalan untuk masuknya perspektif kelompok rentan, anak, disabilitas yang harus dihitung dalam setiap pembuatan kebijakan,” tutur Bivitri.

Cara kelima adalah dengan memperbanyak peliputan media terhadap perempuan politisi berikut dengan framing kepemimpinan baik mereka. Hal ini secara khusus disampaikan oleh Rizka karena jika merujuk pada data Perludem yang memantau delapan stasiun televisi di Indonesia, sangat sedikit perempuan diberitakan di media. Perempuan yang menjadi kepala daerah yang sukses misalnya hanya diliput di media lokal, sehingga secara nasional berdampak pada popularitas perempuan.

Karena itu, memperbanyak profil perempuan politisi di media menjadi sangat penting. Mereka harus diberikan kesempatan yang sama untuk unjuk diri kemampuan mereka dalam berpolitik sama seperti rekan-rekan politisi laki-laki yang lain. Oleh sebab itu, cara ini harus dibarengi dengan framing baru pada politisi perempuan.

Framing baru dalam hal ini berkaitan dengan cara media meliput kepemimpinan khas perempuan. Bahwasanya kepemimpinan perempuan yang mengutamakan nilai-nilai ‘feminin’, seperti empati, kolaborasi, dan kesabaran dapat secara efektif menyelesaikan masalah atau tantangan politik. Seperti halnya bagaimana Jacinda Ardern, mantan perdana Menteri Selandia Baru yang sukses dalam penanganan Covid di negaranya.

Hal terakhir atau cara keenam yang tak kalah penting adalah dengan mengakui pengalaman khas perempuan sebagai sebuah fakta bukan sebagai opini. Dalam kasus kekerasan berbasis gender dalam berpolitik, sudah waktunya media dan masyarakat mengakui bahwa perempuan politisi memiliki tantangan yang lebih berat hanya karena identitas gender mereka.

Mengakui bahwa perempuan politisi lebih banyak mengalami ketidakadilan lewat perlakukan seksis dan misoginis berikut pula ekspektasi gender yang mereka ampu hingga menimbulkan beban ganda, bisa membuat perempuan politisi lebih tervalidasi pengalamannya. Mereka pun jadi lebih punya ruang lebih banyak untuk berbicara tentang hambatan berpolitik tanpa dibayang-bayangi oleh stigma atau pelabelan negatif.

“Ketika perempuan masuk ke ranah politik dan ingin mencapai pimpinan politik kerentanannya lebih tinggi. Ini yang harus diacklnowgede, harus ada ruang aman buat bercerita, gimana mereka dalam politik. Agar masyarakat juga tau ada kendala-kendala khusus yang memang dihadapi mereka,” tutup Rizka.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *