Akhir pekan lalu, festival musik Pestapora yang digelar di Jakarta disorot publik usai terungkap sponsorship dari PT Freeport Indonesia. Informasi ini pertama kali muncul dari tangkapan layar percakapan penggemar dengan band Sukatani yang mengonfirmasi keterlibatan perusahaan tambang tersebut.
Respons para musisi, khususnya di lineup terbelah. Sebagian membatalkan penampilan, ada yang tetap tampil sambil menyumbangkan pendapatan ke organisasi lingkungan hidup, sementara beberapa memilih tak berkomentar.
Terkait kontroversi ini, Pestapora menyampaikan lewat Instagram, mereka tidak lagi bekerja sama dengan Freeport untuk hari kedua dan ketiga, disertai video permintaan maaf dari Festival Director Kiki Aulia Ucup.
Musisi yang memilih tampil di Pestapora, seperti Yacko, menggunakan panggungnya untuk menyuarakan isu sosial dan politik: PT Freeport Indonesia yang mengeksploitasi tanah Papua, kekerasan, dan tuntutan rakyat 17+8. Sebab, perempuan juga terdampak oleh kondisi iklim dan politik.
“Perempuan itu pengelola sumber daya, termasuk di daerah yang bergantung pada iklim. Tapi sering nggak dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ujar Yacko saat diwawancara Magdalene.
Ia kemudian mendonasikan penghasilan dari Pestapora kepada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), untuk mendukung kerja-kerja lingkungan hidup.
Sebaliknya, Sukatani menolak tampil. Alectroguy dari Sukatani menjelaskan kepada Magdalene, (9/9), “Sekarang mulai banyak artwashing. Perusahaan dan brand yang mengeksploitasi lingkungan dan buruh mencoba memperbaiki nama dengan masuk ke ranah seni.”
Sebenarnya, Pestapora sendiri bukan satu-satunya acara seni yang didanai oleh perusahaan ekstraktif. Mei lalu, Perantara Fest—konser yang diselenggarakan oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada (HIPMI PT UGM)—disponsori oleh PT Freeport Indonesia. Sementara pada 2016, Art Jog juga bekerja sama dengan perusahaan ekstraktif tersebut dan menimbulkan polemik.
Pertanyaannya, kenapa perusahaan ekstraktif mensponsori acara seni? Adakah yang bisa dilakukan oleh para musisi untuk melawan ini di tengah keterbatasan pendanaan?
Baca Juga: Dari NIKI hingga No Na: Musisi yang Berhasil di Tengah Absennya Negara
Artwashing dan Tantangan Musisi
Menghelat festival musik membutuhkan biaya besar. Nuran Wibisono, pengamat musik, menyatakan kepada Magdalene, sponsor bisa menutupi 40 sampai 60 persen biaya produksi. Karena itu, penyelenggara festival terbiasa bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk perusahaan ekstraktif melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).
“Kalau tujuannya profit, selama nggak melanggar hukum dan aturan, penyelenggara acara akan menyambut baik sponsor,” terang Nuran.
Namun, praktik ini kerap disebut artwashing, yakni penggunaan seni untuk memperbaiki citra buruk dan melegitimasi kerugian, yang disebabkan oleh perusahaan, merek, pemerintah, atau organisasi. Seperti PT Freeport Indonesia, yang merusak lingkungan dan merampas hak hidup masyarakat adat Papua, kemudian “mendukung” acara seni sebagai pencitraan.
Masalahnya, menurut Nuran, belum banyak yang familier dengan istilah artwashing. Ini bisa berdampak pada independensi seniman dalam mengkritik dan berekspresi.
Misalnya sejumlah musisi yang tergabung dalam Music Declares Emergency Indonesia—kolektif seniman di industri musik yang berkomitmen meningkatkan kesadaran soal krisis iklim—seperti Kunto Aji, Endah N Rhesa, Sukatani, dan Reality Club. Terlibat dalam acara yang terafiliasi dengan perusahaan yang mengeksploitasi lingkungan, dapat membuat kredibilitas mereka terhadap isu ini dipertanyakan.
Sebagai musisi yang punya kekhawatiran terhadap isu sosial, politik, dan lingkungan, Yacko pun berusaha menyelaraskan nilai-nilai yang dipegang sebagai individu lewat karyanya. Termasuk dalam menentukan panggung untuk berekspresi.
Sayangnya, yang kadang terjadi, pihak yang mensponsori acara bertentangan dengan isu yang dibawakan oleh musisi. Akibatnya, musisi pun terbatas mendapatkan panggung besar dan berdampak pada pendapatan, karena ada kecenderungan perlu menghindari tema yang berpotensi menyinggung sponsor. Seperti lagu-lagu tentang kerusakan alam.
“Padahal pendapatan terbesar dari manggung, baru merchandise. Royalti juga nggak seberapa, apalagi sistemnya masih berantakan,” ungkap Yacko.
Situasi ini bukan cuma berdampak pada musisi, melainkan acara musik. Jika dilihat secara etis, acara musik yang disponsori oleh perusahaan ekstraktif akan kehilangan dukungan dari penonton dan musisi, serta dianggap mengabaikan isu lingkungan.
Sementara kondisinya, dukungan pemerintah terhadap musisi dan acara musik juga terbatas. Sebenarnya, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menyalurkan hibah bagi orang-orang yang terlibat dalam kebudayaan, melalui Dana Indonesiana. Salah satunya pernah diberikan untuk Synchronize Festival 2022. Namun, belum ada pendanaan yang berfokus untuk seni musik, melainkan tergabung dalam Dana Abadi Kebudayaan.
Lalu, sistem pendanaan seperti apa yang bisa mendukung keberlangsungan para musisi?
Baca Juga: Belajar dari My Day: Sudah Saatnya Konsumen Konser Berserikat
Sistem Pendanaan Alternatif dan Upaya Musisi Mandiri
Beberapa musisi yang membatalkan penampilan di Pestapora menggelar panggung alternatif di berbagai tempat. Efek Rumah Kaca dan Negatifa tampil di Komite Aksi Solidaritas untuk Munir di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, sementara Paguyuban Crowd Surf dan Sukatani membuat konser di Krapela, Jakarta Selatan. Pos Bloc di Jakarta Pusat menjadi panggung bagi Silampukau.
Namun, tampil di panggung-panggung kecil saja tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup para musisi. Sebagian dari mereka juga bergantung pada undangan acara musik untuk tampil di atas panggung.
Selama belum ada sistem pendanaan yang menopang skena musik, Yacko dan Alectroguy menyampaikan langkah konkret yang bisa dilakukan musisi, untuk menjaga integritas karya sekaligus memastikan keberlanjutan finansial.
Pertama, menjual merchandise, album fisik atau digital, dan karya seni lainnya langsung ke penggemar. Platform seperti Bandcamp memungkinkan musisi untuk mendapat keuntungan lebih besar dan membuka fitur donasi.
Kedua, menggunakan platform crowdfunding untuk mengajak penggemar berdonasi dan memberikan fan service. Mengadakan meet and greet, misalnya, atau akses eksklusif terhadap konten di balik proses berkarya para musisi. Ini sekaligus mempererat relasi dengan penggemar, dan uang berasal dari pihak yang menghargai karya musisi, bukan korporasi.
Ketiga, memanfaatkan media sosial, panggung, dan wawancara dengan media untuk mengedukasi penggemar tentang nilai-nilai yang dipegang, isu pendanaan, serta dampak industri. Harapannya, penggemar akan sadar, kritis, dan mau berdonasi untuk kelangsungan hidup musisi.
Keempat, mencari dana hibah dari yayasan seni, organisasi non-profit, atau kolaborasi dengan perusahaan yang memiliki nilai-nilai selaras dengan musisi. Meski kemungkinannya dana yang didapat lebih kecil, risiko terhadap integritas musisi akan lebih rendah.
Kelima, kolaborasi membuat acara musik bersama musisi lain. Namun, dibutuhkan tim manajemen dan marketing yang kuat untuk mendatangkan banyak audiens.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Pamungkas, Sejauh Mana ‘Fan Service’ Boleh Dilakukan?
Keenam, musisi dan komunitas seni membuat daftar jenis perusahaan yang akan diterima dan ditolak untuk dukungan kerja sama, kemudian dituliskan pada kontrak. Ini ditentukan berdasarkan rekam jejak perusahaan, dan kesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki para musisi.
Saat menerima undangan pun, musisi perlu mengkroscek siapa saja yang terafiliasi dengan penyelenggara. Sementara penyelenggara acara juga perlu bersikap transparan terhadap musisi.
Dengan cara-cara tersebut, harapannya, musisi dan komunitas seni bisa membangun ekosistem yang lebih sehat.
“Dari otonomi finansial, akhirnya memperkuat otonomi kreatif,” pungkas Yacko.
















