Menjelang 2 Dekade ‘Realita, Cinta, dan Rock’n Roll’: Membaca Hubungan Ipang-Nugi
Dalam salah satu adegan Sleep with Me (Rory Kelly, 1994), Quentin Tarantino muncul sebagai cameo, memerankan tamu pesta yang cerewet dan penuh energi. Pada karakter Dave (Todd Field), dengan menggebu-gebu ia berargumen: Top Gun (Tony Scott, 1986) sejatinya adalah kisah tentang “perjuangan seorang lelaki melawan homoseksualitasnya sendiri.”
Monolog singkat berdurasi dua setengah menit itu sejak lama menjadi kutipan wajib setiap kali muncul pembacaan queer atas Top Gun. Film propaganda militer Amerika ini memang dibalut maskulinitas berlebihan, penuh atribut konservatif tentang gender dan gagasan macho. Namun, di balik lapisan itu, subteks homoerotiknya sulit diabaikan. Terutama dalam adegan ikonis pertandingan voli—deretan pria berpeluh dengan tubuh berkilau—yang tak butuh argumen panjang untuk menegaskan betapa homoerotisnya film itu.
Pengalaman serupa saya rasakan saat menonton ulang Realita, Cinta, dan Rock’n Roll (Upi Avianto, 2006). Dalam diskursus sinema queer Indonesia, film ini lebih sering dikenang karena keberadaan Mariana (Barry Prima), seorang transpuan kaya-raya yang ternyata adalah ayah dari tokoh utama Nugi (Herjunot Ali).
Baca juga: Lagu ‘Angel Baby’ Troye Sivan Minta ‘Queerphobic’ buat Kalem
Akademisi asal Inggris, Ben Murtagh, dalam buku Genders and Sexualities in Indonesian Cinema (2013), secara spesifik mengedepankan posisi penting RCRR sebagai film era 2000-an yang menampilkan karakter transpuan dalam peran mayor. Namun, pembacaan biasanya berhenti di titik itu.
Herannya, penafsiran lebih dalam terhadap relasi dua tokoh utamanya, Ipang (Vino G. Bastian) dan Nugi, masih relatif jarang—atau mungkin hampir tidak pernah—dilakukan. Padahal, jika dilihat sekilas saja, dari cara Upi membingkai keduanya, intensitas homososial yang kental hingga nuansa homoerotik, hampir tidak bisa dielakkan.
RCRR berfokus pada kehidupan Ipang dan Nugi, sepasang sahabat berjiwa pemberontak dengan kepribadian yang penuh letupan khas remaja pria. Film secara umum memotret keduanya menavigasi tiga ruang sosial: mereka di rumah, di sekolah, dan saat di dunia luar bersama personel ketiga, Sandra (Nadine Chandrawinata), penjaga toko musik sekaligus object of lust yang diperebutkan keduanya. Namun, lebih sering, layar didominasi kebersamaan Ipang dan Nugi, tanpa perempuan. Dari situlah tensi homoerotik muncul.
Male Gaze, Homososialitas, dan Mekanisme Homoerotika
Maaf untuk menjadi orang kesejuta kalinya yang melakukan ini, tapi lagi-lagi saya harus berangkat dari esai monumental Laura Mulvey, Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975). Untuk bisa melihat bagaimana homoerotisme terpantik, terlebih dahulu kita harus memahami cara kamera sinema arus utama ‘memandang’ objeknya. Mulvey, dalam esainya, membongkar bagaimana sinema mainstream beroperasi dalam kerangka male gaze: di mana laki-laki diposisikan sebagai subjek aktif yang menatap, sementara perempuan ditempatkan sebagai objek pasif yang ditatap. Kamera, narasi, dan struktur film konvensional bekerja sama untuk meneguhkan relasi kuasa gender ini.
Namun, sejumlah kritikus kemudian bertanya: apa yang terjadi jika perempuan absen di layar?
Alexander Doty (1993) dan Richard Dyer (2002) menunjukkan bahwa absennya perempuan tidak lantas menghentikan kerja male gaze. Kamera tetap mencari objek pandang, dan tubuh laki-laki pun tak luput jadi sasaran. Dengan begitu, maskulinitas ditampilkan sebagai spektakel erotis—tubuh berotot, kedekatan fisik, keintiman sahabat laki-laki—membuka celah bagi pembacaan queer.
Eve Kosofsky Sedgwick (1985), melalui konsep homosocial desire, menambahkan dimensi penting, bahwa ikatan antarpria, baik dalam wujud persahabatan, solidaritas, maupun kompetitor, sering kali dibangun lewat eksklusi perempuan. Meskipun secara tekstual subjek yang terlibat beridentitas seksual hetero, situasi itu menyimpan potensi homoerotik. Tidak jarang, tensi ini dinegasikan dengan gurauan homofobik—cara verbal untuk menyangkal ketertarikan yang sebenarnya terbangun dalam interaksi fisik dan emosional antarpria.
Baca juga: Homofobia dan LGBT yang ‘Mengganggu’
Patrick Schuckmann, dalam artikelnya Masculinity, the Male Spectator and the Homoerotic Gaze, memperluas kerangka ini. Ia menekankan bahwa tubuh laki-laki yang ter-erotisasi bukan hanya dapat ditonton perempuan, tetapi juga ditujukan bagi penonton laki-laki heteroseksual. Pemikiran ini, tentu saja merupakan perpanjangan konsep male gaze milik Mulvey yang mengasumsikan penonton film yang utama adalah laki-laki, kulit putih, dan heteroseksual. Di sinilah homoerotika beroperasi: ia dievokasi lewat penggambaran tubuh laki-laki, tapi sekaligus disangkal melalui mekanisme naratif tertentu.
Ada tiga mekanisme utama yang kerap muncul dalam representasi homoerotika di layar. Pertama, lewat buddy movie dynamics—persahabatan erat antar dua laki-laki yang ditampilkan penuh tek-tokkan verbal, kontak fisik, namun segera disangkal lewat selorohan homofobik atau kehadiran token perempuan sebagai “pelindung hetero”. Kedua, melalui displacement onto violence, situasi ketika ketegangan homoerotis dialihkan menjadi duel fisik, rivalitas, atau pertarungan maskulin. Dan ketiga, lewat pola hero–villain double, berupa obsesi intens antara dua laki-laki yang mewujud dalam hubungan musuh bebuyutan.
Realita, Cinta, dan Rock’n Roll beroperasi dalam mekanisme yang pertama.
Hampir sepanjang film, persahabatan Ipang–Nugi digambarkan penuh candaan bermuatan seksual, kontak fisik yang intim, dan kedekatan yang difilmkan intens. Perempuan, ketika hadir, sering hanya berfungsi sebagai latar atau mediator, sementara energi erotis tersirkulasi antar-mereka berdua. Dengan kata lain, RCRR punya motif yang hampir persis seperti Top Gun atau film buddy cop Amerika: menampilkan relasi homososial yang sarat homoerotika, sambil secara verbal menyangkalnya.
Tradisi sinematik konvensional dalam membingkai sosok perempuan atraktif kerap hadir lewat bahasa visual yang khas: slow motion ketika tokohnya menyibakkan rambut, close-up hingga extreme close-up pada bagian tubuh tertentu—mata, bibir, pinggul, dan seterusnya—yang semuanya ditujukan untuk menegaskan daya tarik sang karakter. Seluruh perangkat ini tak lain adalah manifestasi dari male gaze.
Lalu, bagaimana jika teknik-teknik itu dilakukan pada karakter laki-laki? Dengan asumsi bahwa, lagi-lagi, konsumen utama sinema adalah laki-laki heteroseksual.
Ketegangan Homoerotik di Layar


Gambar 1
Salah satu momen homoerotik paling gamblang ada di adegan ketika Ipang dan Nugi dipaksa melepas pakaian mereka di toko musik sebagai jaminan utang, hingga keduanya tinggal mengenakan boxer.
Dalam scene yang menyediakan ikonografi paling berkesan dalam film ini [Gambar 1], kamera memotret tubuh mereka dengan gaya yang biasa dipakai untuk menyoroti perempuan seksi: shot pengungkapan berupa slow motion, mereka lalu berpose, diakhiri dengan two-shot keduanya menyalakan rokok.
Dialog mereka dalam adegan ini sarat dengan muatan seksual, meski dibungkus sebagai gurauan. “Kalo gue telanjangnya sama lo, ntar lo ngaceng lagi,” celetuk Ipang. Dengan sigap Nugi membalas, “Ye, punya lo kecil, nggak nafsu gue!” Di sini, homoerotika dievokasi secara gamblang, namun sekaligus dinegasikan melalui candaan bernuansa homofobik. Bagi penonton hetero, adegan ini mungkin sekadar komedi ringan. Tetapi bagi penonton dengan sensibilitas queer, lapisan maknanya jauh lebih kompleks dan layak dibedah lebih dalam.
Nuansa serupa muncul dalam adegan saat keduanya bolos kelas. Mereka memaksa seorang teman yang biasa jadi target perundungan untuk pura-pura pingsan, supaya mereka punya dalih berpura-pura menolongnya. Kepergok, sang guru langsung mendesak mereka untuk memberi napas buatan. Terjebak oleh skenarionya sendiri, keduanya saling dorong untuk menghindari melakukan kontak bibir ke bibir.
Akar dari situasi komedik ini jelas homofobik; di mana keduanya enggan melakukan aksi pemberian napas buatan ke teman laki-laki karena, secara teknis, hal itu sama dengan berciuman. Keduanya berakhir mempraktikkan aksi pemberian napas buatan. Kendati terlihat jijik, namun dari cara keduanya saling lempar tanggung jawab untuk melakukannya duluan, terpancar sesuatu yang playful, sehingga homofobia itu bertransformasi jadi hal yang kasual. Mekanisme klasik buddy comedy bekerja di scene ini, di mana homoerotika hadir, lalu ditertawakan.
Baca juga: Kita Semua Queer!
Dalam percakapan sehari-hari, godaan semacam itu terus berulang. Ipang, misalnya, pernah mengusik Nugi dengan menggoda soal ibunya yang masih cantik dan “punya kebutuhan seksual,” sambil mengelus rambut Nugi [Gambar 2]. Kontak fisik ini terasa intim meski dibungkus canda. Begitu pula saat mereka saling tuduh “lo doyan cowok kan?” atau bahkan membandingkan alat kelamin masing-masing [Gambar 3]. Sentuhan, tatapan, dan banter seksual ini menciptakan playful intimacy—sebuah bentuk keakraban yang dengan mudah bisa dibaca sebagai homoerotik.


Gambar 2 Gambar 3
Puncaknya, secara terang-terangan film ini menempatkan Ipang dan Nugi dalam situasi yang seksual, meskipun, lagi-lagi, berujung dengan penyangkalan.
Setelah hari yang panjang bagi Nugi selepas ia mengetahui ayahnya telah bertransformasi, Ipang dan Nugi berbaring bersebelahan di ranjang [Gambar 4]. Terlalu lelah, Nugi enggan membicarakan apa yang terjadi di hari itu. Ipang pun menyarankan untuk langsung tidur saja. Keduanya pun refleks membuka kaos bersiap untuk tidur. Mereka pun perlahan menyadari bahwa situasi itu berpotensi seksual. Keduanya pun dengan canggung menutupi badan masing-masing dengan tangan, sebelum akhirnya Ipang menyarankan, “Mending kita pake lagi kaosnya aja kali ya?”


Gambar 4
Tak kalah signifikan, adalah teknik framing yang digunakan dalam sebuah sekuens ketika Ipang, Nugi, dan Sandra berbagi cerita sedih di sebuah lahan kosong. Saat Sandra menceritakan kisah sedih tentang kehidupannya, kamera mengalihkan pandangan ke bulan, lalu cut to close-up bibir Ipang yang sedang memantik rokok [Gambar 5]. Teknik framing ini sangat lumrah digunakan untuk menyoroti tubuh perempuan, guna memberikan penekanan pada desirabilitas.
Namun di sini, tubuh laki-laki lah yang diperlakukan sebagai objek pandangan. Sandra, yang mestinya menjadi pusat male gaze, malah tersisih dan tidak jadi titik fokus kamera.

Gambar 5
Kehadiran Sandra memang sering berfungsi sebagai mediator. Setelah adegan napas buatan, ia menggoda bahwa tak ada salahnya jika Ipang dan Nugi punya fantasi seksual dengan sesama pria. Mereka buru-buru menyangkal, lalu beralih saling tuduh dengan gurauan kasar: “Lo sebenernya lepas perjaka sama cewek atau cowok? Pantesan pantat lo tajem, semua lo sikat!” Persaingan mereka memperebutkan Sandra terasa lebih sebagai intensitas relasi antar mereka berdua ketimbang ketertarikan nyata pada Sandra. Sosok perempuan di sini seolah menjadi “alibi” heteroseksualitas, seperti karakter Charlie dalam Top Gun.
Baca juga: Menonton Lagi ‘fiksi.’ Lewat Kacamata Queer: ‘Alice in Wonderland’ Versi Mouly Surya
Dengan berbagai adegan dan tekning framing yang disuguhkan, RCRR ternyata memang punya banyak kesamaan pola dengan Top Gun.
Dari adegan boxer yang mengobjektifikasi tubuh laki-laki, gurauan seksual yang berulang, sampai momen tidur berdua yang nyaris erotis—kamera Upi bekerja tidak jauh berbeda dari bagaimana film remaja lain biasanya membingkai tubuh perempuan. Perbedaannya, kali ini tubuh laki-laki lah yang ditempatkan sebagai objek pandang.
Dengan atau tanpa kesadaran sang sutradara, male gaze di sini berbalik arah, menghasilkan homoerotika yang mengalir di sepanjang film. Tentu saja, Realita, Cinta, dan Rock’n Roll bukanlah “film gay” dalam arti konvensional. Besar kemungkinan, Upi tidak pernah berniat menuturkan relasi queer secara eksplisit.
Namun, seperti diingatkan Alexander Doty, penonton queer selalu punya cara untuk “reading between the lines,” menemukan jejak dirinya dalam teks yang di permukaan tampak heteronormatif. Bagi penonton queer Indonesia kala itu—di masa ketika representasi langsung masih begitu minim—cara membaca semacam ini justru membuka ruang untuk merasa dilihat dan dikenali.
















