Sayup-sayup “Free Palestine” di Hollywood Kini Makin Bising
Pada 14 September 2025, karpet merah Emmy Awards ke-77 jadi ajang unjuk solidaritas politik. Javier Bardem melangkah di red carpet dengan sehelai keffiyeh di leher, lalu menyerukan penghentian genosida di Gaza. “Kami menyerukan blokade komersial dan diplomatik serta sanksi terhadap Israel untuk menghentikan genosida. Free Palestine!” ujarnya lantang kepada Variety.
Momen itu bukan sekadar gestur biasa—ia menandai titik penting artis Hollywood menggunakan panggung penghargaan untuk pesan politik global.
Tak lama berselang, giliran Hannah Einbinder—aktris Yahudi sekaligus bintang serial Hacks—yang sekali lagi jadi kepala berita karena membela Palestina.
Di akhir pidato kemenangannya sebagai Aktris Pendukung Terbaik, Hannah menutup dengan kalimat: “Go Birds, fuck ICE, and Free Palestine!”
Usai menerima piala, di belakang panggung ia bilang, “sebagai orang Yahudi, sudah jadi kewajiban saya untuk membedakan antara orang Yahudi dan negara Israel”. Ia juga menyebut punya banyak teman yang jadi petugas kesehatan di Gaza, sehingga punya kewajiban untuk menyebarkan yang sebenarnya terjadi.
Video itu langsung tersebar ramai di internet. Bukan hanya karena keberaniannya, Hannah kembali dipuji karena teguh mematahkan stereotip lama bahwa suara pro-Palestina identik dengan anti-Yahudi.
Selain dua momen monumental itu, sejumlah aktor memilih simbol-simbol halus, tapi sarat makna. Megan Stalter menenteng tas bertuliskan “Ceasefire!”; sementara Aimee Lou Wood, Natasha Rothwell, Ruth Negga, dan Chris Perfetti mengenakan pin Artists4Ceasefire. Red carpet Emmy 2025 berubah jadi panggung politik.
Baca juga: 4 Hal Menarik di Oscar 2024: Pin Merah Artists4Ceasefire hingga Kemenangan ‘Oppenheimer’
Dari Simbol Perlawanan Jadi Solidaritas Terorganisir
Di balik simbol-simbol itu ada strategi terorganisir. Pin Artists4Ceasefire adalah bagian dari kampanye panjang yang sejak 2023 telah mengumpulkan ribuan tanda tangan artis dan pekerja budaya menuntut gencatan senjata. Kini, kampanye itu bersambung dengan gerakan baru: Film Workers for Palestine.
Seminggu sebelum Emmy, lebih dari 4900 (per 17 September naik jadi 8000) nama dari industri film menandatangani janji terbuka (pledge) untuk tidak bekerja sama dengan lembaga atau perusahaan film Israel, yang terlibat dalam genosida dan apartheid. Inisiatif ini dipelopori Film Workers for Palestine, jaringan pekerja film lintas profesi.
“Kami menjawab seruan para pembuat film Palestina, yang mendesak industri film internasional untuk menolak diam, rasisme, dan dehumanisasi, serta untuk “melakukan segala hal yang mungkin secara manusiawi” demi mengakhiri keterlibatan dalam penindasan mereka,” ungkap Film Workers for Palestine di seruan terbuka mereka.
Nama-nama yang muncul dalam seruan terbuka itu di antaranya adalah: Hannah Einbinder, Emma Stone, Andrew Garfield, Lily Gladstone, Indiya Moore, Olivia Coleman, Ayo Edibiri, Tumpal Tampubolon, dan lainnya.
Gelombang dukungan artis ini juga tak luput dari serangan balik. Di media sosial, beredar klaim bahwa seruan terbuka tersebut adalah bentuk “boikot orang Yahudi”. TheWrap melaporkan, pledge itu menuai respons dari sebagian studio yang menganggapnya “misguided”. Times of Israel menyoroti jumlah tanda tangan yang terus bertambah hingga ribuan, menandakan seriusnya dukungan solidaritas ini di kalangan Hollywood.
Faktanya, dilansir dari Snopes, teks seruan itu hanya menyasar institusi dan entitas film Israel tertentu—bukan individu berdasarkan identitas etnis atau agama. Film Workers for Palestine pun merilis pernyataan klarifikasi untuk menegaskan bahwa boikot ini menargetkan institusi yang “terlibat dalam genosida dan apartheid”, bukan komunitas Yahudi secara keseluruhan.
Klarifikasi itu penting, terutama untuk melawan narasi antisemitisme yang kerap dipakai untuk membungkam solidaritas pro-Palestina di ruang publik Amerika.
Meningkatnya suara selebritas Hollywood yang lantang menyuarakan pembebasan Palestina bukanlah kebetulan. Dalam setahun terakhir, industri hiburan diguncang oleh protes internal: mulai dari petisi pekerja film yang menuntut boikot lembaga Israel, seperti dikutip dari The Wrap, hingga perpecahan opini di festival-festival internasional.
Ajang penghargaan besar seperti Emmy atau Oscar kini menjadi panggung politis yang krusial. Di tengah sorotan global, selebritas sadar setiap pernyataan mereka punya dampak luas—seperti yang ditulis New York Times, dukungan untuk Palestina semakin menonjol seiring publik Amerika makin kritis terhadap peran negaranya dalam konflik Gaza. Hal ini memperlihatkan pergeseran besar: isu yang dulu dianggap “tabu” kini menjadi pusat percakapan budaya pop.
Menurut laporan Arab News, sikap publik figur di Hollywood mencerminkan tekanan moral yang lebih luas, terutama karena suara mereka tak lagi bisa dipisahkan dari advokasi kemanusiaan.
Baca juga: Jurnalis ‘Al Jazeera’ Anas Al-Sharif dan Keempat Rekannya Meninggal Dibom Israel
Sejarah Hollywood, Yahudi, dan Israel
Teriakan politis dari selebritas di panggung penghargaan Hollywood sebetulnya bukan lagu baru.
Dari Marlon Brando yang menolak Oscar pada 1973 untuk memprotes penjajahan dan perlakuan pemerintah terhadap penduduk asli Amerika, hingga Jane Fonda yang lantang melawan perang Vietnam, sejarah mencatat artis kerap memakai spotlight mereka untuk isu besar. Bedanya, isu pembebasan Palestina agak lebih pelik, karena kedekatan Yahudi dan Hollywood.
Hollywood sendiri sejak awal memang tak pernah steril dari politik. Di awal abad ke-20, industri film Amerika tumbuh dari pinggiran—didirikan oleh para imigran Yahudi miskin dari Eropa Timur yang mencoba membangun kerajaan hiburan di tanah baru. Mereka bukan bagian dari kelas mapan; malah justru terlempar dari lingkaran kekuasaan Protestan-Kristen yang mendominasi Amerika Serikat.
Para pionir ini—Louis B. Mayer, Adolph Zukor, Samuel Goldwyn, hingga para pendiri Warner Brothers—mendirikan studio bukan hanya untuk mengejar laba. Mereka juga mencari legitimasi. Hollywood, bagi mereka, adalah jalan masuk ke jantung Amerika. Maka layar perak bukan sekadar hiburan; ia adalah cara membentuk citra diri, mengajukan klaim bahwa imigran Yahudi juga bagian dari “American Dream.”
Sejarah ini dicatat Kathryn Cramer Brownell dalam risetnya, Hollywood Politics. Sepanjang abad ke-20, dalam catatan Brownell, relasi ini semakin dalam. Para pemimpin studio mendekat ke politisi dari dua partai besar, menggelontorkan dana, dan ikut menyusun narasi nasionalisme. Pada masa Perang Dunia II, Hollywood jadi mesin propaganda perang. Setelah itu, ia menjadi arena perang dingin, di mana aktor, penulis, dan sutradara dituduh komunis lalu dibungkam melalui daftar hitam.
Kedekatan Hollywood dengan komunitas Yahudi, serta dengan Israel setelah 1948, sulit dipisahkan. Hingga kini, asosiasi antara Hollywood, Yahudi, dan dukungan terhadap Israel masih kental. Bukan sekadar hubungan budaya, melainkan juga finansial dan politik. Donasi politik dari tokoh-tokoh industri hiburan kerap terkait dengan agenda pro-Israel.
Baca juga: Setahun Kehancuran, Masihkah Ada Harapan Akhiri Genosida Israel di Gaza?
Inilah yang membuat seruan “Free Palestine” di Hollywood jadi medan berbahaya. Kritik terhadap Israel kerap dipelesetkan sebagai antisemitisme, meski banyak aktivis menegaskan perbedaan jelas antara identitas Yahudi dan kebijakan negara Israel.
Beberapa studio besar cepat merespons. Paramount, misalnya, seperti dicatat The Wrap, menolak gagasan boikot lembaga film Israel dengan alasan bahwa “membungkam individu berdasarkan kebangsaan tidak membawa perdamaian.”
Pernyataan Eibender tentang pentingnya membedakan Yahudi dan Israel makin penting.
















