December 5, 2025
Culture Issues Screen Raves

‘The Voice of Hind Rajab’ Menang di Venice Film Festival 2025, Apa Artinya?

Meskipun ‘The Voice of Hind Rajab’ meraih penghargaan internasional, keselamatan keluarga Hind kini tetap terancam di tengah eskalasi konflik di Gaza.

  • September 18, 2025
  • 7 min read
  • 2414 Views
‘The Voice of Hind Rajab’ Menang di Venice Film Festival 2025, Apa Artinya?

*Peringatan Pemicu: Genosida*

Tahun lalu, rekaman suara sambungan telepon Hind Rajab, anak perempuan berusia 5 tahun dari Gaza, dengan petugas Palang Merah Palestina sempat mengguncang dunia. Dalam rekaman asli dari 29 Januari 2024 itu, Hind terjebak di dalam mobil bersama paman, bibi, dan ketiga sepupunya yang telah tewas setelah dihantam tembakan tentara Israel dan meminta pertolongan Palang Merah Palestina. 

Setahun berselang, tragedi yang menimpa Hind diangkat ke layar lebar dalam film The Voice of Hind Rajab karya sutradara Tunisia Kaouther Ben Hania. Diputar perdana di Venice Film Festival pada 3 September 2025, film docudrama ini meraih Silver Lion Jury Prize setelah mendapat standing ovation hampir 24 menit. 

Ben Hania menggunakan rekaman suara asli Hind dengan seizin orang tua Hind. Kepada Vogue Arabia, ibu Hind, Wesam Rajab, menyebutkan dalam film ini terpampang kenyataan pahit yang dialami banyak anak di Palestina yang tewas akibat perang. “Takdir menginginkan kisah Hind terekam untuk membuka kejahatan pendudukan Israel dan menghentikan pembunuhan serta kelaparan,” ungkap Wesam. 

Baca juga: ‘No Other Land’ Menang Oscars, Apa Artinya?

Dalam rekaman aslinya, selama 70 menit Hind memohon untuk diselamatkan pada tim Palang Merah Palestina. “Tolong jemput aku, di sini ada tembakan.” Namun, ketika ambulans akhirnya dikirim, kendaraan itu dihancurkan dan 2 petugas medisnya ikut terbunuh. Penyelidik kemudian menemukan 355 lubang peluru di mobil keluarga Hind. Pada 10 Februari 2024, jasad Hind dan keluarganya baru ditemukan di dalam bangkai mobil tersebut.

Investigasi lebih lanjut mengungkap betapa brutal cara Hind dibunuh. Laporan Al Jazeera’s Fault Lines pada Juni 2024, bekerja sama dengan Forensic Architecture dan Earshot, merekonstruksi kejadian dan menunjukkan bahwa sebuah tank Israel hanya berjarak 13 hingga 23 meter ketika menembaki mobil keluarga Hind. 

Temuan PBB sebulan kemudian menegaskan, berdasarkan analisis forensik, mobil tersebut ditembak dari jarak sangat dekat dengan senjata yang hanya bisa diatribusikan kepada militer Israel. Meski bukti-bukti ini terang, hingga saat ini tidak ada investigasi resmi yang diumumkan. Ketika dimintai keterangan oleh AFP, militer Israel hanya menyatakan kasus ini “masih ditinjau”.

Seperti kata Wesam, ibu Hind, penggunaan rekaman suara putrinya dalam film menghadirkan representasi penting di layar. Namun, langkah itu sekaligus mengekspos keluarganya pada kerentanan baru. 

Akun X media independen Drop Site sempat mengunggah video Wesam pada 7 September 2025. Meski belum diketahui kapan video itu direkam, ia memohon bantuan dari para figur publik untuk menyelamatkan ia sekeluarga, termasuk Ayad, adik Hind yang kini berusia 5 tahun, keluar dari Gaza. Dalam video yang hampir ditonton 2 juta kali itu, Wesam bersaksi tank Israel telah mengepung lingkungan tempat tinggalnya. 

Dua hari kemudian, aktivis HAM Qasim Rashid lewat akun TikTok-nya bilang bahwa wawancaranya dengan Wesam hari itu harus dibatalkan karena kondisi Wesam yang tidak aman. “Ia harus melarikan diri demi menyelamatkan nyawanya dari militer Israel, yang sebelumnya merenggut nyawa putrinya dan kini membombardir wilayah di sekitar rumah Wesam,” ujar Qasim.

Baca juga: ‘The Brutalist’: Dosa ‘American Dream’ yang Menernak Zionisme

Kondisi Gaza Sekarang

Kondisi keluarga Hind yang disampaikan Qasim benar adanya. Pada 8 September 2025, PM Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan warga Gaza untuk segera meninggalkan Gaza, menyusul rencana peningkatan serangan udara dan persiapan manuver darat pasukan Israel ke kota tersebut.

Sehari kemudian, lewat pernyataan juru bicara IDF, Avichay Adraee, militer Israel secara resmi memerintahkan evakuasi total kota Gaza. Menurut pantauan Al Jazeera, warga Gaza dipaksa mengungsi ke “zona aman” Al-Mawasi, namun kenyataannya lokasi itu tetap diserang. Sampai sekarang, belum ada kabar terbaru mengenai keselamatan keluarga Hind.

Kerentanan yang terjadi pada keluarga Hind Rajab juga menimpa mereka yang kisahnya diabadikan lewat film soal Palestina. No Other Land, misalnya. Beberapa minggu setelah menang Film Dokumenter Panjang Terbaik di Academy Awards, salah satu sutradaranya, Hamdan Ballal, ditangkap oleh pasukan Israel di Tepi Barat setelah sebelumnya dipukuli. Pada Juli lalu, Odeh Hathalin, konsultan film tersebut, tewas ditembak oleh tentara Israel di desanya, Umm al-Khair.

Nasib serupa juga dialami Fatima Hassouna, jurnalis foto asal Gaza yang menjadi subjek dokumenter terbaru Sepideh Farsi Put Your Soul on Your Hand and Walk, yang terpilih di Cannes 2025. Sehari setelah pengumuman seleksi film itu, pada 16 April 2025, Hassouna dibunuh dalam serangan udara Israel yang juga menewaskan 7 anggota keluarganya.

ulasan film The Voice of Hind Rajab
Foto: AFP

Dalam kolom yang ditulisnya untuk The New York Times, Hamdan Ballal menuturkan:

“Pada 2 Maret, saya memenangkan Piala Oscar. Itu adalah salah satu momen paling luar biasa dalam hidup saya. Namun, tiga minggu kemudian, saya diserang dengan brutal di rumah sendiri dan ditangkap. Seketika rasanya seperti Oscar itu tak pernah terjadi, seolah penghargaan itu tak ada artinya sama sekali.

Meski film kami mendapat pengakuan dunia, saya merasa gagal—kami gagal—dalam upaya membuat hidup di sini menjadi lebih baik. Hidup saya tetap berada di bawah kuasa kolonis Israel dan penjajahan yang mereka lakukan. Komunitas saya masih menderita akibat kekerasan yang tak kunjung berhenti.

Tidak ada hukum internasional maupun lembaga internasional yang sungguh-sungguh mendorong agar kekerasan ini dihentikan. Namun, meski semua itu terjadi, masih ada sedikit harapan yang tersisa—dari apa yang saya lihat dan rasakan di Oscar serta selama setahun terakhir memperkenalkan film kami ke seluruh dunia.”

Hassouna juga sempat menulis di Instagram pada Agustus 2024: “Jika aku mati, aku ingin kematian yang bergema. Aku tak mau cuma jadi berita darurat atau sekadar angka dalam sebuah daftar. Aku ingin kematian yang didengar dunia, sebuah jejak yang tetap berpengaruh sepanjang masa, dan gambar-gambar yang tak bisa dikubur oleh waktu maupun ruang.”

Ballal maupun Hassouna adalah segelintir contoh jurnalis dan pembuat film dari zona konflik yang, meski senantiasa terancam, tetap merawat harapan bahwa kesaksian dan karya mereka bisa melampaui represi dan mendesak dunia untuk bertindak. Semangat serupa dihidupi Ben Hania dalam The Voice of Hind Rajab. Saat ditanya soal etika penggunaan rekaman Hind, ia menegaskan, “Ketika kamu mengamplifikasi suara orang-orang Palestina, kamu akan langsung dituduh mengeksploitasi—itu hanyalah cara lain untuk membungkammu.”

Di titik ini, film memiliki daya untuk menggerakkan publik, meski ada batasnya. Mengutip Ben Hania dalam director’s statement-nya, “Lebih kuat daripada hiruk-pikuk breaking news, sinema dapat menjaga sebuah ingatan.” 

Apa yang diyakini Ben Hania juga diamini oleh sutradara Palestina, Rashid Masharawi. Lewat film antologi From Ground Zero, ia menegaskan bahwa menjadi orang Palestina di bawah pendudukan Israel memang tidak otomatis melahirkan film yang baik, tetapi seorang pembuat film yang baik dapat membantu perjuangan Palestina. 

Bagi Masharawi, sinema adalah alasan untuk tetap optimis dan membuat film adalah cara memastikan masa depan tetap ada. Pengalaman yang dibangun layar bukan sekadar tontonan, tapi undangan untuk ikut menanggung ingatan yang bukan milik kita. 

Seperti dijelaskan Thomas Elsaesser, sejarawan asal Jerman, melalui konsep trauma prostetik, film memungkinkan penonton “mengalami” trauma yang tidak pernah mereka alami secara langsung—bukan dalam arti psikologis, melainkan sebagai pengalaman yang dimediasi budaya.

Dalam proses itu, The Horrors of Trauma in Cinema menjelaskan bagaimana penonton “menjahit dirinya ke dalam sejarah yang lebih besar”. Meski jauh dari kenyataan hidup kita, trauma prostetik yang dibawa film bisa menembus kenyamanan penonton, mengubah pengalaman menonton pasif menjadi momen kebangkitan kesadaran. Kesadaran ini yang membentuk pemahaman dan pandangan politik kita. 

Karya seperti The Voice of Hind Rajab, maupun film-film lain tentang Palestina, memiliki potensi untuk membuka kesadaran baru tentang genosida yang terjadi di Palestina. Potensi ini perlu dijaga agar sinema tetap menjadi alat perlawanan dan pengingat kebenaran, sehingga kesaksian Hind, Hassouna, Ballal, dan warga Palestina lainnya dapat terus menembus batas ruang dan waktu.

Merespons hal ini, dosen Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Gorivana Ageza, mengajak kita mempertanyakan: Bagaimana kita bisa menggunakan momentum ini untuk menekan pihak berkuasa yang memiliki daya untuk menentukan realitas? Apakah lebih baik melawan meski tahu belum bisa merubah kenyataan, atau menyerah karena perubahan tampak mustahil?

Para pembuat film ini memilih melawan, menampilkan kejahatan Israel yang banyak diabaikan oleh industri film mainstream, menggunakan karya mereka sebagai alat untuk memaksa dunia melihat dan merespons. Meski perubahan mungkin lambat dan terbatas, aksi mereka adalah bentuk perlawanan yang nyata.

About Author

Allaam Faadhilah

Allaam Faadhilah adalah penggemar transportasi umum dan kerap menyusuri belukar perkotaan ke pemutaran film, pameran, atau sekadar bengong di bangku taman.