‘No Other Land’ Menang Oscars, Apa Artinya?
Meskipun dianggap kemenangan besar dalam perjuangan rakyat Palestina, keberhasilan ‘No Other Land’ dalam Oscars masih menuai banyak kontroversi.

No Other Land, dokumenter yang merekam perjuangan rakyat Palestina di Tepi Barat, menang di Oscars sebagai Film Dokumenter Terbaik. Melansir Aljazeera, dokumenter ini diproduksi antara tahun 2019 dan 2023, dan menyoroti proses penghancuran Masafer Yatta, sebuah wilayah pemukiman di Tepi Barat, Palestina.
Secara keseluruhan, film berdurasi 1 jam 35 menit ini berisi rekaman kamera pribadi Basel Adra, seorang aktivis perjuangan Palestina. Dari hasil dokumentasi pribadi Adra, dapat terlihat bagaimana pembongkaran pemukiman warga Palestina di Masafer Yatta–oleh militer Israel–dilakukan secara brutal. Pada beberapa scene, militer Israel bahkan terlihat menghancurkan sekolah dan mengisi sumur air warga dengan semen.
Setelah mendulang kemenangan di perhelatan Oscars, film No Other Land praktis menuai banyak respons dari masyarakat. Di media sosial X, sebagian warganet menganggap bahwa keberhasilan No Other Land ini merupakan sebuah gebrakan besar dalam perjuangan Palestina.
Baca juga: ‘The Brutalist’: Dosa ‘American Dream’ yang Menernak Zionisme
Namun di sisi lain, beberapa orang seperti Hamza Shehryar, melalui Dazed.me, mengatakan bahwa sentimen yang ditunjukan oleh kemenangan film ini justru terkesan naif. Kerja sama yang terjalin antara Palestina dan Israel dalam pembuatan filmnya, telah mengaburkan posisi siapa penjajah dan yang terjajah dalam konteks penghapusan etnis dan genosida di Palestina.
Untuk itu, berikut Magdalene rangkum beberapa fakta terkait film No Other Land yang tengah jadi perbincangan belakangan ini.
1. Kontroversi Pidato Yuval Abraham
No Other Land disutradarai kolektif aktivis dan jurnalis Palestina-Israel. Mereka adalah Hamdan Ballal, Yuval Abraham, Rachel Szor, dan juga Basel Adra.
Dalam pidato kemenangan ‘No Other Land’, jurnalis keturunan Israel Yuval Abraham mengatakan bahwa kerja sama ini adalah keharusan karena dengan bersama-sama, suara mereka akan jadi lebih kuat. Melansir Aljazeera, Abraham juga mengatakan bahwa rezim Israel telah menghancurkan kehidupan masyarakat Palestina. Solusi politik tanpa supremasi etnis harus dilakukan.
Pidato Abraham juga dikritik banyak pihak, karena dianggap menormalisasi kooptasi dan penjajahan yang dilakukan Israel. Omongannya yang menyebut peristiwa 7 Oktober tanpa konteks pendudukan Israel yang dilakukan lebih dari setengah abad jadi pemicunya.
Baca juga: Maskulinitas Laki-laki yang Direkonstruksi Film-film Yandy Laurens
“Fakta bahwa film ini dilabeli dokumenter Palestinian-Israeli, adalah bukti bahwa film ini mendukung normalisasi (pendudukan yang dilakukan Israel),” kata aktivis Palestina Subhi Taha di Instagram-nya. Menurutnya, propaganda “jalur damai” yang digaungkan Abraham dalam pidatonya tidak sejalan dengan perjuangan rakyat Palestina untuk memerdekakan diri dari Israel.
Dalam momen yang sama, Basel mengungkap ketidakadilan yang ia alami.
“Saya tidak bisa meninggalkan Tepi Barat dan diperlakukan seperti kriminal, sementara Abraham bisa bebas keluar-masuk. Kami hidup di bawah sistem yang sama, tapi saya tunduk pada hukum militer yang menghancurkan hidup saya, sedangkan dia berada di bawah hukum sipil,” ungkapnya dalam pidato kemenangan mereka.
2. Kesulitan Mencari Distributor di Amerika Serikat
Sebelum memenangkan Oscars, No Other Land sempat kesulitan mencari distributor penayangan film di Amerika Serikat. Menyadur Variety, meskipun telah dipilih untuk didistribusikan di 24 negara lain termasuk Inggris dan Prancis, No Other Land, nyatanya sulit menemukan distributor di AS.
Yuval Abraham mengatakan keengganan sejumlah distributor film di AS untuk menayangkan No Other Land, tentu dilandasi oleh alasan yang politis. Sayangnya, tidak banyak ruang untuk film kritik semacam ini, kata Abraham.
“Film ini sangat-sangat kritis terhadap kebijakan Israel. Sebagai orang Israel, saya pikir itu hal yang sangat bagus, karena kita perlu bersikap kritis terhadap kebijakan ini sehingga kebijakan tersebut dapat berubah. Namun, saya pikir percakapan di Amerika Serikat tampaknya jauh lebih tidak bernuansa. Tidak banyak ruang untuk kritik semacam ini, bahkan jika itu datang dalam bentuk film,” terang Abraham kepada Variety.
3. Jangan Terlena Politik “Normalisasi”
Meskipun digadang-gadang sebagai salah satu kemenangan besar dalam perjuangan Palestina, beberapa pihak justru berpendapat yang berbeda.
Misalnya, Masar Badil, komunitas gerakan jalur revolusi alternatif Palestina.
Dalam keterangan di laman resminya, komunitas ini menyatakan, kemenangan No Other Land justru terlihat sebagai media reproduksi hegemoni kolonialisme, yang selama ini sudah ada.
Hal ini terjadi lantaran film tersebut tidak membawa kemenangan bagi narasi Palestina secara utuh. Sebaliknya, keberhasilan tersebut lebih terlihat diberikan kepada narasi normalisasi “kerja sama” antara Israel dan Palestina.
Rilisan Masar Badil ini juga menjelaskan bagaimana Abraham, sebagai warga Israel yang ambil peran dalam film, tetap menjadi bagian dari sistem kolonial yang menghasilkan penindasan terhadap masyarakat Palestina. Abraham tetaplah warga berkebangsaan Israel yang tinggal di tanah yang dijajah, tempat penduduk asli Palestina sebelumnya dipindahkan. Kemunculannya sebagai mediator yang seolah-olah “netral” tetap tidak dapat dibenarkan.
Baca juga: ‘Belahan Jiwa’ yang ‘Camp’ dan Queer: Psiko-drama Progresif dari Dua Dekade Lalu?
Persoalan lain yang juga dianggap sebagai kontroversi oleh komunitas Masar Badil adalah bagaimana orang Israel juga ikut ambil bagian dalam menceritakan penderitaan rakyat Palestina. Dalam No Other Land, sayangnya, bukan orang Palestina yang menceritakan rasa sakit dan perlawanannya sebagai protagonis utama, tetapi orang Israel yang memberinya legitimasi keberadaan dalam ruang sinematografi Barat. Hal ini membuat No Other Land dilihat sebagai media reproduksi dominasi. Dalam film tersebut, orang Palestina tetap menjadi objek narasi, dan bukan pemiliknya.
4. Bukan Film Kolaborasi Palestina-Israel Pertama
Film dokumenter kolaborasi Palestina-Israel juga pernah diproduksi pada tahun 2011. Ia adalah Five Broken Cameras yang disutradarai Emad Burnat, seorang fotografer Palestina, dan Guy Davidi, filmmaker berkebangsaan Israel.
Melansir Cinema Politica, film berdurasi 1 jam 30 menit ini juga sama-sama menceritakan keganasan penundukan wilayah Palestina oleh Israel. Di balik kameranya, Burnat merekam evolusi satu keluarga selama lima tahun saat desa mereka dihancurkan oleh militer Israel.
Dokumenter ini pun sama-sama mendulang banyak penghargaan. Masih melansir media yang sama, Five Broken Cameras tercatat juga pernah dinominasikan dalam Oscars 2012, dan menang dalam perhelatan The Emmy Awards sebagai Dokumenter Terbaik pada 2013 lalu.
