December 5, 2025
Issues Politics & Society Safe Space

Temuan Komnas Perempuan dalam Aksi Massa: Penangkapan, Label ‘Nakal’, dan ‘Fear Mongering’ Kekerasan Seksual 

Demo Agustus lalu meninggalkan jejak kelam buat perempuan. Dari stigma ‘nakal’, hingga penangkapan sewenang-wenang, ruang aman mereka untuk bersuara semakin tergerus.

  • September 27, 2025
  • 5 min read
  • 2943 Views
Temuan Komnas Perempuan dalam Aksi Massa: Penangkapan, Label ‘Nakal’, dan ‘Fear Mongering’ Kekerasan Seksual 

Demonstrasi Agustus dan September menyisakan noda bagi kebebasan berekspresi, terutama buat perempuan. Aparat menuding perempuan yang menyuarakan aspirasi sebagai “perempuan nakal” setelah ditangkap tengah malam. Tak sedikit pula yang dilabeli “penyusup” atau “provokator”, padahal sebagian cuma menonton aksi massa. 

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memaparkan temuan tersebut dalam konferensi pers Temuan dan Laporan Komnas Perempuan atas Penanganan Negara dalam Aksi Demonstrasi Massa, (12/9). 

“Kami temukan juga stigma kepada perempuan yang ditangkap, karena stigma dianggap perempuan yang keluar di malam hari dianggap perempuan yang tidak baik,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih di Jakarta. 

Tim respons cepat besutan Komnas Perempuan menemukan pola berulang dan sistematis dalam peristiwa demonstrasi. Di antaranya, pelabelan dan stigma kepada perempuan yang ditahan atau ditangkap, penggunaan kekuatan berlebihan dan penangkapan sewenang-wenang yang melanggar hak konstitusional warga, serta penyebaran hoaks kekerasan seksual yang digunakan sebagai alat teror untuk membungkam suara perempuan dan menciptakan ketakutan kolektif.  

Baca juga: Ibu Jilbab Pink, Label Perempuan Pemarah, dan Jeruji Kesopanan

Rumor Kekerasan Seksual: Senjata untuk Bungkam Perempuan 

Komnas Perempuan menemukan adanya penyebaran hoaks kekerasan seksual yang dimanfaatkan sebagai alat teror. Tujuannya untuk menciptakan ketakutan di ruang publik sekaligus membungkam suara perempuan yang vokal. 

Dari rilis pers Komnas Perempuan yang diterima Magdalene, ditemukan empat informasi pemerkosaan yang beredar di media sosial, mencakup berbagai wilayah seperti Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Solo, dan Surabaya.

“Penyebaran rumor pemerkosaan untuk membungkam perempuan dan menciptakan ketakutan kolektif,” terang Komisioner Komnas Perempuan Ratna Batara Munti di konferensi pers. 

Setelah diverifikasi oleh Komnas Perempuan, rumor-rumor pemerkosaan tersebut dinyatakan tidak terbukti. Walau begitu, Komnas Perempuan menilai penyebaran rumor ini sebagai bentuk teror yang bertujuan untuk menebar ketakutan dan memicu trauma kolektif, mengingatkan pada tragedi Mei 1998. 

Baca juga: Demonstrasi Berujung Mimpi Buruk: Cerita Rian, Remaja Korban Kekerasan Aparat 

Kerentanan Tiga PBH yang Ditahan 

Penyebaran rumor kekerasan seksual hanyalah salah satu bentuk represi yang dialami perempuan dalam demonstrasi Agustus silam. Bentuk kerentanan lain tampak pada kasus tiga perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) yang masih ditahan. 

Ketiga perempuan berinisial L, F, dan G bukanlah peserta aksi. Mereka ditangkap bukan lantaran hadir di lapangan, melainkan akibat aktivitas di ruang digital. Ketiganya dikenakan pasal berlapis, sebagian besar mengalami kriminalisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 dan 32, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 160 dan 161 mengenai penghasutan. 

L, F, dan G ditangkap langsung di rumah tanpa ada pemanggilan terlebih dahulu. Proses penangkapan yang mendadak ini menimbulkan dampak psikologis yang mendalam. Mereka merasa terpukul, kaget, dan trauma. 

“Situasi mental terpukul dan kaget dan trauma karena postingan di akun sosial media mereka membuat mereka ditahan, merasa itu luapan emosi semata dan sama sekali tidak ditujukan atau berniat untuk menghasut dan memprovokasi,” imbuh Yuni Asriyanti, Komisioner Komnas Perempuan. 

Salah satu dari ketiganya juga terpukul karena harus meninggalkan anak yang masih menyusui. 

Kerentanan mereka diperparah oleh keterbatasan pemahaman hukum serta posisi ketergantungan dalam keluarga. Salah satu PBH misalnya, menikah di usia anak, baru pindah ke Jakarta, bergantung secara ekonomi pada suaminya, dan tidak memahami duduk perkara yang dituduhkan karena ponsel miliknya digunakan oleh sang suami. 

Kisah tiga PBH ini memperlihatkan risiko represi tak berhenti di jalanan. Bahkan di ranah digital, suara perempuan bisa berujung kriminalisasi, dengan konsekuensi yang menghantam keluarga dan kehidupan pribadi mereka.  

Sementara itu, Ruby Kholifah, Direktur Jaringan Aksi Muslim Asia (AMAN) di Indonesia, dalam konferensi pers Jaringan Women, Peace, and Security (WPS) (21/8), menegaskan banyak perempuan yang ditangkap merupakan warga yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat, sebagaimana dijamin konstitusi. 

“Banyak di antara mereka adalah ibu maupun aktivis yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E Ayat 3 serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,” tegas Ruby. 

Ia juga menyoroti praktik pembungkaman di ruang digital melalui penyebaran hoaks, doxing, dan penggunaan pasal karet dalam UU ITE untuk mengkriminalisasi kritik warga. Menurut Ruby, tindakan ini tidak hanya melanggar hak digital masyarakat, tetapi juga memperparah kerentanan perempuan pembela HAM yang kerap menjadi sasaran kekerasan digital berbasis gender. 

“Pola represi yang terjadi secara offline–penangkapan fisik, dan online–serangan digital, disinformasi, dan sensor, adalah bentuk represi terpadu yang harus segera dihentikan,” imbuh Ruby. 

Baca juga: Sejumlah Aktivis Ditangkap, Puluhan Orang Masih Hilang: Kebebasan Sipil Terancam 

Bebaskan Tahanan Perempuan 

Rangkaian peristiwa ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan ketika berhadapan dengan negara. Temuan Komnas Perempuan mencatat pola sistematis: penangkapan sewenang-wenang, stigma, kriminalisasi, hingga teror berupa rumor kekerasan seksual. 

Atas situasi tersebut, Komnas Perempuan mendesak negara segera menghentikan praktik represif, termasuk penangkapan sewenang-wenang, sweeping yang meresahkan, dan segala bentuk teror berbasis ancaman kekerasan seksual. 

“Negara perlu segera mengakhiri penangkapan sewenang wenang, sweeping yang meresahkan, termasuk segala bentuk teror ancaman kekerasan seksual,” kata Komnas Perempuan dalam rilis pers. 

Selain itu, negara harus melindungi pembela HAM dengan membebaskan mereka yang masih ditahan serta menghentikan kriminalisasi berbasis pasal karet, khususnya terhadap perempuan yang dilabeli “penghasut” atau “provokator”. Pemulihan berperspektif korban juga diperlukan, mencakup aspek fisik, psikologis, hukum, dan sosial-ekonomi dengan pendekatan responsif gender. 

Komnas Perempuan menekankan penggunaan kekuatan aparat kepolisian harus terukur dan proporsional, sesuai prinsip legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. 

Sebagai negara pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Indonesia berkewajiban melindungi perempuan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk di ruang publik dan politik. Hal ini diperkuat dalam Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 30 tentang perlindungan perempuan dalam situasi konflik dan keamanan publik, serta Rekomendasi Umum Nomor 35 yang menegaskan kekerasan berbasis gender sebagai diskriminasi serius yang harus dicegah, ditindak, dan dipulihkan. 

Sementara itu, Jaringan WPS mendesak pemerintah meninjau dan merevisi UU ITE yang selama ini dipakai untuk mengkriminalisasi pembela HAM. 

“Jadi sangat penting bagaimana pemerintah harus merevisi kembali, meninjau untuk memastikan tidak ada regulasi yang dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi perempuan, pembela HAM, dan publik secara umum,” desak mereka. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.