Curhat Perempuan Jurnalis yang Menikah dengan Abdi Negara: Sering Swasensor dan Rentan Diserang

“Yang diserang bukan substansi kritik, tapi siapa dia, dan siapa suaminya.”
Kalimat itu dilontarkan S, jurnalis media nasional, yang belakangan menghadapi serangan digital masif. Semua berawal dari unggahan kritiknya terhadap rezim baru Prabowo-Gibran. Komentarnya—yang sebenarnya berbasis data dan publik—dipelintir sebagai “provokatif”, “berbahaya”, dan “tidak tahu diri sebagai istri Aparatur Sipil Negara (ASN)”.
Tak butuh waktu lama sampai informasi pribadi S tersebar. Akun buzzer mengaitkan tanggung jawab profesionalnya dengan suami yang bekerja di salah satu kementerian.
Pengalaman S mengungkap pola kekerasan yang jarang dibahas: Perempuan jurnalis yang diserang bukan hanya karena isi tulisannya, tapi karena siapa pasangannya. Dalam konteks ini, perempuan dianggap bukan subjek yang otonom, melainkan “embel-embel” status sosial pasangannya. Bila suaminya ASN, maka istri harus “tahu diri”, “jangan macam-macam”, dan “bungkam demi keluarga”.
Baca Juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media
Tekanan dari Berbagai Penjuru
Cerita S bukan satu-satunya. Saya berkesempatan berbincang dengan dua perempuan jurnalis lainnya, Sindi dan Viola (nama samaran), yang hidup dalam tekanan ganda. Mereka adalah jurnalis di media nasional terkemuka yang telah bekerja lebih dari satu dekade. Suami Sindi bekerja sebagai ASN, sedangkan Viola sebagai pegawai di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Ketika menulis tentang kebijakan pemerintah, saya selalu overthinking. Saya tahu suami enggak masalah, tapi dia juga takut. Kalau ada yang tidak suka dengan tulisan saya, bisa-bisa dia yang dipanggil bosnya,” kata Sindi pada Magdalene.
Ketakutan ini berdampak pada ruang geraknya. Sindi mengaku membatasi diri untuk tidak aktif di media sosial. Ia menghapus utas-utas kritis dan tidak lagi membagikan artikel berisiko tinggi. “Saya sadar, saya bukan cuma jurnalis sekarang. Saya juga ‘istri ASN’, dan itu ternyata membawa beban sosial yang berat.”
Senada, Viola bahkan pernah diminta untuk berhenti menulis berita politik oleh suaminya sendiri. “Waktu itu aku liput tentang TNI, suamiku langsung bilang, ‘Aku takut kamu diciduk, nanti aku ikut dibawa-bawa’. Akhirnya aku memperhalus beritanya dengan berat hati,” katanya.
Sayangnya, tekanan buat perempuan jurnalis juga hadir dari dalam ruang redaksi. Menurut riset Yolanda Valentina Sitinjak dan Martha Tambunan dari LSPR Jakarta berjudul “Perempuan, Media dan Profesi Jurnalis” (2021), perempuan cenderung dijauhkan dari desk politik dan investigasi dengan alasan “melindungi” mereka. Riset ini menyebutkan, editor sering mengasumsikan perempuan akan sulit netral, tidak kuat tekanan, atau terlalu repot mengurus anak.
“Konstruksi sosial yang memandang perempuan sebagai makhluk domestik terbawa hingga ruang redaksi. Mereka dianggap tidak cocok untuk liputan berat atau desk politik,” tulis Sitinjak dan Tambunan.
Baca Juga: Riset: Nyaris Separuh Jurnalis Perempuan Dunia Jadi Korban Pelecehan
Negara Abai, Perusahaan Tak Siaga
Kekerasan terhadap perempuan jurnalis tidak berhenti di level personal. Ia juga sistemik. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menunjukkan, sepanjang 2024 terjadi 73 kekerasan terhadap jurnalis. Tujuh di antaranya menimpa jurnalis perempuan, sebagian besar karena liputan politik dan aktivisme di media sosial.
Pada kuartal pertama 2025 saja, dari total 23 kasus kekerasan terhadap jurnalis, lima korbannya adalah perempuan. Satu di antaranya mengalami doxing, dua mendapat ancaman kekerasan seksual, dan dua lainnya ditekan secara institusional oleh tempat kerja pasangannya.
Namun, tak satu pun pelaku kekerasan digital terhadap jurnalis perempuan dijatuhi hukuman pidana. Bahkan, beberapa kasus tidak dilanjutkan ke penyelidikan formal. Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, menilai situasi ini berbahaya bagi demokrasi.
“Kalau perempuan jurnalis dibungkam hanya karena status sosial pasangannya, artinya kita hidup dalam sistem yang seksis dan feodal. Ini bukan sekadar isu profesi, tapi HAM,” katanya.
Ketimpangan perlindungan juga tampak dari minimnya respons perusahaan media. Penelitian oleh Retno Manuhoro dkk. dari Universitas Semarang bertajuk “JURNALIS PEREMPUAN DAN KEKERASAN BERBASIS GENDER ONLINE (KBGO)” (2023) menyebutkan, dari 20 perusahaan media arus utama yang disurvei, hanya tiga yang memiliki standar operasional prosedur (SOP) penanganan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
“Sebagian besar jurnalis perempuan korban kekerasan digital tidak mendapatkan pendampingan psikologis, tidak difasilitasi cuti trauma, dan tidak tahu harus mengadu ke siapa,” tulis Manuhoro.
Kondisi ini diperparah oleh stigmatisasi terhadap perempuan yang vokal di ruang publik. Mereka dicap tidak sopan, tidak tahu diri, bahkan ancaman bagi stabilitas rumah tangga. Jika memiliki pasangan ASN, tekanan menjadi berlipat. Bagi negara dan masyarakat patriarkal, suara perempuan jurnalis hanya sah sejauh itu tidak ‘mengganggu’ struktur sosial yang sudah ada.
Baca Juga: Women News Network: Jejaring Media Perempuan untuk Dorong Iklim Kesetaraan
Menolak Tunduk pada Ketakutan
Apa yang dialami S, Sindi, dan Viola adalah gejala dari sistem yang lebih besar. Ketika perempuan jurnalis dianggap sebagai kepanjangan tangan pasangan mereka—bukan individu dengan otoritas profesional—maka yang sedang dipertaruhkan bukan cuma kebebasan pers, tapi juga hak perempuan untuk bersuara.
Sayangnya, negara belum menunjukkan keberpihakan yang nyata. Tak ada regulasi khusus untuk melindungi jurnalis perempuan dari kekerasan digital berbasis gender. Tak ada kebijakan afirmatif yang menjamin ruang aman di redaksi. Pun, tak ada sanksi memadai terhadap buzzer politik yang terang-terangan menyebarkan data pribadi.
Yang tersisa adalah solidaritas antarsesama jurnalis. “Kita perlu membangun sistem dukungan dari bawah. Dari jurnalis untuk jurnalis. Karena kalau nunggu negara, kita akan terus disalahkan karena terlalu vokal,” ujar Nany Afrida.
