December 5, 2025
Culture Issues Prose & Poem

‘Korpus Uterus’: Saat Rahim Jadi Medan Kontrol Tubuh Perempuan

Sasti Gotama menyingkap kekerasan seksual pasca-1965 dan menafsir ulang rahim sebagai ruang pengalaman perempuan korban.

  • September 27, 2025
  • 6 min read
  • 3702 Views
‘Korpus Uterus’: Saat Rahim Jadi Medan Kontrol Tubuh Perempuan

Jika Luh tahu kelahirannya hanya menjadi awal dari penolakan panjang, mungkin ia memilih tak hadir ke dunia. Dari rahim yang tak menginginkannya, ia tumbuh tanpa pelukan, diberi makan sekadarnya, seperti ternak yang dipaksa bertahan hidup. 

Kalimah, ibu kandung Luh, punya alasan atas sikap dinginnya. Ia korban pemerkosaan negara, kehamilan yang lahir dari kekerasan. Berulang kali ia mencoba menggugurkan kandungan itu, sebab siapa yang rela mengandung anak hasil perbuatan para bajingan. 

Namun usaha Kalimah menggugurkan selalu gagal. Akses aborsi legal dan aman tidak pernah bisa dijangkaunya hingga ia pun terpaksa melahirkan seorang anak laki-laki, Panuluh, si telinga kembang kol.  

Luh tumbuh dengan luka yang tak bisa ia ucapkan, luka yang membuatnya merasa lebih dekat dengan rahim ketimbang dunia. Dari situ ia belajar: tubuh perempuan selalu disiksa. Tubuh mereka jarang benar-benar menjadi milik sendiri, melainkan dikontrol, diatur, dan diputuskan oleh negara, agama, atau masyarakat. 

Pengalaman itu membuat Luh bertekad menyelamatkan perempuan dan janin yang ragu untuk lahir. Ia menjadi ahli aborsi yang terampil—meski keberadaannya tak pernah benar-benar diterima. 

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Kekerasan yang Tak Diakui Negara 

Kisah ini adalah sinopsis Korpus Uterus, novel terbaru karya Sasti Gotama, pemenang Sastra Khatulistiwa 2025. Sepanjang 292 halaman, novel ini membongkar bagaimana tubuh perempuan sejak lama menjadi arena kekerasan, sekaligus sulit meraih kemerdekaan atas dirinya sendiri. 

Sasti membuka novelnya lewat pengalaman Kalimah, ibu Luh. Berlatar Surabaya pada 1965, Kalimah adalah istri Hafidin, seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tahun itu pecah Gerakan 30 September, yang ditandai dengan penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat di Lubang Buaya. Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu partai komunis terbesar di dunia, dituding sebagai dalang. 

Peristiwa tersebut jadi titik balik naiknya militer, khususnya Soeharto, dengan dukungan kelompok sipil. Propaganda masif kemudian menyusul, melabeli jutaan orang sebagai komunis atau simpatisannya. Penculikan, pemerkosaan, hingga pembantaian massal dilakukan negara bersama kaki tangannya. 

Perempuan dengan hubungan keluarga ke PKI kerap menjadi sasaran. Inilah yang dialami Kalimah dalam Korpus Uterus. Sebagai istri seniman Lekra—organisasi yang didirikan oleh DN Aidit, Nyoto, MS Ashar, dan AS Dharta—ia dituduh berkomplot dengan suaminya. Kalimah diculik, diinterogasi soal PKI dan pembunuhan jenderal. 

Ia menjawab dengan jujur bahwa tak tahu apa-apa. Namun tentara tak percaya. Punggungnya dihantam benda tumpul, rambutnya dipangkas, tubuhnya ditelanjangi untuk mencari lambang palu arit di sekitar vaginanya. Saat tak ditemukan, Kalimah diperkosa. 

Kisah Kalimah mencerminkan realitas yang lama terkubur: Kekerasan berbasis gender pasca-1965. Apa yang menimpa dirinya adalah kepingan dari pengalaman ribuan, bahkan ratusan ribu, perempuan yang kini dilupakan. 

Seperti dicatat Historia.id, banyak perempuan dengan keluarga terafiliasi PKI diculik ke kantor militer. Mereka diinterogasi, lalu mengalami kekerasan verbal, pemerkosaan, penyiksaan, hingga perbudakan seksual

Ann Pullman, peneliti Queensland University yang mendalami bentuk kejahatan massal berbasis gender pasca Peristiwa 1965 mengatakan perempuan-perempuan ini banyak yang digunduli untuk menjatuhkan martabatnya lalu ditelanjangi dengan dalih mencari logo Palu Arit di sekitar vagina mereka. 

“Itu hiburan untuk interogator,” kata Ann.  

Saat itulah banyak perempuan berakhir diperkosa bahkan jadi budak seksual para tentara dan berakhir harus mengalami kehamilan tidak direncanakan. 

Penggambaran latar belakang lahirnya Luh sangat penting dalam novel ini karena mampu mengajak pembaca untuk berefleksi tentang sejarah kelam yang berusaha ditutup-tutupi negara. Dalam buku-buku sekolah misalnya, peristiwa penculikan dan pemerkosaan ini tidak dibumikan. Penolakan negara untuk mengakui atau menindaklanjutinya menyebabkan tabu historis dan normalisasi impunitas yang pada akhirnya memperpanjang penderitaan korban perempuan.  

Dalam konteks ini, menulis ulang sejarah melalui fiksi bukan sekadar melawan kebisuan, tetapi merupakan langkah restoratif dalam membuka ruang bagi penyembuhan trauma dan ini yang persis dilakukan oleh Sasti lewat kisah Kalimah. 

 “Perempuan-perempuan di Indonesia itu banyak yang sampai sekarang belum selesai, bahkan tidak menemui tidak menemui disclosure gitu kan belum ada, maksudnya sampai sekarang kan belum ada pengakuan dari negara. Sebagai perempuan aku ingin membahas trauma-trauma itu sebagai pembelajaran trauma healing juga” tutur Sasti dalam wawancara bersama Magdalene.co Agustus lalu. 

Baca Juga:  “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan

Memotret Aborsi dari Perspektif Anak Korban Pemerkosaan 

Korpus Uterus memperkaya khazanah sastra Indonesia dengan rasa yang berbeda. Ia berusaha mengasah empati para pembacanya tidak hanya lewat refleksi sejarah kelam bangsa ini, tapi lewat pengalaman seorang anak korban pemerkosaan. Dengan menempatkan Luh sebagai karakter utama di novel ini Sasti berusaha mengajak pembaca memaknai ulang makna rahim yang membawanya ke dunia penuh sengsara. 

Selama ini rahim kerap diagungkan sebagai “ibu peradaban”. Konotasi positif itu sering membuat masyarakat abai bahwa organ reproduksi ini juga bisa menjadi sumber kemalangan bagi perempuan. Dalam masyarakat patriarkal, rahim berfungsi sebagai alat kontrol: ia mengatur bagaimana perempuan seharusnya hidup, terutama sebagai istri dan ibu. 

Jika seorang perempuan menolak peran itu, masyarakat enggan mengampuninya. Bahkan ketika rahimnya diperoleh lewat pemerkosaan, yang dipandang “mulia” tetaplah kemampuannya melahirkan manusia. 

Akibatnya, banyak perempuan harus merelakan masa depan. Mereka melepas mimpi sejak kecil—bersekolah, bekerja, atau menentukan hidup sendiri. Bagi sebagian perempuan, kehilangan itu berarti pula kehilangan kewarasan dan kemandirian. 

Sasti Gotama memahami betul realitas pahit ini. Pengalamannya sebagai dokter mempertemukannya dengan beragam kisah tentang perempuan yang menghadapi kehamilan tak diinginkan dan harus menjalani “neraka dunia”. 

Ada seorang ibu dengan sebelas anak yang tetap dipaksa hamil lagi karena suaminya melarang kontrasepsi. Ada siswi SMP di Jambi yang diperkosa lalu dikriminalisasi setelah aborsi legal. Ada pula perempuan yang dinikahkan dengan pelaku perkosaan, serta pasien yang hampir tewas setelah mencoba menggugurkan kandungan dengan kawat jemuran. 

Stigma membuat perempuan semakin terhimpit ketika ingin mengakses aborsi aman. Bagi korban perkosaan, hukum justru jadi hambatan. KUHP hanya memberi batas waktu 8 minggu usia kehamilan, padahal secara medis hampir mustahil membangun layanan kesehatan yang memadai dalam waktu sesingkat itu. 

Jika pun berhasil, perempuan rentan dikriminalisasi. Kendala-kendala sistemik ini menyebabkan perempuan acap kali mencari alternatif aborsi melalui tenaga non medis. Di Indonesia sendiri menurut penelitian Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang dilakukan pada 2008 – 2011, cukup banyak perempuan yang mencoba menggugurkan kandungannya dengan cara meminum jamu atau ramuan-ramuan (31 persen) atau bahkan pergi ke dukun beranak (1 persen). 

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah  

Bermodal sisa ingatan dan realitas yang ia temui, Sasti menuangkannya ke dalam fiksi. Mereka yang hak reproduksinya dicabut paksa hadir lewat karakter-karakter perempuan yang ditemui Luh. Beberapa menjelma sebagai ibu angkat yang membesarkannya secara kolektif. Dari pengalaman itu, Luh menyaksikan sendiri penderitaan perempuan di sekitarnya, bahkan hingga kehilangan nyawa. Ia pun memahami bahwa rahim bisa menjadi kutukan. 

Dengan kecerdasan yang dimilikinya—ditambah kuping “kembang kol” yang mampu mendeteksi detak jantung janin—Luh mempelajari ginekologi dan menjadi ahli aborsi. Bagi Luh, yang terpenting adalah menyelamatkan masa depan perempuan dan calon bayi, bukan menimbangnya dari ukuran moralitas semata. 

Pada akhirnya, Korpus Uterus tidak hanya mengajak pembaca menengok sejarah kelam bangsa, tetapi juga membuka ruang diskusi untuk melihat aborsi di luar kacamata moralitas. Sasti menegaskan bahwa hak reproduksi perempuan kerap diabaikan, dan beban terberatnya selalu ditanggung perempuan itu sendiri. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.