December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Ketika Pemimpin di Indonesia Selalu Makan Lebih Dulu

Di tengah parade kuasa dan gaya hidup pejabat publik, konsep kepemimpinan seperti dalam ‘Leaders Eat Last’ terasa makin asing di Indonesia.

  • October 1, 2025
  • 5 min read
  • 660 Views
Ketika Pemimpin di Indonesia Selalu Makan Lebih Dulu

Belasan tahun lalu, ketika bekerja di sebuah perusahaan multinasional, saya mengalami satu peristiwa kecil yang mengubah pandangan tentang kepemimpinan. Waktu itu ada rapat besar tahunan yang melibatkan pegawai dari berbagai divisi. Kami, staf lokal yang terbiasa santai dan sengaja datang tidak tepat waktu, kaget saat memasuki ruang rapat. Seorang wakil direktur perusahaan yang warga negara asing sudah duduk menunggu. Belum pernah terjadi sebelumnya seorang pimpinan datang tepat waktu bahkan sebelum rapat dimulai.

Setelah semua pegawai masuk, ia membuka rapat dengan satu kalimat singkat: “You can come late, but don’t come after me” (silakan datang terlambat, tapi jangan datang setelah saya tiba). Kemudian ia memimpin rapat dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Kalimat yang disampaikan tanpa teriakan, cacian, atau makian itu terasa seperti cubitan ibu saat ketahuan berbohong—singkat tapi perihnya sampai ke ulu hati.

Baca juga: Kenapa Kita Butuh Perempuan Jadi Pemimpin di Desa?

Pengalaman sederhana ini menunjukkan betapa kuatnya keteladanan dalam kepemimpinan. Tanpa harus bekerja keras mencari bukti, kita sebenarnya bisa melihat banyak contoh kecil di sekitar kita yang menunjukkan jauhnya kualitas, karakter, dan nilai kepemimpinan yang diperlihatkan oleh orang-orang yang mengklaim diri sebagai pemimpin.

Terlebih belakangan ini, kita semakin sering membaca berita tentang gaya hidup hedonisme, flexing kekayaan yang buta terhadap situasi, jalan-jalan tak jelas, hingga pernyataan konyol yang keluar dari mulut para pemimpin. Ketika masyarakat percaya bahwa salah satu karakter utama pemimpin sejati adalah humility atau kerendahan hati, yang ditampilkan justru superioritas, ketidakpekaan, dan arogansi.

Padahal, syarat utama seorang pemimpin adalah keyakinan bahwa memimpin berarti menjaga amanah publik, menghormati dan mempertanggungjawabkan tugas. Kenyataannya, yang kita lihat di negeri tercinta ini jauh berbeda. Apa yang Simon Sinek tulis dalam bukunya Leaders Eat Last—bahwa pemimpin sejati menempatkan kepentingan orang lain di atas dirinya—justru bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Para pemimpin di sini bukan hanya menolak untuk “eat last”, melainkan menuntut untuk eat first and eat alone: meminta diutamakan, didahulukan, dan jika bisa diberi pelayanan lebih layaknya tamu VIP di acara pembukaan tempat hiburan.

Coba perhatikan tingkah laku mereka di ruang publik. Seberapa sering mereka membalas sapaan satpam yang membukakan pintu mobil, hotel, atau kantor? Berapa kali mereka mengucapkan tolong, permisi, maaf, atau terima kasih kepada pelayan restoran yang membawakan pesanan mereka? Tidak jarang kita melihat mereka menolak mengantre. Tidak ada rasa malu ketika mereka mencatut jabatan untuk mengambil jalan pintas.

Pertanyaannya bukan hanya apa yang membuat para pejabat merasa begitu jemawa dan yakin bahwa jabatan memberi imunitas untuk berperilaku seenaknya. Kita juga perlu bertanya, apakah kita—rakyat biasa—punya andil dalam membiarkan hal ini berlangsung selama berabad-abad?

Baca juga: Kenapa Kita Masih Tak Percaya pada Politisi Perempuan?

Warisan yang tak putus

Sebagai negara yang dijajah oleh sedikitnya lima penjajah selama berabad-abad, kita mewarisi inferiority complex—pola psikologis yang membuat kita melihat diri lebih rendah. Inferiority complex ini berlanjut menjadi authority complex. Jika inferiority complex muncul saat kita otomatis menempatkan orang asing sebagai kelompok superior tanpa memandang kapabilitasnya, maka authority complex muncul saat kita tunduk berlebihan pada figur otoritas dalam negeri.

Kita diajarkan sejak kecil untuk selalu menghormati, menunduk, mengikuti perintah, merasa segan, serta jangan pernah mempertanyakan pernyataan atau keputusan pejabat publik. Hal ini terlihat dalam ruang pembelajaran, seperti sekolah yang mengajarkan murid untuk tidak mempertanyakan apa yang diajarkan guru.

Akibatnya, logika dan kemampuan berpikir kritis kita menjadi tumpul. Kita tidak hanya tidak mampu menyampaikan pendapat atau mempertanyakan sesuatu yang janggal, bahkan untuk melihat kejanggalan pun kita sering tak sanggup. Karena hal ini berlangsung dari zaman nenek moyang hingga orang tua kita, akhirnya terbentuk generasi yang cacat dalam berpikir logis, takut menyuarakan ketidakadilan, dan tidak berani meminta pertanggungjawaban dari figur otoritas maupun lembaga yang terus-menerus mengambil keuntungan dari kebuntuan sistem bernegara.

Baca juga: Perempuan Jangan Jadi Pemimpin, Kecuali Keluarga Saya

Salah kita di mana?

Kita pun punya andil penting dalam menciptakan situasi yang kita hadapi sekarang dengan menjadi enabler atau bystander. Kita pasif, membiarkan ketidakadilan terjadi, acuh, tidak mengambil sikap, dan hanya diam ketika melihat orang penting merokok di area terlarang, tidak protes saat pejabat menyerobot antrean di depan mata, atau tidak membela orang-orang kecil yang diperlakukan tak pantas oleh kalangan atas.

Jika pembiaran ini dilakukan dalam skala besar, terjadi di semua lapisan masyarakat, dan berlangsung selama puluhan atau bahkan ratusan tahun, maka akan menimbulkan kristalisasi ketidakadilan yang dalam dan luas.

Karena itu, kita perlu melakukan perubahan secara bersama di semua tatanan masyarakat: memperkuat kepekaan melihat ketidakadilan, mengajarkan berpikir logis, dan menanamkan nilai keberanian untuk berpendapat serta bersuara. Perubahan ini tidak hanya berhenti di tingkat individu. Kita juga harus berani menuntut para pejabat publik untuk sadar diri bahwa mereka adalah pelayan rakyat. Suara rakyatlah yang membawa mereka sampai di atas.

Gelar dan kuasa yang mereka peroleh seharusnya dikembalikan kepada hakikatnya, yaitu rakyat. Janji harus dipenuhi, jabatan bukan ladang memperkaya diri, melainkan tanggung jawab moral dan etika. Mungkin kenyataannya masih jauh untuk melihat figur otoritas kita benar-benar bisa “eat last” seperti dalam buku Simon Sinek, tetapi paling tidak kita punya daya untuk tidak begitu saja membiarkan mereka menerobos antrean untuk “eat first”.

Boleh kan kita berharap?

About Author

Riyani Indriyati

Riyani adalah pendiri dari Dahuni foundation, seorang mentor yang punya jiwa “restless” terutama jika menyangkut masalah perempuan dan pendidikan.