Issues

#TadabburRamadan: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan Paling Dicari Belanda Se-Sulawesi

Sekali mengaum, singa dari timur ini berhasil bikin penjajah Belanda ketakutan.

Avatar
  • April 2, 2024
  • 4 min read
  • 550 Views
#TadabburRamadan: Opu Daeng Risadju, Pahlawan Perempuan Paling Dicari Belanda Se-Sulawesi

Namanya mungkin tak sepopuler pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia lainnya, macam Kartini atau Cut Nyak Dien. Namun, sepak terjangnya di Sulawesi laik diperhitungkan. Adalah Opu Daeng Risadju atau yang bernama asli Famajjah. Ia menjadi pahlawan perempuan yang menjadi ancaman dan paling dicari oleh Belanda saat itu. 

Gelar Opu Daeng Risadju sendiri diberikan karena ia masih keturunan bangsawan Kerajaan Luwu dari orang tuanya. Ia sendiri lahir di Kota Palopo pada 1880. Opu Daeng Risadju tumbuh jadi sosok pemberani dan berdaya. Ia bahkan berhasil menggerakkan pemuda-pemuda di Palopo untuk melakukan perlawanan kepada Belanda. 

 

 

Walau tak punya bekal pendidikan formal lantaran pemerintah kolonial melarang anak perempuan bersekolah, semangat belajarnya terus menyala. Saat itu, ia banyak berguru kepada tokoh partai. Sampai ia jadi melek politik dan aktif menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) di usia 47 tahun. Jiwa kepemimpinan yang ia miliki mengantarkannya dengan mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930 dan menjadi ketua.  

Gencar dan gagah berani melakukan aktivitas politik dan menyuarakan anti-penjajahan, Belanda menstempel Opu Daeng Risadju sebagai ancaman. Belanda menangkapnya dan menaruh ia di penjara selama 12 bulan. 

Selama di penjara, Opu Daeng Risadju mengalami siksaan bertubi-tubi. Ia dijemur, dipaksa berjalan kaki sejauh 40 kilometer, berlari mengelilingi lapangan sambil menatap terik matahari, hingga sebuah senapan diledakkan di samping telinga dan membuatnya menjadi tuli hingga akhir hayat. 

Setelah kemerdekaan, Opu Daeng Risadju menjalani usia senja di Parepare dan tutup usia pada 1964. Singa betina dari timur itu dimakamkan di kompleks makam raja-raja Luwu di Palopo tanpa upacara kehormatan. Negara lalu menganugerahi gelar pahlawan nasional pada Opu Daeng Risadju, November 2006 silam. 

Baca juga: Sejarah Membuktikan Muslimah Dilarang Jadi Pemimpin, Benarkah?

Mengingatkan Kita pada Sosok Khadijah dan Asma 

Kisah perjuangan Opu Daeng Risadju ini mengingatkan kita pada perjuangan para perempuan di masa Nabi Muhammad SAW. Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Asma binti Abu Bakar ra. Pada saat itu, Mekkah masih di masa jihad dan umat Islam yang minoritas dimusuhi oleh kaum Quraish. 

Khadijah sendiri adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi dan meyakini kenabiannya saat Rasulullah sendiri masih ragu. Ia juga menjadi pendukung finansial utama Islam di masa-masa awal penuh tekanan, hinaan, fitnah, bahkan upaya pembunuhan kepada Nabi. 

Saat umat Islam diboikot secara ekonomi dan sosial selama hampir empat tahun, Khadijah tak ragu menyedekahkan harta untuk para sahabat. Karena itu, umat Islam berutang pada Khadijah. Tak heran, ketika ia wafat, Rasulullah SAW sangat berduka dan tak penah bisa melupakan pengorbanannya. 

Selain Khadijah, perjuangan umat Islam juga ditunjukkan oleh Asma binti Abu Bakar. Saat Rasulullah hijrah ke Madinah bersama ayahnya, Asma bolak-balik ke Gua Tsur—tempat persinggahan nabi sebelum ke Madinah untuk mengantarkan makanan, melaporkan perkembangan Mekkah, dan memantau keamanan. 

Tak cuma dua sosok perempuan pemberani itu, Opa Daeng Risadju juga mengingatkan kita pada peran sahabiyah—perempuan yang total membela Allah SWT dan Rasulullah di medan perang lainnya. Para perempuan ini berdiri di garis depan serta di balik layar. Di garis depan kita familier dengan sosok Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu Umarah di Perang Uhud. Ia menunjukkan kemahiran dalam menggunakan pedang dan panah untuk melindungi Nabi Muhammad SAW dari serangan musuh. 

Baca juga: Kepemimpinan Perempuan, Surat An-Nisa Ayat 34, dan Keraguan Kita

Di tengah perang itu, Nusaibah memohon agar bisa menemani Nabi kelak di surga, dan Nabi bersedia mendoakannya. Selain Perang Uhud, ia juga ikut dalam memerjuangkan Islam di perang-perang berikutnya. 

Sahabiyah pada umumnya memang berperan sebagai penyedia makanan dan merawat prajurit yang terluka. Namun jika keadaan mendesak dan memanggil, mereka juga bisa maju ke garda depan sebagaimana yang dilakukan Ummu Umarah. 

Keteladanan pejuang perempuan dari masa ke masa adalah motivasi bagi perempuan saat ini dalam mengambil peran penting di masyarakat. Meski kita tahu, saat ini perjuangan pahlawan perempuan sedikit berbeda, tanpa desingan peluru atau panah seperti dulu.

Seperti Opu Daeng Risadju, perempuan terbukti andil dalam membangun peradaban dan mencapai kemerdekaan. Keberanian inilah yang layak kita teladani hari ini. 

Tadabbur Ramadan merupakan produksi Magdalene bekerja sama dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). 


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *