December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Kami Peduli, Kami Ada: Suara Joy dan Generasi yang Menolak Diam

Di tengah warisan trauma dan identitas yang sering disalahpahami, Joy dan generasinya memilih bersuara, meski hanya lewat media sosial.

  • October 1, 2025
  • 5 min read
  • 784 Views
Kami Peduli, Kami Ada: Suara Joy dan Generasi yang Menolak Diam

Tidak ada yang Istimewa dari suasana di sebuah kafe kecil di Jakarta sore itu. Tapi di balik layar ponsel Joy, Indonesia sedang bergolak. Aksi-aksi demonstrasi di berbagai kota akhir Agustus lalu menyisakan gema kemarahan dan harapan yang belum padam. Joy, meski tidak turun ke jalan, tetap ikut di dalamnya.

“Deg-degan, pasti takut,” katanya sambil menatap layar. “Tapi sebenarnya agak hopeless juga. Udah kita bikin tuntutan, tetap aja mereka asbun.”

Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia

Yang ia maksud tentu para pejabat publik. Tapi bagi Joy, marah bukan reaksi sesaat. Ia menyebut dirinya orang yang “marah secara konsisten”—marah terhadap ketidakadilan, kelumpuhan institusi, dan narasi-narasi yang menyisihkan kelompok tertentu. Di balik amarahnya, ada sesuatu yang lebih dalam: cinta terhadap negeri yang tidak selalu ditunjukkan dengan pujian.

Sebagai perempuan muda keturunan Tionghoa, Joy sadar dirinya membawa beban asumsi. “Banyak yang anggap Chindo nggak peduli kondisi negara,” ujarnya. “Tapi aku paham kenapa, karena trauma masa lalu. Banyak yang memilih diam, enggak mau ambil risiko.” Namun, katanya lagi, “Dengan aku bersuara, aku pingin tunjukin, kita juga peduli, kok.”

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Joy mengirim unggahan media sosial yang mewakili perasaannya. Ditulis oleh aktivis muda Aurelia Vizal, kutipannya berbunyi:

“Kami adalah generasi yang menolak untuk hanya mewarisi trauma. Kami memilih mewarisi keberanian.”

Joy hanya menambahkan satu kalimat setelahnya: “I resonate with this.”

Bagi Joy, kalimat itu bukan sekadar teks dari internet, melainkan cermin bagi dirinya sendiri. Bagian dari generasi yang tumbuh dari luka sejarah, tapi menolak larut di dalamnya. Dalam unggahan Aurelia lainnya tertulis, “Keberanian kami adalah bentuk terapi kolektif.” Joy, seperti banyak rekannya, tengah menulis ulang sejarah dengan suaranya sendiri.

Sejarawan budaya Stuart Hall pernah menulis bahwa representasi sangat menentukan bagaimana identitas dibentuk dan dipahami. Dalam hal ini, Joy tidak sekadar individu, tapi simbol dari warga negara yang menolak diabaikan.

Baca juga: Dari 1998 ke 2025: Warga Keturunan Tionghoa di Antara Harapan dan Trauma Kolektif

Mewarisi trauma, menyuarakan harapan

Joy tidak hadir di barisan demonstrasi, tapi di Instagram-nya ia aktif. Ia membagikan infografis, menulis caption tajam, dan me-retweet kekesalan kolektif. Tapi keberanian itu hadir bersama kekhawatiran.

Account-ku kan publik… ada intel enggak nanti?” katanya sambil tertawa kecil.

Teman-temannya mengingatkan. Ada yang kena shadow ban, ada story yang dilihat akun-akun mencurigakan. Bahkan ayahnya mengirim tangkapan layar TikTok tentang ancaman pada warganet keturunan Tionghoa. “Papaku bilang, ‘Tuh, jangan asal posting. Nanti yang diancam orang China.’ Tapi ya, yang upload-upload ya aku sendiri.”

Dalam grup keluarga, ia dikenal sebagai yang paling “ribut”. Setiap berita, kebijakan, dan pernyataan publik nyaris selalu ia tanggapi. “Mereka udah tahu. Ya begitulah Joy.”

Beberapa hari kemudian, Joy mengirim pesan WhatsApp tak biasa: “Kak, aku abis cari tahu soal Revolusi Perancis. Mirip ya sama sekarang?”

Ia bertanya panjang, “Apakah Indonesia punya kapasitas untuk revolusi? Apa risikonya?” Sejarah, bagi Joy, bukan pelajaran usang, tapi kaca pembesar atas masa depan.

Dalam diskusi-diskusi tentang demokrasi, banyak ilmuwan merujuk pada gagasan Habermas mengenai ‘ruang publik’ sebagai tempat warga bisa berbicara bersama soal kepentingan bersama. Kini, ruang itu berpindah ke media sosial. Di sinilah Joy dan generasinya membentuk politiknya, meski penuh risiko disinformasi dan pengawasan.

“Aku mikir, zaman 98 tuh seseram apa ya? Sekarang aja udah serem, padahal kita punya sosmed. Dulu pasti kayak… tiba-tiba rusuh.”

Tapi bukan kerusuhan yang paling menakutkan baginya, melainkan trauma komunal yang masih hidup. Sebelum kami bertemu, beredar pesan WhatsApp yang memperingatkan warga Tionghoa untuk mengungsi dari Glodok karena ancaman penjarahan. Pesan itu, walau akhirnya tak terbukti, menggugah kecemasan lama.

Joy membacanya dengan rasa campur aduk. “Tubuhku ini gampang dijadikan sasaran,” katanya. Tapi justru karena itu, ia memilih tetap bersuara.

“Sebenarnya karena aku orang Indonesia aja,” ucapnya. Kalimat yang sederhana tapi punya beban sejarah dan politik.

Ketika kami membahas identitas lebih jauh, Joy mengenang pengalaman di Bali dan Tiongkok. Di Bali, ia sering dikira turis. “Kalau aku ke resto duluan, pasti diajak ngomong Inggris. Pas jawab pakai Bahasa Indonesia, baru mereka sadar.”

Di Tiongkok, ia pun dianggap orang lokal. Tapi saat menjawab dengan Bahasa Mandarin terbata, baru mereka sadar ia bukan dari sana. “Jadi aku ini apa?” katanya setengah bercanda. Tapi ia tak goyah. “Tetap orang Indonesia.”

Baca juga: Yang Perlu Kita Soroti dari Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Cinta yang tetap kritis

Aktivisme bagi Joy tidak selalu besar. Saat SMA ia pernah ikut aksi. Di kampus, ia ikut membuat acara soal krisis iklim Jakarta. Kini, medsos jadi arena perlawanan berikutnya. “Kalau medsos enggak ngefek, kenapa pemerintah sampai nyewa buzzer?” katanya. “Berarti kita ada efeknya.”

Sosiolog Charles Tilly pernah menulis, kekuatan gerakan sosial ada pada nilai, kesatuan, jumlah, dan komitmen. Maka, unggahan kecil di media sosial pun bisa jadi bagian dari perjuangan kolektif. Tidak semua aktivisme berbentuk demonstrasi. Kadang ia hadir sebagai suara yang konsisten di timeline.

Menjelang akhir percakapan, Joy tertawa kecil lalu menarik napas. “Capek sih… but what are the options? We have no other choice but to fight.”

Dan mungkin, di sanalah letak harapan itu: pada generasi yang tetap marah, tetap peduli, dan tidak takut untuk mengklaim ruangnya sebagai bagian dari bangsa ini.

Pada akhirnya, kisah Joy adalah tentang cinta. Bukan cinta yang tenang dan pasrah, tapi cinta yang kritis, cinta yang menolak diam. Di generasi muda seperti dirinya, kemarahan dan cinta bukan dua hal yang bertolak belakang. Justru di antara rasa lelah, takut, frustrasi, kita bisa melihat kasih yang paling dalam; kasih terhadap bangsa yang belum selesai.

Alavi Ali adalah seseorang yang suka belajar tentang bagaimana manusia, tempat, dan sistem saling membentuk. Mengajar, menulis, dan bermimpi membangun masa depan yang terasa lebih adil dan lebih manusiawi.

About Author

Alavi Ali