Nasib Jurnalis di Era Digital: Upah Tipis, Target Konten Tinggi

Di era digital saat ini, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, tangan kita nyaris tak lepas dari ponsel. Mencari informasi dan berita apa pun tinggal ketik di peramban atau membuka media sosial. Namun, di balik arus informasi yang melimpah, ada kenyataan yang jarang kita pikirkan: bagaimana kabar mereka yang memproduksi berita yang kita konsumsi setiap hari?
Data dari We Are Social hingga Februari 2025 menunjukkan, 212 juta orang di Indonesia, atau 74,6 persen populasi, sudah memakai internet, mayoritas lewat ponsel (98,7 persen). Ini membuat platform digital seperti Google dan Facebook menjadi raksasa iklan, menguasai 72,9 persen belanja iklan nasional. Ini mencerminkan pergeseran nilai ekonomi berita dari produksi ke distribusi, dengan mesin pencari dan media sosial menjadi tujuan utama untuk menemukan berita.
Di sisi lain, jurnalis yang memproduksi konten makin terdesak. Nilai ekonomi berita bukan lagi di kualitas tulisan, tapi seberapa sering diklik dan dibagikan. Akibatnya, media berlomba mengejar viralitas.
Baca juga: Curhat Perempuan Jurnalis yang Menikah dengan Abdi Negara: Sering Swasensor dan Rentan Diserang
Gaji jurnalis rendah, target tinggi
Transformasi media ke dunia digital berlangsung pesat dan masif. Menurut Dewan Pers, dari 1.852 media terverifikasi pada 2024, lebih dari separuh (54,8 persen) merupakan media daring. Banyak perusahaan media besar kini semakin menerapkan strategi konvergensi, dengan satu tim kecil bertugas memproduksi berita untuk berbagai platform.
Konvergensi ini, meskipun efisien, berdampak pada pemangkasan tenaga kerja. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sekitar 1.200 pekerja media, termasuk jurnalis, terkena pemutusan hubungan kerja sepanjang 2023-2024.
Jurnalis yang masih bertahan pun menghadapi tekanan yang tidak ringan. Kini, mereka dituntut untuk mampu menulis berita, membuat video, mengelola media sosial, hingga melakukan siaran langsung. Riset AJI (2025) menunjukkan, banyak reporter merangkap tugas untuk dua platform sekaligus, yaitu media cetak dan media daring.
Target kerja pun kian tidak masuk akal. Ada jurnalis yang ditargetkan membuat hingga 300 konten per bulan, mencakup berita maupun unggahan media sosial. Sayangnya, upah yang diterima jauh dari layak. Hanya 52,2 persen jurnalis yang berstatus karyawan tetap. Dari jumlah tersebut, 34,2 persen berpenghasilan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), sementara 32,9 persen lainnya hanya memperoleh Rp2,5 juta hingga Rp4 juta per bulan.
Di tengah tekanan ini, banyak dari mereka merasa profesinya semakin kehilangan makna. Alih-alih fokus pada kualitas jurnalistik, mereka kini didorong untuk mengejar judul sensasional dan jumlah tayangan.
Dalam riset AJI (2025), seorang jurnalis mengungkapkan: “Sehari harus menulis lima berita. Untuk siaran langsung di media sosial, minimal tiga kali sehari. Untuk media cetak, tuntutannya lebih tinggi lagi. Semua dikerjakan sendiri.”
Bahkan ada yang dibayar per jumlah tayangan, yakni Rp2.500 hingga Rp15.000 per artikel. Semakin viral artikel yang diproduksi, semakin besar imbalannya. Namun, kualitas bukan lagi prioritas utama.
Fenomena “jurnalis bodrex” juga marak di daerah. Banyak jurnalis yang terpaksa mencari advertorial sendiri atau bahkan membuat media daring pribadi demi menambah penghasilan, karena tidak memperoleh gaji tetap.
Baca juga: Benarkah Tak Ada Masa Depan buat Jurnalis di Tengah Dwi Fungsi TNI?
Dari profesional menjadi pekerja rentan
Dulu, jurnalis dipandang sebagai profesi yang memiliki keahlian khusus dan otonomi. Kini, banyak dari mereka tergolong dalam kategori pekerja rentan atau prekariat, atau mereka yang penghasilannya tidak tetap, tanpa perlindungan kerja yang memadai.
Dominasi platform digital global di pasar iklan juga memperparah situasi. Media lokal semakin bergantung pada iklan daring, sehingga perusahaan cenderung memaksimalkan produksi konten dengan biaya serendah mungkin. Kondisi kerja pun menjadi semakin tidak stabil.
Situasi ini bukan hanya berdampak pada kesejahteraan jurnalis, tetapi juga mengancam kualitas jurnalisme itu sendiri. Bagaimana mungkin jurnalis dapat menghasilkan liputan yang mendalam dan berkualitas jika dibebani target tidak realistis dengan upah yang tidak layak?
Perlu ada langkah konkret untuk memperbaiki kondisi ini.
Pertama, regulasi dari pemerintah sangat penting. Peraturan Presiden No. 32/2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital merupakan langkah awal. Namun, implementasinya harus benar-benar mengutamakan perlindungan hak-hak pekerja media, termasuk upah layak, jam kerja yang manusiawi, dan jaminan sosial.
Kedua, perusahaan media perlu membangun model bisnis yang lebih etis. Kesejahteraan jurnalis harus dipandang sebagai aset utama perusahaan. Keuntungan yang diperoleh seharusnya diinvestasikan kembali untuk meningkatkan kualitas jurnalisme, bukan sekadar mengejar kuantitas.
Ketiga, masyarakat juga memiliki peran penting. Publik perlu didorong untuk lebih menghargai dan mendukung jurnalisme berkualitas. Konsumsi berita yang hanya mengejar sensasi tanpa peduli proses di baliknya justru memperparah krisis ini.
Baca juga: Ramai-ramai Jurnalis Jadi Buzzer TikTok, ‘Jale’ di Era Digital 4.0?
Tanpa perubahan yang mendasar, kita berisiko kehilangan jurnalisme yang independen dan berkualitas, yang merupakan salah satu pilar penting demokrasi. Pemerintah, perusahaan media, hingga masyarakat, bergandengan tangan mendorong jurnalisme yang lebih adil dan berkelanjutan. Agar para jurnalis tidak lagi terjebak dalam bayang-bayang algoritma, melainkan dapat kembali menjalankan profesinya dengan martabat dan makna.
Febrina Galuh Permanasari adalah Direktur Eksekutif Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pemerhati isu kebebasan pers, cek fakta, dan pengembangan jurnalis di Indonesia dan Asia Tenggara. Saat ini sedang menempuh Magister Ilmu Komunikasi di UI.
