December 6, 2025
Issues Opini

Emosi Disabilitas Bukan Masalah: Saatnya Pahami, Bukan Hakimi

Emosi setiap orang itu valid, termasuk emosi orang dengan disabilitas. Tapi mengapa mereka justru sering dianggap terlalu sensitif atau sulit dipahami?

  • October 6, 2025
  • 4 min read
  • 1141 Views
Emosi Disabilitas Bukan Masalah: Saatnya Pahami, Bukan Hakimi

Banyak orang tidak menyadari bahwa disabilitas memiliki sensitivitas emosional yang unik. Ini bukan karena mereka lemah, tetapi karena pengalaman hidup mereka yang kerap diwarnai hambatan, diskriminasi, dan kurangnya pemahaman dari lingkungan sekitar. Dalam banyak kasus, disabilitas lebih nyaman secara emosional dengan sesama disabilitas atau dengan orang non-disabilitas yang mendampingi mereka sejak kecil atau dalam jangka waktu lama. Kedekatan ini muncul bukan sekadar karena waktu, tapi karena empati dan pemahaman yang mendalam terhadap tantangan yang mereka hadapi.

Baca juga: Anak-anak dengan Autisme Hadapi Masalah Akses Pendidikan

Penting bagi kita untuk mengenali dan menghormati sensitivitas ini, serta memperlakukan disabilitas sebagaimana mestinya—bukan dengan rasa iba yang berlebihan, apalagi dengan jarak dan asumsi yang keliru.

Salah satu hal pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa kondisi psikis disabilitas sangat dipengaruhi oleh kapan disabilitas itu terjadi. Orang dengan disabilitas sejak lahir memiliki rentang waktu yang lebih panjang untuk membentuk penerimaan diri. Mereka tumbuh bersama dengan kondisi disabilitasnya, dan proses panjang inilah yang membuat pengelolaan emosi mereka cenderung lebih stabil. Banyak dari mereka yang bahkan mampu menghadapi diskriminasi dengan keteguhan hati, serta memilih cara-cara yang harmonis dalam menyuarakan hak dan kebutuhannya.

Sebaliknya, mereka yang menjadi disabilitas di usia tertentu—karena kecelakaan, penyakit, atau bencana—mengalami proses adaptasi yang jauh lebih sulit. Perubahan fisik atau kognitif yang tiba-tiba bisa menimbulkan guncangan emosional yang berat: dari depresi, rasa malu, kemarahan, hingga menarik diri dari lingkungan sosial.

Bukan karena mereka lemah, tapi karena dunia mereka berubah drastis dalam waktu singkat. Maka, tidak heran jika mereka kadang menunjukkan reaksi emosional yang terlihat “berlebihan” di mata orang lain. Padahal itu adalah respons yang wajar atas pengalaman kehilangan yang besar.

Baca juga: Tantangan Mobilitas Perempuan Disabilitas di Jakarta

Kondisi emosional disabilitas berdasarkan ragam disabilitas

Ragam disabilitas juga turut memengaruhi kondisi emosional. Disabilitas fisik, misalnya, tetap bisa berpikir dan berkomunikasi dengan baik, namun keterbatasan gerak membuat mereka mudah merasa frustrasi. Perasaan sedih, kehilangan kendali atas tubuh, serta perbandingan sosial dengan orang non-disabilitas bisa memicu tekanan emosional yang besar.

Disabilitas penglihatan membuat penyandangnya enggan bermobilitas di lingkungan baru. Meski mereka tetap dapat mendengar, berbicara, bergerak, dan berpikir. Namun, keterbatasan penglihatan mengganggu kebebasan bergerak dan memerlukan waktu adaptasi yang lebih lama. Kondisi ini kerap memicu rasa frustrasi, hilangnya kepercayaan diri karena tidak dapat melihat diri sendiri, kecenderungan membayangkan kelebihan orang lain, kesedihan mendalam saat keinginan tak tercapai atau mendapat perlakuan buruk, serta rasa kesepian akibat perbedaan fisik.

Disabilitas pendengaran menghadapi tantangan komunikasi yang tidak ringan. Karena tidak bisa mendengar secara optimal, mereka mengalami hambatan dalam pelafalan kata dan memahami konteks pembicaraan. Salah paham kerap terjadi, dan ini memengaruhi emosi mereka. Mereka bisa tersinggung jika merasa dikesampingkan dalam percakapan, atau curiga bahwa orang lain sedang membicarakan mereka. Rasa was-was ini bukan tanpa dasar—itu adalah konsekuensi dari interaksi sosial yang tidak inklusif.

Berbeda dengan itu, disabilitas intelektual menghadapi tantangan dalam pengelolaan emosi dan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, yang berdampak pada kesulitan memahami perasaan maupun situasi sosial. Mereka kerap kesulitan membedakan benar dan salah, baik dan buruk, serta tidak mampu mengenali atau mengekspresikan emosi seperti takut, cemas, marah, atau sedih secara tepat.

Akibatnya, respons mereka terhadap suatu peristiwa sering kali tidak dapat diprediksi—misalnya aat mendengar berita perang, ekspresi mereka bisa tampak datar, tanpa menunjukkan rasa khawatir atau empati. Bukan karena tak peduli, tapi karena kesulitan memahami konteks emosionalnya. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi, penipuan, dan kekerasan.

Baca juga: Bahasa yang Menghargai Martabat: Mengapa Kita Tak Lagi Menyebut ‘Cacat’

Sementara itu, disabilitas mental menghadapi kesulitan dalam menjaga kestabilan pikiran dan perasaan. Mereka bisa mengalami gangguan daya ingat, kehilangan konsentrasi, mudah marah, atau menarik diri sepenuhnya dari lingkungan sosial. Semangat untuk menjalani hidup bisa menurun drastis, bahkan untuk hal-hal sederhana seperti merawat diri.

Dalam semua situasi ini, satu hal yang perlu kita sadari adalah, reaksi emosional disabilitas tidak selalu bisa diprediksi atau dijelaskan dengan logika biasa. Mereka bisa marah, menangis, diam, atau tampak tidak peduli tanpa sebab yang terlihat jelas. Tapi itu bukan berarti mereka ingin menyusahkan orang lain, atau bahwa itu bagian dari karakter buruk. Justru sebaliknya, mereka sedang berjuang dengan hambatan yang tidak kasat mata dan tidak selalu mereka pahami sepenuhnya.

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap? Perlakukan mereka secara wajar. Jangan memperlakukan mereka seperti anak kecil, atau sebaliknya, menghindari mereka karena takut salah bersikap. Ajak bicara. Dengarkan cerita mereka. Tanyakan apa yang mereka rasakan dan butuhkan. Validasi emosi mereka, dan jangan buru-buru menilai sebagai “lebay”, “baper”, atau “tidak stabil”.

Karena pada dasarnya, disabilitas tidak minta dikasihani. Mereka hanya ingin dimengerti—sebagaimana kita semua.

Yohana Maitimu adalah perempuan disabilitas penglihatan dan Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia Maluku.

About Author

Yohana Maitimu