Annisa Emery Manik: Perempuan Tuli Penggerak Advokasi Gender Inklusif

Di tengah perbincangan tentang kesetaraan gender yang kian ramai, tidak semua kelompok perempuan memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi. Perempuan disabilitas, misalnya, masih kerap terpinggirkan, baik dalam diskusi feminisme, kebijakan publik, maupun ruang-ruang aktivisme yang katanya inklusif untuk semua.
Bagi Annisa Emery Manik, 21, hal itu terasa nyata.
“Aku sering merasa enggak terlihat dalam percakapan soal kesetaraan gender. Padahal identitasku sebagai Tuli juga bagian dari perjuangan itu,” ujar Annisa saat berbincang dengan Magdalene (24/4).
Kesadaran Annisa akan pentingnya partisipasi perempuan disabilitas bermula ketika ia mengikuti Program Youth Leadership Camp (YLC) yang diadakan Magdalene. Di sana, untuk pertama kalinya ia berani berbagi pengalaman tentang minimnya ruang aman dan akses informasi bagi remaja Tuli yang ingin belajar tentang gender.

“Banyak teman Tuli ingin belajar, tapi takut, bingung harus mulai dari mana,” tambahnya.
Dari YLC juga, Nisa pertama kali mengenal konsep interseksionalitas–gagasan bahwa identitas kita saling berkelindan dan membentuk pengalaman yang berbeda-beda. Jadi perempuan saja sudah rentan, apalagi perempuan dan Tuli? Tantangannya berlipat-lipat.
Sejak pengalaman itu, Annisa makin aktif membuat konten, menulis, hingga meluncurkan kampanye #TuliBijakBerdigital, yang berfokus pada literasi digital yang inklusif. Lewat YLC pula, Annisa mengenal konsep interseksionalitas, bahwa identitas seperti gender, disabilitas, dan kelas sosial saling berkelindan dan memengaruhi pengalaman hidup.
“Dulu aku pikir gender itu cuma soal laki-laki dan perempuan. Ternyata, identitas lain seperti disabilitas, latar belakang pendidikan, semuanya saling memengaruhi,” jelasnya.
Perjalanan aktivisme Annisa sebenarnya sudah dimulai sejak SMA. Ia aktif di komunitas seperti Feminis Themis dan Federasi Bola Basket Tuli Indonesia. Kini, semangatnya semakin besar, terutama karena isu-isu seperti aksesibilitas dan kekerasan terhadap perempuan disabilitas masih jarang dibicarakan.
Baca juga: Pemangkasan Anggaran KND: Bukti Pemerintah Remehkan Hak Orang dengan Disabilitas
Tantangan yang tak pernah usai
Salah satu tantangan yang sering Annisa temui adalah kurangnya pemahaman soal gender bahkan di kalangan Tuli sendiri.
“Soal pinjol atau penipuan online saja banyak yang belum paham. Kalau soal advokasi hukum atau kekerasan, sosialisasinya masih sangat kurang,” ujarnya.
Selain itu, Annisa melihat bahwa negara belum sepenuhnya melibatkan orang dengan disabilitas dalam pembangunan. Meski ada regulasi kuota untuk disabilitas di dunia kerja, kenyataan di lapangan masih jauh dari inklusif.
“Tes online atau wawancara sering enggak ramah Tuli, tunanetra, atau difabel intelektual. Banyak teman yang masih dapat diskriminasi,” katanya.
Annisa juga prihatin dengan minimnya perhatian terhadap kekerasan yang dialami perempuan disabilitas. Selain lebih sering terjadi, kekerasan ini juga lebih sulit terdeteksi.

Menurutnya, di komunitas disabilitas sendiri terkadang masih terlalu maskulin dan jarang membahas tentang pelecehan seksual, hak reproduksi, atau diskriminasi terhadap perempuan.
“Aku punya teman perempuan yang pernah mengalami KBGO. Biasanya yang bisa aku lakukan, nemenin dan memberi informasi soal layanan bantuan gitu,” ungkap Nisa.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis Prabowo, Sudahkah Libatkan Anak dengan Disabilitas?
Menolak diam, memilih bergerak
Menurut Annisa, media pun punya andil dalam memperkuat atau melemahkan perjuangan perempuan disabilitas. Orang dengan disabilitas masih sering diposisikan oleh media sebagai objek rasa syukur, narasi yang menurut Nisa justru merugikan.
“Media seharusnya memberi ruang bagi perempuan disabilitas sebagai agen perubahan, bukan sekadar cerita inspiratif kosong. Perempuan disabilitas adalah individu yang punya pemikiran dan kontribusi,” katanya.
Framing semacam ini kerap mereduksi perjuangan perempuan disabilitas menjadi cerita ketabahan semata. Padahal, media bisa berperan penting untuk membantu publik melihat perempuan disabilitas lewat gagasan dan advokasi yang mereka bawa.
Kasus diskriminasi terhadap orang dengan disabilitas masih sering terjadi, seperti yang dialami aktivis Surya Sahetapy, yang pernah ditolak pengendara ojol karena Tuli.
Meski Annisa belum pernah mengalami diskriminasi secara langsung, ia tetap merasakan bahwa akses informasi di transportasi publik masih jauh dari inklusif.
“Di KRL atau TransJakarta, informasi darurat cuma lewat pengeras suara. Enggak ada tampilan visual, jadi bingung itu informasi soal orang atau barang yang hilang,” ujarnya.

Itulah sebabnya Annisa percaya, melibatkan orang dengan disabilitas dalam proses pengambilan keputusan sangatlah penting.
“Kalau perempuan disabilitas diberi ruang untuk terlibat dalam advokasi, perubahan pasti akan lebih terasa,” tambahnya.
Baca juga: Perguruan Tinggi Perlu Libatkan Mahasiswa Disabilitas
Saat ditanya bentuk dukungan terbaik dari sesama anak muda untuk memperkuat gerakan advokasi disabilitas, Nisa menjawab dengan sederhana: “Menurutku, dukungan terbaik itu pertama, support system. Kedua, menyediakan fasilitas atau ruang untuk advokasi disabilitas.”
Ia juga menegaskan pentingnya kampus, organisasi, dan tempat kerja untuk proaktif menyediakan akses yang layak, bukan sekadar reaktif.
“Jangan menunggu ada disabilitas dulu baru aksesibilitas disiapkan,” tutup Nisa.
