Kabar rencana perceraian Sabrina Chairunnisa dan Deddy Corbuzier mengguncang publik. Insert Live, (2/10) mengutip pernyataan Sabrina yang disebut-sebut ingin berhenti dari bisnisnya dan mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga penuh waktu. Ia lantas meminta Deddy memberikan uang bulanan setara pendapatannya sebagai pengusaha—permintaan yang ditolak mentah-mentah oleh Deddy.
Perbincangan daring sontak memanas. Banyak warganet menilai Deddy pelit, apalagi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Mei 2025 mencatat kekayaannya mencapai Rp953 miliar, nyaris Rp1 triliun. Namun persoalan ini jauh lebih kompleks dibanding sekadar urusan harta suami-istri. Kasus Sabrina menyoroti cara masyarakat memandang kerja domestik perempuan di mana pekerjaannya menopang kehidupan, tetapi tak layak dihargai.
Dalam sistem sosial dan hukum di Indonesia, pembagian peran masih berpijak pada paradigma lama. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai pengurus rumah tangga. Ketentuan ini memperkuat keyakinan kerja domestik adalah kewajiban perempuan. Masyarakat lalu menafsirkan cinta dan tanggung jawab keluarga sebagai kompensasi yang cukup untuk kerja reproduktif.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2018 mendefinisikan kerja reproduktif sebagai rangkaian aktivitas menjaga keberlangsungan hidup, dari menyiapkan makanan, mencuci, membersihkan rumah, hingga mengasuh anak dan lansia. Semua itu membentuk fondasi kesejahteraan keluarga dan produktivitas masyarakat.
Namun seperti dicatat Sri Wiyanti Eddyono dalam Jurnal Perempuan (2023), masyarakat patriarkal menempatkan kerja perawatan sebagai hal alami bagi perempuan. Akibatnya, kerja ini tidak dihargai sebagai pekerjaan produktif, melainkan bentuk pengabdian.
Permintaan Sabrina agar kerja domestik dihitung dan dibayar setara pendapatan profesional mengguncang tatanan nilai yang sudah mapan. Ia menantang persepsi bahwa kerja rumah tangga adalah bagian dari cinta dan bakti.
Tindakan ini menurut saya sejalan dengan pemikiran Silvia Federici, penulis feminis asal Italia, yang menyatakan: “Menuntut upah untuk kerja rumah tangga berarti menolak pekerjaan itu sebagai ekspresi kodrat kita.” Dalam konteks modern, ide Federici mengajak masyarakat memandang rumah tangga bukan sekadar ruang pribadi, tetapi arena ekonomi tempat kerja perempuan menopang struktur sosial.
Baca juga: Ada yang Amis dari Tren “10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” Kok Bisa?
Beban Ganda yang Terabaikan
Banyak perempuan mengalami dilema serupa. Mereka bekerja di ranah publik tanpa pernah benar-benar lepas dari tanggung jawab domestik. Meski memiliki penghasilan sendiri, mereka tetap diharapkan memastikan rumah bersih, makanan tersedia, dan anak-anak terurus. Pola ini menciptakan beban ganda yang melelahkan dan mengikis ruang pribadi perempuan.
Sebagian perempuan memilih mengalihdayakan kerja rumah tangga kepada pekerja rumah tangga (PRT) — keputusan yang mengakui adanya nilai ekonomi pada pekerjaan perawatan. Namun penghargaan terhadap PRT pun masih jauh dari layak. Jurnal Perempuan (Vol. 28 No. 3, 2023) menunjukkan pekerjaan perawatan sering dipandang tidak memerlukan keahlian. Padahal itu menuntut keterampilan teknis dan emosional tinggi. PRT dituntut mengelola waktu, berkomunikasi efektif, dan menjaga relasi sosial di dalam rumah majikan.
Kondisi mereka diperparah oleh ketiadaan perlindungan hukum. Indonesia belum memiliki pengaturan upah minimum untuk pekerja rumah tangga. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan, meski sudah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Tanpa regulasi, jutaan perempuan yang bekerja di sektor ini tetap berada di posisi rentan, termasuk mudah dieksploitasi, sulit menegosiasikan upah, dan tidak memiliki jaminan sosial.
Kerja perawatan sebetulnya memiliki kontribusi besar bagi ekonomi nasional. Perempuan yang bekerja di sektor ini memungkinkan kelompok lain berfokus pada pekerjaan produktif di luar rumah. Banyak dari mereka harus bermigrasi ke kota besar atau luar negeri, menghadapi risiko perdagangan manusia, pelecehan, hingga kekerasan.
Mereka juga harus mengembangkan kemampuan komunikasi, kesabaran, dan ketelitian ekstrem — terutama saat merawat anak kecil, lansia, atau anggota keluarga dengan penyakit kronis. Semua ini menunjukkan kerja perawatan bukan pekerjaan murah, melainkan kerja bernilai tinggi yang menopang produktivitas sosial.
Baca juga: Janji Manis Lelaki ‘Provider’ dan Jeratan Kekerasan Finansial
Melampaui Penghargaan atas Kerja Perawatan Perempuan
Sudah saatnya pengakuan terhadap kerja perawatan dilakukan secara sistematis. Pertama, perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, berhak atas gaji yang disepakati bersama pasangan. Upah ini bukan hadiah, melainkan pengakuan atas kerja yang menopang seluruh sistem ekonomi keluarga. Jika kondisi finansial suami terbatas, tanggung jawab domestik harus dibagi setara agar tidak membebani satu pihak saja.
Kedua, negara perlu menginstitusikan peraturan tentang perlindungan terhadap perempuan di ranah domestik. Kita sejauh ini sudah punya peta jalan tentang kerja perawatan, setidaknya dengan itu perlu dipastikan kembali para caretaker memperoleh upah layak, waktu istirahat, jaminan sosial, serta perlindungan hukum dari kekerasan. Ini juga menjadi langkah simbolik yang menegaskan kerja perawatan sebagai bagian dari ekonomi formal, bukan aktivitas “bantu-bantu” semata.
Kasus Sabrina Chairunnisa memberi pengingat penting bagi masyarakat. Bahwasannya pekerjaan yang menjaga kehidupan tidak bisa terus-menerus dibayar dengan cinta. Pengakuan atas nilai kerja domestik bukan hanya bentuk keadilan bagi perempuan, tetapi juga langkah menuju masyarakat yang lebih setara. Cinta bisa menjadi motivasi, tetapi penghargaan ekonomi memberi ruang hidup yang bermartabat.
Firliana Purwanti, penulis The ‘O’ Project dan novel Kamarina Rindu Cinta.
















