Data Journalism Issues

#MerekaJugaPekerja: Jangan Biarkan Perempuan Kerjakan Semua Sendirian

‘Support system’ dari level keluarga hingga negara diperlukan untuk mengurangi beban kerja perawatan perempuan dan meruntuhkan internalisasi peran gendernya

Avatar
  • January 10, 2024
  • 15 min read
  • 10970 Views
#MerekaJugaPekerja: Jangan Biarkan Perempuan Kerjakan Semua Sendirian

Pagi adalah dimulainya “keriuhan” bagi para ibu pekerja. Hal ini juga berlaku buat Arniati, 35, karyawan swasta yang punya dua anak balita. Kesibukan Arni dimulai sekitar jam 04.30 pagi. Setelah membangunkan anak-anak dan suami, ia buru-buru menyiapkan sarapan dan bekal, mencuci piring, membereskan buku pelajaran anak, hingga mengantarkan dua putranya ke sekolah.

Ketenangan baru didapat ketika ia sudah sampai ke kantor. Tak cuma jadi ruang untuk aktualisasi diri, tapi kantor juga tempat me time-nya untuk jeda dari tugas di rumah. Selama bekerja, ia juga merasa tenang karena anak-anak dititipkan ke sang nenek.

 

 

Sayang, ketenangan ini enggak bertahan lama. Arni harus bergulat dengan kesibukan serupa saat pulang kerja sore hari. Menjemput anak, mencuci, menjemur pakaian, terkadang membuat pesanan salad buah untuk para konsumen, mendampingi anak belajar, dan menyiapkan bahan makanan. Tak ada bantuan dari Pekerja Rumah Tangga (PRT), pun dukungan suami juga sekadarnya.

“Semuanya harus bisa lah, harus dibisa-bisain. Capek banget sih, tapi kita enggak bisa membalikkan keadaan,” curhatnya.

Baca juga: Kerja-kerja Perawatan, Penting tapi Diabaikan

Kerja Perawatan yang Dibebankan pada Perempuan

Arni bukan satu-satunya perempuanyang harus melakukan kerja perawatan tak berbayar. Karyawan biro perjalanan rohani Erna, 49 juga mengalaminya. Meskipun masih lajang, tapi bukan jaminan ia bebas dari beban kerja perawatan tak berbayar. Sejak 14 Maret 2023, Erna merawat ayahnya, 81, yang mengalami stroke hingga tangan kanannya sulit digerakkan. Memori ayah juga sudah mulai memudar. Alhasil, berbaring di kasur jadi satu-satunya hal yang bisa dilakukan.

Berbeda dari anak-anak balita, merawat orang tua sakit juga punya tantangan tersendiri. Terlebih, keterbatasan kemampuan gerak ayah membuat Erna harus siap siaga membantu ayahnya dari bangun tidur, buang air kecil atau besar, mandi, menyuapi makan, dan menyikat gigi. 

Selain itu, Erna juga membantu melakukan gerakan-gerakan fisioterapi demi merangsang saraf dan otot ayahnya. Mayoritas kerja perawatan terhadap ayah, ia lakukan sendiri dari jam tujuh pagi hingga delapan malam. Ia memang dibantu oleh PRT tapi sebatas mengurus kerja-kerja domestik saja.

Sama seperti Arni, Erna juga mengaku kerap lelah dan kewalahan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Bagi Erna, merawat orang tua sudah jadi kewajiban anak. Ini jadi caranya untuk berbakti, sehingga selelah apa pun mengurus ayah, ia enggan mengeluh.

Capek banget tapi dalam konteks kewajiban kan saya anaknya. Jadi kalau bukan anaknya siapa lagi yang akan merawat papa saya? Dan selama kita punya waktu dan tenaga, ya rawat sendiri,” ungkapnya kepada Magdalene.

Buat masyarakat luas, sosok Arni dan Erna boleh jadi merupakan inspirasi. Sebab, mereka rela melakukan kerja-kerja perawatan seorang diri. Masalahnya, kita relatif jarang membicarakan rasa lelah yang dialami mereka akibat terlalu banyak menjalankan kerja perawatan tak berbayar.

Arni

Dalam perhitungan Magdalene dari eksperimen sosial terbaru, Arni menghabiskan 43,67 jam per bulan untuk kerja perawatan. Durasi tersebut lebih banyak dari jam kerja standar Indonesia yang diatur dalam UU Cipta Kerja, sebesar 40 jam. Dalam hal ini, ia kelebihan 160 jam per bulan atau 10,92 jam per minggu. Jika divaluasikan dengan uang, kerja perawatan Arni dapat dinilai sebesar Rp10.819.792 per bulan, lebih besar dari gaji ia di kantor.

Sementara untuk Erna, durasi kerja perawatannya masih di bawah standar rata-rata, yakni 103,93 jam per bulan. Namun, jika divaluasi, jumlahnya cukup besar, sebesar Rp1.096.172 per minggu atau Rp4.384.688 per bulan.

Valuasi yang besar ini menjadi ironi tersendiri. Apalagi sekarang kerja perawatan masih saja dinilai enggak produktif. Bahkan, karena lebih banyak dibebankan pada perempuan, mereka mengalami double atau multiple burden.

Beban berlapis perempuan juga tercermin lewat temuan International Monetary Fund (IMF) pada 2019 dan survei International Labour Organization (ILO) yang menggandeng Katadata Insight Center (KIC) pada 2023. Dalam studi global IMF yang bertajuk Reducing and Redistributing Unpaid Work: Stronger Policies to Support Gender Equality mencatat, rata-rata perempuan melakukan dua jam lebih banyak pekerjaan perawatan tak berbayar per hari dibandingkan laki-laki. Di Norwegia, salah satu negara paling egaliter di dunia, perempuan bahkan melakukan 20 persen lebih banyak pekerjaan tak berbayar daripada laki-laki. 

Rumah tangga berpenghasilan ganda juga tak menjamin perempuan mengerjakan kerja perawatan lebih sedikit. Sebaliknya, fakta menemukan perempuan menanggung beban lebih besar dalam pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga dengan menghabiskan 20 hingga 1.000 persen lebih banyak waktu daripada laki-laki di seluruh dunia. 

Dalam konteks Indonesia, beban kerja perempuan ini terangkum dalam survei ILO bertajuk “Persepsi terhadap Pekerjaan Perawatan, Pandangan Publik dalam Kerangka 5R(2023). Survei ini menunjukkan, 79,3 persen perempuan mengalami beban ganda. Lebih detailnya, sebanyak 61,6 persen responden lelaki memiliki istri/ saudara perempuan yang bekerja sendiri sekaligus melakukan kerja perawatan. Sebanyak 28,1 persen responden lelaki memiliki istri/ saudara perempuan yang sudah bekerja tetapi harus resign demi melakukan kerja perawatan.

Early Nuriana, National Project Coordinator ILO Indonesia mengatakan, beban kerja berlapis perempuan muncul karena konstruksi sosial. Konstruksi tersebut menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap lebih pantas dan baik melakukan kerja perawatan dibandingkan laki-laki, karena telaten dan penyabar.

Ironinya, pelabelan gender ini juga diperkuat lewat kebijakan publik. Early mencontohkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memisahkan peran laki-laki dan perempuan lewat pelabelan gender. Dalam Pasal 31 dan 34 disebutkan, istri adalah ibu rumah tangga dan wajib baginya untuk mengurus segala hal yang berurusan dengan kerja domestik. Sebaliknya laki-laki adalah kepala keluarga dan pencari nafkah.

“Dengan UU Perkawinan yang sudah dikotomis, membuat perempuan sangat mungkin menginternalisasi beban kerja domestik mereka. Ini juga membuat mereka belum bisa berbagi peran dengan pasangan,” jelas Early.

Baik dalam kasus Arni dan Erna, internalisasi peran ini membuat mereka jadi overly independent alias terlalu mandiri. Mereka enggan meminta tolong bahkan tidak percaya pada orang lain untuk membantu mengerjakan kerja perawatan. Semua harus dilakukan sendiri, bagaimana pun keadaannya. Dalam kasus Arni, internalisasi ini terletak dari ketidakpercayaannya pada PRT dan pemahaman soal kewajiban atau tugas istri dan ibu. 

“Kerja perawatan itu kewajiban, tugas istri, ibu. Kalau bukan kita siapa lagi? Lagipula aku enggak percaya sama PRT jadi ya sudah kerjakan semuanya sendiri. Terbiasa apa-apa sendiri. Minta tolong suami pun juga enggak. Dari inisiatif dia aja, tapi karena juga namanya cowok ya, suka enggak peka,” kata Arni.

Sementara Erna tak percaya pada nanny atau pengasuh. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk merekrut pengasuh untuk ayahnya. Ia bilang, tak cukup takut mempercayakan orang tuanya pada orang lain. “Enggak pernah terpikir ke panti jompo atau hire nanny. Agak takut mempercayakan orang tua ke orang lain, selama kita punya waktu ya lakukan saja,” ungkap Erna. 

Nyatanya, internalisasi peran gender sudah jadi fenomena umum yang dialami perempuan. Dalam survei ILO (2023) disebutkan, sebanyak 22,3 persen responden perempuan masih menganggap kerja perawatan adalah kewajiban utama istri atau perempuan, dan harus diusahakan untuk dilakukan sendiri. Selain itu, mayoritas responden perempuan (78,3 persen) tidak berencana menggunakan atau meminta bantuan orang di luar keluarga, karena masih sanggup melakukannya sendiri. 

Sumber: Youtube Magdalene

Baca juga: Pilihan atau Tuntutan: Refleksi 2 Ibu Rumah Tangga

Dibiarkan Sendiri Tanpa Support System yang Kuat

Pada 29 November lalu, Magdalene mengundang lima perempuan termasuk di antaranya Arni dan Erna untuk berbagi kisah mereka melakukan kerja perawatan. Sebelumnya mereka mengikuti eksperimen sosial yang dilakukan Magdalene bersama dengan ILO. Sesi berbagi mengenai tantangan kerja perawatan adalah sesi penting dalam diskusi yang berlangsung kurang lebih selama enam jam itu.

Dari kelimanya kami menemukan kesamaan. Enggak semua partisipan secara terang-terangan mengungkapkan, tetapi mereka mengeluhkan kurangnya support system yang mereka miliki. Natalia, 43, ibu tiga anak yang bekerja sebagai ibu rumah tangga dan jasa titip (jastip) makanan Dari Halte ke Halte menceritakan tentang perasaannya. “Capek banget padahal baru bangun tidur saja sudah capek,” ujarnya.

Ia memang tak dibantu oleh PRT dan rerata kerja perawatan ia lakukan sendirian. Sementara, suami dan anak sulungnya, 24, relatif jarang membantu kerja-kerja domestik.

“Anak sulungku baru mau (membantu) kalau ada hubungannya dengan dia. Kayak goreng nugget, masak nasi, karena itu buat makan dia sama adiknya. Ya sekali-kali mandiin adiknya umur 5 tahun tapi itu jarang. Nah, si bapak kerja tiap hari tiga shifts, kadang malah enggak pulang. Aku rada males ngomong pake urat, enggak bisa sekali ngomong tolong lah, Mas jadi ya sudahlah kerjain aja sendiri,” jelasnya.

Tak jauh berbeda dengan kondisi Natalia, Arni juga minim dapat dukungan suami. Walaupun sang suami adalah pihak yang mendorongnya untuk tetap bekerja pasca-menikah, tapi suami masih tak cukup memberi bantuan.

“Namanya cowok ya masih kurang peka. Harus dibaik-baikin dulu baru mau (melakukan pekerjaan perawatan). Jadi enggak ada kesadaran. Kalau kerjaannya enggak bener, enggak sesuai yang biasanya, aku malah balik diomelin. Kata dia, ‘Masih untung dibantuin,’” curhat Arni.

Ia menambahkan, pernah suatu waktu mengeluh kelelahan tapi tetap belum dapat bantuan. “Aku pernah ngeluh capek ke suami apalagi kalau kerja pulang malam. Tapi pas aku ngomong dia malah bilang, ‘Ya itu risiko jadi ibu kerja, mau bagaimana.’ Ya bagi kerja dong, kata saya. Kalau saya udah ngomong gini, dia iya-iya aja. Iya-nya bisa dipercaya apa enggak, soalnya kalau mood-nya enggak enak, enggak bakal bisa minta tolong juga,” jelas Arni.

Sebelas dua belas, kelelahan dan minimnya dukungan juga dialami Erna yang merawat ayah. Ia bilang, 80 persen dari kerja perawatan ia lakukan sendiri. Bebannya pun semakin berat karena untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan tiga kali sehari dan kebutuhan perawatan lansia seperti obat, perlak medis, dan popok juga semua masih harus dia tanggung sendiri.

“(Saudara) tidak sama sekali ikut mengurus. Mereka tinggalnya jauh ada jadi cuma seminggu sekali datang dan itu hanya berapa jam. Soal biaya, kalau ada yang besar saja seperti ke rumah sakit adik-adik saya yang cover tapi untuk sehari-hari tetap saya,” ungkap Erna.

Baca juga: Peran Vital Ibu Rumah Tangga dan Petani Perempuan dalam Aktivisme Lingkungan

Reduce dan Redistribute jadi Solusi

Kerja perawatan semakin berat untuk perempuan karena tak ada support system yang cukup. Dalam penelitian yang diterbitkan The Lancet Public Health pada 2022 yang melibatkan 70.310 orang di seluruh dunia menemukan semakin banyak pekerjaan tak berbayar yang dilakukan perempuan, semakin buruk pula kesehatan mental mereka. 

Penelitian terbitan Springerlink pada tahun yang sama juga menambahkan alasan mengapa perempuan lebih sering didiagnosis dengan kecemasan dan depresi daripada laki-laki. Hal ini tak lain karena perempuan juga lebih banyak melakukan kerja tak berbayar. Kerja yang sayangnya dibebankan sepihak lewat konstruksi sosial, sehingga perempuan pun jadi menginternalisasi peran gender tradisional mereka dan masyarakat memiliki ekspektasi yang berlebihan pada perempuan atas kerja-kerja ini.

Tak cuma berdampak pada kesehatan mental, kerja perawatan tak berbayar juga berpengaruh pada rendahnya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Indonesia. Melansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS) angka TPAK laki-laki tercatat 84,2 persen sementara TPAK perempuan hanya 54,52 persen alias hanya mengalami peningkatan 1,11 persen dari 2022.

Kerja perawatan yang dibebankan kepada perempuan membuat mereka lebih memilih bekerja di bidang informal, paruh waktu, bahkan memutuskan berhenti bekerja. Realitas ini tercermin kembali dalam survei ILO yang menemukan hampir setengah dari responden (46 persen) adalah perempuan yang pernah bekerja dan harus berhenti dari pekerjaannya untuk mengasuh anak atau merawat orang tua.

Ketidaksetaraan dalam kerja perawatan tak berbayar menggambarkan bagaimana masyarakat belum memberikan kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki dan masih terjebak dalam kerangka pikir usang soal peran gender tradisional. Perempuan tak ayal jadi terpenjara dalam situasi tanpa pilihan. 

Sebab itu, diperlukan usaha tidak hanya untuk mengakui (recognize) tetapi juga mengurangi (reduce), dan mendistribusikan ulang (redistribute) kerja tak berbayar. Early mengatakan mengurangi beban kerja perawatan perempuan memang tidak mudah lantaran sudah jadi konstruksi sosial. Perlu pendekatan yang spesifik agar bisa tepat sasaran dan mudah diterima oleh masyarakat.

Reduce bisa dimulai dengan membangun diskusi dengan kelompok orang berusia 30 hingga 40-an yang sudah memiliki anak, tentang fatherless. Dalam diskusi itu, kita ajak mereka untuk merenungkan, sepenting apa sebenarnya peran ayah, ingin jadi ayah yang seperti apa, dan seterusnya.

Diskusi ini sendiri penting supaya tercipta kesadaran bersama bahwa tugas pengasuhan adalah tanggung jawab ayah dan ibu. Terlebih dalam studi “Dampak Fatherless terhadap Perkembangan Psikologis Anak” (2013) diungkapkan, fatherless berdampak besar pada psikologis anak. Anak-anak fatherless akan lebih cenderung memiliki harga diri yang rendah, kesulitan meregulasi emosi  hingga memiliki kontrol diri, inisiatif, dan keberanian mengambil risiko yang lebih rendah.

Early menambahkan, reduce juga bisa dilakukan lewat mendorong perusahaan membuat iklan yang menggambarkan keterlibatan ayah dalam kerja perawatan. Ini penting karena selama ini peran sosial laki-laki dan perempuan juga dipromosikan oleh iklan-iklan. 

Dari iklan sabun cuci piring, deterjen, popok, hingga kecap secara tidak proporsional hanya menonjolkan sosok perempuan. Alhasil, gambaran peran ini secara tidak sadar terinternalisasi dalam benak masyarakat apalagi kata Early masyarakat Indonesia cenderung mudah dipengaruhi oleh iklan.

Social marketing penting untuk perubahan perilaku. Jadi perusahaan harus mulai nih menampilkan laki-laki dalam strategi marketing mereka. Bukan lagi ibu tapi misalnya bapak diperlihatkan ganti popok. Promosi produk juga laki-laki mulai dilibatkan, dilombakan karena selama ini kan hanya perempuan,” jelas Early.

Tak bisa berhenti di-reduce saja, mendistribusikan ulang atau redistribute beban kerja perempuan juga sama pentingnya. Distribusi ulang harus dilakukan ke beragam pihak yang berkepentingan seperti perusahaan dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Dalam level perusahaan distribusi ulang tak boleh hanya terbatas pada penerapan cuti melahirkan dan cuti menemani istri melahirkan tetapi bisa juga dilakukan dengan pemberian layanan daycare, cuti orang tua, dan pengaturan kerja fleksibel. 

Dalam survei ILO, pemberian layanan daycare, pengaturan kerja fleksibel, dan cuti orang tua masuk ke dalam sepuluh program kerja perawatan yang paling dibutuhkan para responden dalam sektor formal. Sayangnya, ketiga program ini justru masih jarang atau belum tersedia bahkan ada konsekuensi pemotongan gaji jika responden mengambilnya. 

Zelda Lupsita, Program Manager/Technical Lead Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) mengatakan tidak semua perusahaan punya kesadaran tentang kerja perawatan dan memberikan dukungan dari segi kebijakan untuk karyawannya. Karena itu menurut Zelda penting mensosialisasikan dan mengedukasi soal pentingnya program perawatan dan dampak positifnya bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Sosialisasi dan edukasi pun harus dilakukan kepada pimpinan perusahaan sebagai pemangku kebijakan tertinggi.

Sosialisasi dan edukasi ini juga harus diakali. Penting kata Zelda untuk memberikan contoh bisnis (business case) langsung pada pimpinan perusahaan. Ini dilakukan agar pimpinan perusahaan bisa melihat ternyata ada implikasi positif yang mereka peroleh jika perusahaan bersedia memberikan program layanan perawatan bagi karyawannya.

“Kita kasih business case-nya kalau mendukung (program layanan) perawatan ada implikasi positif juga yang bisa didapat perusahaan seperti retensi atau enggak banyak karyawan akhirnya cabut. Perempuan kan jadi bisa memilih. Perusahaan enggak kehilangan talent dan knowledge berharga dari perempuan. Ini juga mencegah mereka perusahaan keluar biaya lebih banyak lagi karena harus merekrut orang baru,” jelas Zelda. 

Di sisi lain, imbuh Zelda penyadaran terhadap pentingnya program layanan perawatan juga tak bisa menjamin perusahaan pada akhirnya bisa memberikan akses ini pada karyawannya. Terkait akses layanan daycare contohnya sulit diaplikasikan pada perusahaan berbasis pabrik. Risiko keselamatan jadi pertimbangannya. Karena itu menurut Zelda, perusahaan juga perlu mempertimbangkan berbagai pilihan akses. 

“Misalnya dibandingkan membangun in house daycare (tempat penitipan anak di bangunan yang sama), perusahaan bisa memberikan akses melalui tunjangan anak. Jadi karyawan bisa mencari daycare di sekitar tempat tinggal mereka,” kata Zelda.

Lalu bagaimana dengan pekerja nonformal? Adakah pendekatan yang bisa dilakukan untuk memberikan akses layanan perawatan pada mereka? Jawabannya ada. Early mengungkapkan buat pekerja informal layanan perawatan bisa diberikan pemerintah lewat dua cara, yaitu investasi layanan perawatan dan mendorong mekanisme social protection atau perlindungan sosial.

Untuk investasi layanan perawatan, pemerintah Indonesia bisa mulai mendorong layanan daycare yang aksesibel. Aksesibilitas di sini tak hanya mengacu pada biaya, tetapi juga waktu dan jarak. Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Dewa Ayu Laksmi mengatakan pemerintah kini sedang mengusahakannya lewat perancangan peta jalan atau pedoman strategis ekonomi perawatan. 

Rancangan peta jalan ini diawali dengan kajian dan analisis terhadap kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia terkait ekonomi perawatan. Ini kemudian dilanjutkan dengan serangkaian pertemuan konsultatif bersama pemangku kepentingan terkait ekonomi perawatan serta kunjungan studi ke layanan perawatan anak di perusahaan, desa dan sebagainya. 

Agar peta jalan ini bisa tepat sasaran dan dapat diterapkan dengan baik, KemenPPPA bekerjasama dengan berbagai pihak antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian PANRB Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), hingga tentu saja ILO.

“Peta jalan ini ditargetkan selesai pada akhir 2024, tepat setelah akhir kepemimpinan presiden saat ini. Nantinya jika sudah selesai, peta jalan ini bisa masuk ke RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2025-2029, it’s our future economy,” tutur Laksmi.

Investasi layanan perawatan selanjutnya harus diperkuat dengan mekanisme perlindungan sosial universal yang mengutip dari ILO mengacu pada kebijakan terpadu yang dirancang untuk memastikan jaminan pendapatan dan dukungan bagi semua orang di seluruh siklus kehidupan.

Perlu digarisbawahi mekanisme ini memberikan perhatian khusus kepada masyarakat miskin dan rentan, oleh karena itu walaupun Indonesia telah memiliki BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), menurut Early BPJS masih belum cukup kuat memenuhi syarat universalitas skema perlindungan sosial.

Hal ini tak ayal karena masih banyak pekerja informal dan pekerja kontrak yang belum bisa menikmatinya. Early menambahkan jika mengacu pada Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, mekanisme perlindungan sosial diarahkan dengan pada skema social insurence atau jaminan sosial.

Saat ini BPJS apalagi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan masih banyak dibayarkan perusahaan bukan individu. Artinya, cuma mereka yang merupakan pekerja formal terutama pekerja tetap yang mayoritas bisa menikmati manfaatnya. Perlindungan selektif ini bermasalah. Jaminan sosial pasalnya adalah hak asasi manusia dan semua orang, di mana pun mereka tinggal, harus dijamin mendapatkan perlindungan sosial dasar.

“Jaminan sosial harusnya enggak boleh hanya bisa dinikmati sama yang punya uang saja. Kalau seperti sekarang kan semua bebannya di ekonomi keluarga. Mereka yang produktif, yang pada saat itu sedang punya uang yang menanggung emua biaya perawatan. Akhirnya mereka harus mengambil uang gajinya untuk mengurus anak atau orang tua,” katanya.

Itulah mengapa negara harus berinvestasi secara bertahap. Karena semakin terlambat berinvestasi pada mekanisme ini, semakin berat beban ekonomi keluarga yang harus ditanggung dan semakin rentan pula masyarakat terhadap kesehatan yang buruk, kemiskinan, dan ketidaksetaraan tutup Early.

Dalam rangka Hari Ibu Nasional 2023, Magdalene dan ILO meluncurkan series liputan jurnalisme data bertema “Urgensi Ekonomi Perawatan Jilid 2”. Ada satu artikel utama dan 2 artikel lainnya yang tayang setiap pekan. Jika kamu menyukai liputan visual, Magdalene juga membuat laporan berformat video yang bisa diakses di Youtube kami.

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani

Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky

Editor: Aulia Adam

Reporter/ Periset:

Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Chika Ramadhea, Natanael F Gulo

Desainer Grafis: Jeje Bahri, Della Nurlaelanti Putri

Juru Kamera dan Editor: Tommy Triardhikara

Web Developer: Denny Wibisono

Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian

Community Outreach: Paul Emas


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *