December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Satu Kata yang Muncul Sepanjang Nonton ‘Rangga & Cinta’: Kenapa?

Apa yang salah atau apa salahnya?

  • October 12, 2025
  • 5 min read
  • 2242 Views
Satu Kata yang Muncul Sepanjang Nonton ‘Rangga & Cinta’: Kenapa?

Penting untuk memprakatai tulisan ini dengan pengakuan bahwa saya adalah fans Ada Apa dengan Cinta? sejak hari pertama. 

Sudah entah berapa kali saya menontonnya—lewat VCD di rumah saat pemutarnya masih nyala, lewat tayangan tengah malam di televisi, sampai akhirnya lewat Netflix. Bahkan ketika film monumental karya Rudi Soedjarwo itu kembali diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2024 untuk merayakan 25 tahun karier Dian Sastrowardoyo, saya ada di sana. Duduk di kursi penonton, seperti dulu.

Ada sesuatu dari cara film ini memotret cinta remaja—kacau, kikuk, membingungkan, tapi juga hangat. Ia bisa menghidupkan lagi nostalgia tentang hari-hari sederhana: hidup bergerombol dengan kawan-kawan terdekat. Dua hal yang ternyata belum pernah bikin saya bosan.

Maka, sangat sulit bagi saya untuk duduk di bioskop dan mengalami Rangga & Cinta dengan situasi pikiran netral. 

Setelah Ada Apa dengan Cinta? 2 dirilis pada 2016, kini—23 tahun setelah film orisinalnya—hadir sebuah versi baru: sebuah remake musikal yang disutradarai Riri Riza, dengan jajaran pemain yang seluruhnya baru.

Sesuai fitrahnya sebagai remake, tentu saja cerita yang dulu ditulis Jujur Prananto tetap dipertahankan. Tapi setelah 15 menit pertama bergulir, saya baru sadar: oh, film ini bahkan mereplikasi bait demi bait dari versi aslinya. Dialog-dialognya—sekitar 80 persen—disalin dengan presisi, hampir matematis.

Dengan begitu, menonton Rangga & Cinta tanpa memutar AADC 2002 di kepala rasanya jadi mustahil. Membandingkan keduanya jadi otomatis.

Apa yang Salah atau Apa Salahnya?

Meski begitu, film ini tetap berusaha meremajakan beberapa sekuens dengan dua niat utama. 

Pertama, untuk mengekspansi. Seperti adegan Geng Mading yang kini berkoreografi di kamar Cinta diiringi Dimana Malumu-nya Melly Goeslaw—diperbarui dengan tambahan nyanyian solo Maura tentang pengalamannya mengencani cowok nggak modal. 

Kedua, untuk menambal hal-hal yang dulu sengaja dibiarkan menggantung dan kemudian jadi bahan bercandaan internet selama bertahun-tahun: kita akhirnya tahu apa sebenarnya yang dikatakan Alya kepada petugas sekuriti bandara sampai Cinta bisa lolos ke area penumpang tanpa boarding pass.

Namun, justru karena terlalu sibuk berdialog dengan bayangan film lamanya, pengalaman menonton Rangga & Cinta berubah jadi olahraga mental yang melelahkan bagi saya. 

Otak saya bekerja seperti GPS nostalgia—terus mengantisipasi apa yang akan muncul setelah ini. Saya tahu kamera akan cut to buku Aku di tangan Rangga, persis ketika Cinta memutar bola matanya ke bawah di tengah adu mulut mereka.

Baca juga: Buat Ekspektasi Tak Realistis, Yang Saya Pelajari dari Film Romcom Remaja

Teriakan “I love you, Pak Taufik!” dari Milly bahkan sudah bergema lebih dulu di kepala saya, bahkan saat adegan upacara sekolah baru saja dimulai. Saat momen itu datang, saya langsung mengenali bedanya, kali ini Pak Taufik diberi ruang sedikit lebih panjang: ia sempat mengoreksi Milly, menjelaskan bahwa versi bahasa Indonesia yang benar adalah “Aku cinta kamu.”

Momen-momen yang dulu terasa hidup dan spontan, kini jadi seperti versi karaokenya. Replika yang rapi, tapi kehilangan nyawanya. 

Mungkin di situ letak masalah terbesarnya.

Upaya Meniru Cinta Versi Dian Sastrowardoyo

Rangga & Cinta dipasarkan sebagai kebangkitan ulang salah satu kisah romansa remaja paling ikonik di perfilman Indonesia. Bedanya, kini dibalut format musikal. Tapi musikalnya terasa seperti hiasan semata—bukan keputusan artistik yang lahir dari kebutuhan cerita atau kemungkinan musik bisa mengelevasi materi yang sudah ada. Film dibuka dengan tari di koridor dan lapangan sekolah: siswa-siswi menari dan bernyanyi, minus para tokoh sentral. Sulit tidak menghela nafas panjang.

Jika musikal memang dimaksudkan sebagai alat penceritaan—sebagai jembatan bagi emosi dan konflik karakter—di film ini justru terasa seperti gangguan.

Situasinya makin rumit ketika Leya Princy, pemeran Cinta, tampak diarahkan untuk meniru Dian sedekat mungkin. Dari jeda sepersekian detik sebelum ia menaikkan nada saat berteriak, “Cewek yang kayak gimana maksud lo?!” sampai intonasi “Hey!” sebelum bilang kalau Rangga lucu waktu bingung—semuanya terasa seperti usaha menyalin, bukan menginterpretasi.

Cinta adalah studi karakter yang unik. Versi 2002 jadi tokoh fiksi yang kuat, karena terintegral dengan persona aktor yang memerankannya. Lengketnya Cinta di memori kita, sedikit banyak, dibentuk oleh kepribadian Dian Sastrowardoyo sendiri—intelejensia borjuis Jaksel, yang memancar lewat cara dia bicara, menatap, dan bereaksi. Intonasinya dalam dialog “Salah temen-temen gue?!” misalnya, memuat lapisan kelas yang, somehow, sangat lekat dengan status Dian sebagai selebritas kelas A.

Mungkin, karena alasan yang sama, banyak yang berpendapat kalau karakter-karakter yang dimainkan Dian di film-film berikutnya terasa serupa. Ada pola yang tak terpisahkan antara dirinya dan peran-peran yang ia mainkan. Ada nuansa kelas urban dalam cara Dian membawakan dirinya yang sangat spesifik—sesuatu yang menguntungkannya saat memerankan Cinta atau Aruna (Aruna dan Lidahnya, 2023), tapi tidak menguntungkan buat peran di Kartini (2017) atau Gadis Kretek (2023).

Maka, saat Leya diarahkan untuk mengucapkan dialog hampir plek ketiplek dengan intonasi yang sama, dahi ini otomatis berkernyit. Dalam derajat tertentu, artinya ia hanya menduplikasi Dian.

Sepanjang film, saya terus bertanya: untuk siapa sebenarnya Rangga & Cinta dibuat?

Baca juga:Geng Cinta’ dari ‘AADC’ dan Evolusi Geng Remaja Putri dalam Film Indonesia

Bagi generasi saya—yang tumbuh bersama kisah cinta mereka, mengutip puisinya di buku harian, dan menonton ulang filmnya sampai hapal dialog—remake ini terasa seperti fanfiction yang mubazir.

Sulit juga menerima argumen bahwa film ini dimaksudkan untuk memperkenalkan jagat AADC kepada generasi muda. Di era ketika versi orisinalnya bisa diakses mudah, legal, dan dengan kualitas yang masih kuat berdiri, upaya ini terdengar seperti alasan yang dipaksakan.

Akhirnya, Rangga & Cinta tampak seperti proyek yang tak cukup percaya diri untuk menjadi dirinya sendiri. Riri Riza—sutradara yang biasanya lihai menangkap kompleksitas masa muda, dari Petualangan Sherina sampai Laskar Pelangi—di sini justru terjebak dalam bayangan kebesaran masa lalu.

Musiknya tidak mengalun untuk menyingkap perasaan, tapi sekadar menghias. Dialognya tidak lagi bernyawa, hanya mengulang.

Kirsten Dunst, dalam satu wawancara, pernah ditanya apakah ia tertarik membuat sekuel dari salah satu film paling ikonik yang pernah ia bintangi, Bring It On. Tanpa pikir panjang, ia menjawab tidak. “Leave good things where they are.”

Tentu saja, tidak ada batasan untuk berkarya. Namun, sebagai pecinta kisah Ada Apa dengan Cinta?, sulit bagi saya untuk tidak berharap: andaikan saja semua pihak yang terlibat dalam Rangga & Cinta sepemikiran dengan Kirsten.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.