‘Geng Cinta’ dari ‘AADC’ dan Evolusi Geng Remaja Putri dalam Film Indonesia
Seberapa rindu kamu dengan Geng Cinta dan representasi geng remaja putri yang sehat di layar lebar?

Ketika musikal Ada Apa dengan Cinta? diumumkan, respons publik cukup beragam. Ada yang antusias, ada yang skeptis. Ada pula yang langsung sibuk membandingkan jajaran pemain musikal berjudul Rangga & Cinta itu dengan versi orisinal.
Keputusan meng-casting ulang aktor baru untuk musikal ini membawa nostalgia. Sekaligus mengulang sejarah AADC (Riri Riza, 2002), yang saat itu juga memberi panggung bagi aktris-aktris muda yang kini jadi ikon industri film Indonesia. Pada masanya, AADC bukan cuma tentang kisah kasih tak sampai Cinta dan Rangga, tapi juga Cinta dan gengnya. Lima remaja putri dengan karakterisasi kuat itu sempat jadi ikon dan kanon.
Nostalgia Rangga & Cinta membawa saya ke sebuah pertanyaan: Ke mana perginya geng remaja putri dalam film Indonesia?
Baca juga: ‘The Brutalist’: Dosa ‘American Dream’ yang Menernak Zionisme
Cerita yang berpusat pada geng remaja putri di Indonesia sudah semakin jarang hadir di layar lebar. Jika era 2000-an memberi kita AADC dan Virgin (Hanny Saputra, 2004), satu dekade terakhir justru dipenuhi oleh film-film remaja yang lebih fokus pada hubungan interpersonal yang lebih intim, bahkan individual.
Geng perempuan di film remaja kini lebih sering hadir sebagai aksesori dalam cerita yang berpusat pada tokoh laki-laki, seperti dalam Catatan Akhir Sekolah (Hanung Bramantyo, 2005).
Di sana, geng siswi SMA juga hadir, tetapi penggambarannya komikal dan tidak diberikan kedalaman karakter seperti geng laki-lakinya. Fenomena ini bukan hal baru dalam film remaja, saat female clique sering kali hadir dalam dua bentuk: Sebagai pusat cerita dengan hubungan yang kompleks (seperti dalam AADC) atau sebagai “hiasan” untuk melengkapi dunia karakter laki-laki (seperti dalam CAS).
Dulu, Persahabatan Itu Kolektif. Sekarang, Lebih Personal
Dalam kajian representasi kelompok remaja perempuan, konsep female clique dianggap sebagai sarana eksplorasi identitas dan dinamika sosial dalam film. Rosalind Wiseman (2002), dalam bukunya Queen Bees and Wannabes, menjelaskan bahwa geng remaja perempuan sering kali memiliki hierarki internal yang kuat, dengan figur queen bee sebagai pemimpin dominan yang mengatur dinamika sosial kelompok.
Konsep ini tercermin dalam film Mean Girls (Mark Waters, 2004), yang secara eksplisit menampilkan struktur hierarkis dalam geng perempuan dengan karakter Regina George sebagai pusat kekuasaan. Di sisi lain, penelitian oleh Meyer, Waldron, dan Stern (2014) menunjukkan bahwa tidak semua geng remaja perempuan dalam film beroperasi dalam pola hierarkis yang kaku. Film seperti Clueless (Amy Heckerling, 1995) menawarkan model persahabatan yang lebih egaliter. Di sana, hubungan antaranggota lebih didasarkan pada dukungan sosial dibandingkan kompetisi internal. Kedua model ini menunjukkan bagaimana film remaja dapat merepresentasikan pertemanan perempuan dalam spektrum yang beragam, dari yang berbasis kekuasaan hingga yang lebih kolektif dan suportif.
Baca juga: Maskulinitas Laki-laki yang Direkonstruksi Film-film Yandy Laurens
Jika melihat film Indonesia era 2000-an, AADC mengadopsi pendekatan yang lebih mirip dengan Clueless ketimbang Mean Girls. Geng Cinta bukan hanya sekadar lingkaran pertemanan, tetapi juga sebuah ekosistem sosial dengan aturan internal yang tidak terikat pada hierarki klasik. Milly, misalnya, meskipun sering menjadi comic relief, tetap memiliki agensi dalam kelompoknya. Karmen yang tomboy berperan sebagai penjaga geng, sementara Maura dengan sifat glamornya menghadirkan sisi fashion-forward dalam dinamika mereka. Bahkan Alya, yang cenderung pendiam, memiliki subplot tersendiri tentang keluarganya yang bermasalah.
Namun, film-film remaja Indonesia setelahnya mulai menggeser fokusnya dari kelompok ke individu. Like & Share (Gina S. Noer, 2022) menyoroti persahabatan dua remaja putri dalam dunia digital yang semakin menantang, tanpa kehadiran struktur geng yang kuat. Posesif (Edwin, 2017) bahkan lebih ekstrem—alih-alih menampilkan dinamika kelompok, ia membawa kita ke dalam hubungan toksik antara dua individu, dengan sang protagonis perempuan terisolasi dari jaringan sosial yang lebih luas.
Pergeseran ini mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas. Di era media sosial, persahabatan tidak lagi beroperasi dalam struktur geng yang kaku, tetapi lebih fleksibel dan berbasis interaksi digital. Identitas remaja tidak lagi dibentuk oleh keanggotaan dalam geng, melainkan oleh bagaimana mereka membangun relasi dalam jaringan sosial yang lebih cair.
Bangunan Biner di Ruang Tumbuh Remaja: Femininitas vs. Maskulinitas
Meskipun AADC menampilkan geng remaja perempuan sebagai pusat cerita, film ini juga menciptakan oposisi biner yang cukup mencolok. Satu-satunya geng lain yang mendapat porsi cukup signifikan dalam film ini adalah geng Borne—sekelompok siswa laki-laki yang sangat maskulin, kompetitif, dan mendominasi ruang sosial sekolah. Jika geng Cinta adalah lambang femininitas yang artistik dan ekspresif, maka geng Borne adalah sisi lain dari spektrum: agresif, dominan, dan penuh testosteron.
Karakter laki-laki yang tidak sesuai dengan maskulinitas tradisional justru diposisikan sebagai outsider. Rangga, si penyair eksistensialis, lebih sering ditemukan menyendiri dengan buku-bukunya ketimbang menjadi bagian dari kelompok sosial mana pun. Mamet, dengan gaya humor awkward-nya, juga tidak tergabung dalam geng besar dan sering kali menjadi objek lelucon.
Baca juga: ‘Belahan Jiwa’ yang ‘Camp’ dan Queer: Psiko-drama Progresif dari Dua Dekade Lalu?
Binerisasi ini bukan hanya terjadi dalam AADC. Film remaja Indonesia sering kali mengkotakkan pergaulan berdasarkan gender dengan sangat tegas. Geng perempuan di satu sisi, geng laki-laki di sisi lain, dan siapa pun yang tidak cocok dengan stereotip ini harus rela menjadi karakter yang “berjalan sendiri”.
Bebas dan Geng yang Lebih Cair, tapi… Cuma Nostalgia?
Tahun 2019, Bebas hadir sebagai reinterpretasi dari film Korea, Sunny (2011). Film ini menampilkan geng remaja putri yang sedikit lebih cair dibandingkan geng dalam AADC.
Salah satu anggota gengnya adalah seorang remaja laki-laki yang digambarkan sebagai gay—meski kata ini terasa sangat dihindari oleh film sendiri. Ini menarik karena menantang pengelompokan geng berdasarkan gender yang selama ini dominan dalam film remaja Indonesia.
Namun, ada satu ironi di sini. Bebas membingkai representasi geng ini sebagai sesuatu yang bersifat “nostalgia”. Film ini berlatar tahun 1990-an dan dibungkus dengan sentuhan sentimental terhadap masa lalu.
Artinya, meskipun kita melihat geng yang lebih inklusif, narasi ini tidak dikemas sebagai sesuatu yang mencerminkan pergaulan remaja di era sekarang. Dengan kata lain, sinema Indonesia masih belum banyak mengeksplorasi representasi geng SMA yang benar-benar otentik dan bernuansa kompleks di era modern.
Ke Mana Perginya Geng Remaja Putri?
Jika film remaja generasi 2000-an menjadikan geng sebagai pilar utama, maka film remaja kontemporer lebih memilih menggali dinamika individu dan hubungan yang lebih personal. Perubahan ini mungkin mencerminkan realitas sosial yang lebih kompleks: Persahabatan di era digital tidak lagi beroperasi dalam struktur geng yang ketat, melainkan dalam jaringan yang lebih fleksibel dan dinamis.
Namun, jika geng remaja putri di film semakin menghilang, apakah ini berarti format persahabatan kolektif seperti yang pernah populer di era AADC sudah tidak lagi relevan? Ataukah sinema Indonesia masih belum menemukan cara yang lebih segar untuk menampilkan geng remaja putri yang lebih otentik, bernuansa, dan sesuai dengan dinamika pertemanan masa kini?
Mungkin, Rangga & Cinta bisa memberi kita jawabannya—atau mungkin, kita hanya akan mendapatkan versi musikal dari pola yang sama.
