Bagaimana Islam Menilai ‘Childfree’? Sebuah Penjelasan Lengkap
Fenomena childfree dari sudut pandang Islam, harus mempertimbangkan faktor kebaikan dalam masyarakat.
Bahasan tentang memilih untuk childfree memang tidak ada habisnya, terlebih untuk masyarakat Indonesia yang suka kepo terhadap pasangan menikah. Ada yang menganggap memilih childfree menantang kodrat perempuan sebagai manusia yang memiliki rahim untuk hamil dan melahirkan. Namun di sisi lain, memilih tidak memiliki anak dipandang sebagai kesadaran orang yang enggan melahirkan dan mengasuh anak, daripada nantinya malah menelantarkan anak tersebut.
Akademisi bidang Tafsir, Nur Rofiah mengatakan, hangatnya isu childfree jadi kesempatan untuk merefleksikan diri dalam hubungan suami istri. Pasalnya, pilihan untuk memiliki dan tidak memiliki anak harus berdasarkan pada pertimbangan: Apakah keputusan itu menjadi jalan untuk membawa kebaikan bersama. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan amanah manusia sebagai khalifah yang membawa kemaslahatan di dunia dan ketakwaannya pada Tuhan.
Nur mengatakan, dalam pandangan masyarakat pilihan memiliki anak dengan jumlah yang banyak kerap dinilai sebagai lebih baik. Namun dalam Islam, pilihan yang nantinya diambil individu harus condong pada arah yang mampu membawa seseorang menjadi versi terbaik dirinya. Begitu pula dalam ikatan pernikahan untuk bersama-sama menjadi diri yang lebih baik sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Kemaslahatan yang dikehendaki Islam tidak hanya pada manusia sebagai individu, tetapi seseorang ataupun pasangan suami istri yang berbakti pada lingkungan sekitar.
“Karenanya, keputusan punya anak atau tidak itu lebih baik tentu bergantung pada dampak dari pilihan itu. Apakah dengan punya anak bisa menjadi tim untuk membawa kemaslahatan luas. Atau sebaliknya dengan punya anak semakin banyak kezaliman dilakukan, seperti kekerasan dalam rumah tangga,” ujarnya dalam diskusi ‘Childfree dan Childcare dalam Perspektif Islam’ oleh Lingkar Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam), (27/8).
Baca juga: Hormati Gita Savitri, Perempuan Memang Bebas Pilih Punya Anak atau Tidak
Berkaitan dengan hal tersebut, standar kualitas seseorang juga dinilai dari komitmen tauhid dan ketakwaan pada Tuhan sebagai mandat paling mulia menjadi manusia. Ketika ada tauhid kepada Tuhan, maka terdapat daya dorong untuk melahirkan kemaslahatan yang besar untuk sesama untuk melahirkan amal soleh atau tindakan baik kepada sesama manusia. Sebaik-baiknya manusia yang paling baik adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia, ujarnya.
“Keputusan childfree tidak hanya mempertimbangkan kebaikan internal, tapi juga eksternal. Sehingga menarik untuk merenungkan alasan childfree yang berkaitan erat dengan perusakan alam dan menjalankan komitmen tauhid sebagai manusia,” kata Nur.
Selain itu, tambahnya, isu childfree juga memiliki persamaan dengan orang yang memilih tidak menikah dengan alasan untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, ulama yang sengaja memilih untuk tidak menikah karena menilai keputusannya itu dapat membantu sesama tanpa melanggar kewajiban sebagai ayah-ibu maupun suami-istri.
“Seseorang yang lajang dan bertakwa, lebih baik dari pasangan suami istri yang tidak bertakwa. Sama halnya pasangan suami istri yang bertakwa lebih baik daripada orang single yang tidak bertakwa,” ujar Nur yang juga pendiri Lingkar Ngaji KGI tersebut.
Baca juga: Yang Lebih Penting dari ‘Childfree’: Hargai Pilihan Masing-Masing
Perempuan Bukan Objek Seksual
Nur juga mengatakan, gagasan tentang suami istri yang memilih untuk tidak mempunyai anak berkaitan erat dengan kesadaraan tentang kemanusiaan perempuan yang sering direndahkan. Secara historis, tidak hanya di Jazirah Arab pada zaman Rasul, tapi juga seluruh dunia, perempuan dipandang tidak secara manusiawi. Perempuan hanya dipandang sebagai makhluk fisik yang dinilai sebagai objek seksual dan seberapa menarik dirinya untuk laki-laki. Penilaian yang merendahkan perempuan ini pun juga masih berlanjut hingga era modern saat ini.
Cara pandang seperti itu tentunya dilekatkan pada istri yang dianggap sekadar alat pemuas nafsu seksual untuk suami. Akibatnya dalam tradisi masyarakat Jahiliyah, hubungan seksual suami dan istri disebut hanya untuk kepuasan suami, sementara pertimbangan perempuan apakah dia mengalami penderitaan atau tidak dianggap bukan sesuatu yang bernilai.
Selain itu, perempuan juga dianggap hanya sebagai alat reproduksi ketika laki-lai menginginkan keturunan. Di sisi lain, perempuan yang mengalami pengalaman khas, seperti hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui tidak dipertimbangkan. Kedudukan perempuan sebagai orang tua tidak diakui oleh masyarakat. Sejak saat lahir pun perempuan kerap menjadi objek kepemilikan laki-laki.
“Sejak lahir dia adalah milik ayahnya, walaupun anak laki-laki juga milik ayah ada perlakukan yang beda sekali karena dinilai lebih sebagai manusia. Sementara perempuan rentan untuk dijual ayahnya. Setelah menikah maka akan menjadi milik suaminya,” ujar Nur.
Baca juga: Investasi 3 Miliar dan Salah Fokus dalam Diskursus Soal Punya Anak
Oleh karena anggapan perempuan adalah milik mutlak laki-laki yang tidak mempunyai otoritas ke-tubuh-an, ketika perempuan mengalami marital rape, kerap dinilai sama anehnya dengan laki-laki yang mencuri di dompetnya sendiri. Ketika perempuan diperkosa oleh orang lain, ‘pembayaran denda’ diberikan oleh laki-laki yang memilikinya.
Nur melanjutkan, cara pandang seperti itu yang diubah oleh Islam dengan membangun kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa yang sama. Selain itu, jiwa itu tidak memiliki konsep gender kemudian bersama-sama diciptakan menjadi sosok fisik. Maka dari itu, konsep pernikahan dalam Islam memiliki tujuan untuk membawa ketenangan jiwa bagi dua pihak, suami dan istri. Ketenangan jiwa sebagai tujuan pernikahan mengingatkan bahwa dalam Islam tidak hanya tentang makhluk fisik, tapi antara dua jiwa.
“Ini juga mengingatkan pada betapa independennya manusia yang lahir dan mati. Ketika kembali pada Allah menjadi diri sendiri bukan istri, ibu, dan anak. Di akhirat keputusan manusia juga dipertanggungjawabkan secara individu di hadapan Tuhan,” kata Nur.
Sama halnya jika seseorang memutuskan menjadi istri dan memiliki anak, maka keputusan itu akan dipertanggungjawabkan sendiri dihadapan Allah. Hal ini kembali menekankan manusia yang diamanahkan membawa kebaikan untuk sesamanya. Karenanya, memiliki anak dalam Islam tidak seperti masyarakat Jahiliyah yang mengutamakan memiliki anak, khususnya laki-laki, sebagai aspek kebanggaan dan indikasi kehebatan seseorang.
“Dalam Islam tidak seperti itu. Maka diharapkan manusia sebagai makhluk non-fisik ketika memutuskan menikah atau menjadi orang tua adalah bagaimana caranya menjalani pilihan yang berpengaruh pada kehidupan kita dan bisa dipertanggungjawabkan pada Tuhan,” ujar Nur.
Selain itu, perkawinan dan membangun keluarga dalam Islam tidak boleh melunturkan ketubuhannya sebagai hamba Tuhan dan menguatkan kesadaran tersebut dalam setiap aksinya. Landasan moral dalam Islam adalah menyempurnakan akhlak manusia, termasuk perempuan.
“Karena Islam adalah proses yang terjadi terus menerus dan mengubah sistem zalim Jahiliyah, maka bisa melihat isu ini dengan fenomena childfree dan penggunaan sistem reproduksi ini. Islam meletakkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek penuh dan adil dalam perkawinan menuju kerahmatan semesta,” kata Nur.