Magdalene Primer: ‘Marital Rape’ dan ‘Consent’ dalam Pernikahan
‘Marital rape’ atau pemerkosaan dalam pernikahan sering tidak diakui masyarakat karena tubuh istri dianggap hak suami.
Dalam sebuah webinar anti-feminisme beberapa waktu lalu, salah satu pembicaranya mengatakan paham feminisme membawa bahaya di ranah keluarga karena menentang marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan. Feminisme, menurut pembicara tersebut, mengajarkan seorang istri untuk mampu mengkriminalisasi suaminya jika hubungan seksual terjadi tidak atas keinginannya.
Bagi sang pembicara, melaporkan suami atas hal tersebut tidak seharusnya dilakukan dalam pernikahan. Contoh lain yang ia anggap berbahaya ialah konsep consent yang disalahartikan sebagai hasrat seks bebas.
Apa Definisi Marital Rape
Secara terminologi, marital rape berarti pemerkosaan dalam pernikahan. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), marital rape dalam perspektif korban merupakan kekerasan terhadap istri dalam bentuk persetubuhan paksa dengan cara tidak manusiawi dan menyebabkan penderitaan.
Aktivis perempuan Suharti Mukhlas, yang juga mantan direktur Rifka Annisa Women Crisis Center, mengatakan marital rape mencakup segala aktivitas seksual yang dilakukan tanpa consent kepada pasangan yang menikah.
“Definisinya sama saja dengan pemerkosaan pada umumnya. Yang berbeda adalah lingkup kekerasannya, yaitu terjadi pada pasangan suami istri baik yang legal maupun tidak tercatat,” ujarnya kepada Magdalene (21/3).
Marital Rape dan Patriarki dalam Pernikahan
Pemikiran yang menyatakanbahwa pemerkosaan tidak mungkin terjadi dalam pernikahan sudah ada sejak dulu dan tersebar secara global. Pada abad ke-17, hukum umum Inggris atau English common law memberi sanksi atas pemerkosaan terhadap perempuan. Namun, ada pengecualian jika terjadi dalam pernikahan karena status suami-istri memberi ruang pembelaan untuk pelaku.
Hakim dan juri pada masa itu, Lord Matthew Hale bahkan mengatakan: “Suami tidak bisa dituduh bersalah atas pemerkosaan kepada istri sahnya, karena ada consent yang mutual dan kontrak, istri telah memberikan dirinya kepada suami yang tidak bisa ditarik kembali.”
Michelle J. Anderson, akademisi Brooklyn College yang fokus pada hukum pemerkosaan, dalam buku Marital Rape: Consent, Marriage, and Social Change in Global Context menekankan nilai patriarki yang mengakar dalam ikatan pernikahan juga memperkuat pemahaman pemerkosaan tidak bisa terjadi dalam ikatan pernikahan.
Tubuh seorang perempuan dinilai sebagai komoditas yang dimiliki suaminya ketika menikah, dan hal ini memunculkan relasi kuasa yang timpang dalam sebuah hubungan. Nilai ini kemudian menghapus otonomi tubuh dan seksualitas seorang perempuan atas dirinya sendiri. Penolakan itu semakin diperkuat dengan asumsi yang menjamin consent atau persetujuan sudah diberikan secara utuh ketika seseorang telah menikah. Banyak juga yang mengelak terjadinya marital rape karena mengasumsikan pemerkosaan hanya terjadi di luar ikatan pernikahan.
Suharti mengatakan, setiap kasus kekerasan seksual berbasis gender selalu dipengaruhi budaya patriarki dan bias gender dalam masyarakat. Faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah ketidakpahaman atas hak seksual dan reproduksi dan konsep maskulinitas toksik yang menilai laki-laki semakin “jago” jika mampu menundukkan perempuan.
“Survei yang dilakukan Rifka Annisa juga menemukan alasan yang digunakan laki-laki dalam melakukan kekerasan seksual adalah karena mereka merasa memiliki hak atas pasangannya,” ujarnya.
Marital Rape Timbulkan Trauma
Majalah Time pernah menulis soal kasus marital rape yang terjadi pada seorang perempuan di Indiana, AS, pada 2015. Perempuan ini tidak sadar diperkosa oleh suaminya saat sedang tidur, setelah diberi obat tidur yang dicarikan. Suatu hari ia menemukan rekaman suaminya melakukan tindakan kekerasan seksual itu dalam galeri ponselnya. Dengan segera ia menceraikan suaminya, tetapi butuh waktu lama untuk menyadari perbuatannya adalah marital rape.
Karena tidak memberi consent untuk segala aktivitas seksual itu, maka tindakan tersebut tergolong sebagai pelecehan dan kekerasan seksual. Sayangnya, saat di pengadilan, tidak ada penyelesaian yang tegas tentang kasus kekerasan seksual itu. Korban malah diminta untuk memaafkan pelaku.
“Selama ini pemerkosaan terhadap istri tidak diakui karena dianggap sebagai kewajiban istri terhadap suami,” ujar Suharti.
Padahal, seperti halnya pemerkosaan di luar pernikahan, kejahatan itu menimbulkan luka fisik dan mental, termasuk trauma.
Riset Marital Rape: New Research and Directions yang dipublikasikan National Resource Center on Domestic Violence di AS menyebutkan dampak fisik yang diterima korban berupa luka di area vagina, anal, lebam, dan otot yang sobek. Korban pemerkosaan yang juga menerima pemukulan memiliki luka sayatan pada tubuh akibat penggunaan senjata tajam, patah tulang, mata lebam, dan hidung patah. Dampak lebih lanjut, korban mengalami infeksi kandung kemih, keguguran kandungan, kehamilan yang tidak direncanakan, dan tertular penyakit seksual.
Secara mental, korban marital rape mengalami trauma, gangguan kecemasan, depresi, post traumatic stress disorder (PTSD), serta keinginan dan melakukan bunuh diri. Marital rape tergolong sebagai aksi kekerasan yang serius karena suami menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi dan menindas istrinya.
Penelitian yang sama juga menuliskan tidak semua korban marital rape mengalami pemukulan, tapi perempuan yang menerima pemukulan memiliki kesempatan yang tinggi menjadi korban pemerkosaan dalam pernikahan.
Marital Rape dalam Hukum di Indonesia
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pemerkosaan diatur dalam Pasal 285 yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Meski demikian, regulasi tersebut belum mengatur tentang pemerkosaan dalam pernikahan. Mengutip dari hukumonline, marital rape mendapat perhatian setelah diterbitkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 5 menekankan kekerasan dimaknai sebagai perbuatan yang menimbulkan penderitaan secara seksual dalam rumah tangga. Sementara dalam Pasal 46, pelaku kekerasan tersebut dipidana penjara paling lama 12 tahun dan menerima denda paling banyak Rp36 juta.
Namun, UU PKDRT, menurut Suharti, tidak mengatur secara tegas adanya marital rape, hanya mengatur kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.
“Ini karena perspektif masyarakat yang masih menganggap marital rape tidak diakui sebagai pemerkosaan,” ujarnya.
Pemerkosaan dalam Rumah Tangga Dilihat dari Perspektif Islam
Dalam khotbah pernikahan, tidak jarang kita mendengar ucapan hubungan seksual adalah hak suami dan kewajiban istri. Banyak tokoh agama juga sering mengutip sebuah hadis yang menyatakan bahwa istri yang menolak ajakan hubungan seksual dari suami akan dilaknat malaikat sampai subuh.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan, kesalahan dalam mengartikan atau memahami hadis akan menimbulkan kerugian untuk gender atau pihak tertentu.
“Ketika membaca atau mendengarkan sebuah hadis, kita tidak bisa memahaminya secara tekstual saja. Kita harus memahami konteks bahasa, sebab turunnya dan kondisi sosial pada masa itu,” ujarnya kepada Magdalene dalam wawancara Januari lalu.
Hadis tentang menolak melakukan hubungan seksual akan menerima laknat malaikat harus dipahami secara penggunaan bahasa, kata Alimatul. Ia mengatakan kata “ajakan” dari suami harus dipahami dengan ucapan baik, sopan tanpa memaksa, dan istri sedang tidak menstruasi atau mengalami hal lainnya.
Dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual”, Alimah memaknai laknat tersebut sebagai suatu hal yang tidak menyenangkan. Laknat itu juga tidak akan terjadi jika terjadi pemaksaan dalam hubungan tersebut.
Alimatul menekankan jika melihat hadis tersebut sebagai kewajiban istri, hak suami, maka perlu kembali merujuk ke Al-Qur’an dan hadis lain yang egaliter dalam hubungan seksual.
“Kalau sudah diteliti kesahihannya tapi menimbulkan kerugian pada jenis kelamin tertentu, maka menurut saya perlu interpretasi ulang dan dikaji dengan komprehensif,” ujarnya.
“Feminisme mengakui otonomi tubuh perempuan karena pernikahan bukan istri adalah kepunyaan suami. Tapi saling memiliki. Tidak bisa dipahami dengan landasan tekstual tubuh perempuan adalah milik suami yang berhak melakukan pemukulan atau pemerkosaan.”
Ilustrasi oleh Karina Tungari