December 5, 2025
Issues Safe Space

Diam juga Kekerasan: Pengalaman Saya Jadi Pelaku dan ‘Bystander’ Perundungan

Timothy Anugerah, mahasiswa Udayana mungkin takkan meninggal jika orang-orang sekitarnya enggak jadi bystander yang menormalisasi kekerasan.

  • October 23, 2025
  • 7 min read
  • 2515 Views
Diam juga Kekerasan: Pengalaman Saya Jadi Pelaku dan ‘Bystander’ Perundungan

*Peringatan pemicu: Gambaran cerita perundungan dan bunuh diri. 

Beberapa hari terakhir, linimasa kita ramai dengan berita duka Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana. Ia ditemukan meninggal dunia pada (15/10), setelah melompat dari gedung kampus. Sejumlah media melaporkan, kematian Timothy dipicu oleh perundungan di kampusnya. Kabar itu diikuti tangkapan layar percakapan grup WhatsApp kampus yang mengejek kematiannya. 

Kabar kematian Timothy menyoroti kembali persoalan perundungan di lingkungan pendidikan. Kasus serupa sebelumnya juga pernah terjadi di berbagai jenjang, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Peristiwa ini menambah daftar kasus kekerasan dan perundungan yang masih ditemukan di dunia pendidikan Indonesia. 

Buatku pribadi, kisah Timothy bagai luka yang masih basah. Kisahnya relate karena aku pernah berada di dua sisi: Korban dan pelaku tidak langsung

Baca juga: Adakah Jalan Keluar untuk Setop Perundungan Pendidikan Dokter Spesialis? 

Pengalamanku Jadi ‘Bystander’ Perundungan 

Aku masih ingat jelas masa sekolah dasarku. Saat itu, di pertengahan semester, datang seorang murid baru, sebut saja “Jessica”. Ia adalah sosok primadona sekolah seperti yang sering kubaca di buku-buku teenlit: Cantik, cerdas, dan memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik. 

Awalnya, kedatangan Jessica tak membawa masalah apa pun. Kami hanya teman sekelas. Bahkan sebagian besar dari anak-anak kelas, termasuk aku, diam-diam mengaguminya. 

Namun perlahan, suasana kelas berubah. Kekaguman itu bergeser menjadi rasa iri, ketidaksukaan, dan kebutuhan aneh untuk “menormalkan” seseorang yang berbeda. 

Perundungan terhadap Jessica dimulai dari hal-hal kecil. Mulai dari tatapan sinis, ejekan pelan, hingga isolasi sosial. Teman-teman sekelas mulai menjauhinya, membentuk lingkaran pertemanan yang tak lagi menerima kehadiran dia. 

Setelah mengisolasi, level kekerasan terhadap Jessica pun meningkat. Tasnya mulai dicoret-coret spidol, sandal untuk salat dan sepatunya disembunyikan, bahkan pernah diceburkan ke got. Air minumnya pernah dicampur garam. Aku masih bisa membayangkan ekspresinya, antara malu dan bingung, setiap kali insiden itu terjadi. 

Kalau kuingat lagi, betapa tak masuk akalnya semua kejadian itu. Bayangkan, kekerasan demi kekerasan dilakukan oleh anak-anak SD. Anak-anak yang katanya masih polos, tapi ternyata bisa menjadi kejam tanpa benar-benar memahami apa yang mereka lakukan. 

Realita sini bahkan sempat terpotret dalam data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menurut laporan mereka, selama Januari hingga Juli 2023, sebanyak 50 persen kasus perundungan terjadi di tingkat SD (25 persen) dan SMP (25 persen). 

Ibu Jessica sempat datang ke sekolah untuk melapor, tapi tak ada hasil. Para pelaku perundungan dipanggil, namun mereka seolah bisa mengelabui guru dengan tatapan dan tingkah sok polos. Pada akhirnya, tak ada sanksi yang diberikan, tak ada tindak lanjut yang dilakukan. Salah satu pelaku bahkan tertawa puas, seolah mengejek ia bisa memanipulasi sistem dan lolos dari tanggung jawab. 

Di tengah semua itu, aku masih berteman dengan Jessica. Aku tidak ikut merundungnya. Aku justru senang berbincang dengannya karena Jessica selalu punya cara membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Namun perlahan, aku mulai merasakan tekanan. 

Para pelaku mulai memandangku dengan tatapan curiga hanya karena aku “terlalu dekat” dengan korban. Mereka menjauh. Isolasi sosial mulai terasa, dan aku tahu apa artinya: Aku akan jadi target berikutnya. Di situlah aku menyerah. Aku berhenti bicara pada Jessica. Aku menjauh. Aku mencoba bergabung dengan lingkaran pertemanan para perundung agar bisa merasa aman. 

Sejak saat itu, aku bukan lagi temannya. Aku menjadi bystander — penonton yang menutup mata, menutup telinga, dan menipu diri sendiri dengan kalimat: “Ini bukan urusanku.” 

Baca juga: Jangan Tunggu Anak Mati Dulu Baru Kita Bicara Moral

Ketika Diam Tak Lagi Aman 

Awalnya aku pikir diam berarti aman. Namun aku salah besar. Dalam lingkungan yang menormalisasi perundungan, diam ternyata bukan jalan keluar. Para perundung tidak akan berhenti hanya karena satu korban pergi; mereka akan mencari korban baru. Mereka selalu menemukannya. 

Aku masih ingat satu momen yang terus menghantuiku sampai sekarang. Saat itu Jessica sedang diejek, dan semua orang tertawa. Aku ikut tertawa, bukan karena lucu, tapi takut. Aku tahu kalau tidak ikut tertawa, aku akan menjadi target berikutnya. Aku menertawakan sesuatu yang menyakitkan hanya untuk menyelamatkan diriku sendiri. Di detik itu, aku menjadi monster yang sama seperti mereka. 

Tak sampai kelulusan, Jessica pun pindah sekolah. Aku pikir semuanya akan selesai setelah kepergiannya, tapi ternyata aku salah besar. Di Sekolah Menengah Pertama, aku justru menjadi target baru perundungan. Banyak dari teman SD-ku melanjutkan ke sekolah yang sama. Mereka masih membawa cara pikir yang sama. Aku menjadi korban dari sistem yang dulu kubiarkan hidup. 

Sebagai bystander aku tidak sendiri. Ada banyak murid lain yang juga melihat perundungan, tapi terus berusaha menutup mata dan telinga. Ada pula para guru dan orang tua yang mencoba “mendamaikan” pelaku dan korban. 

Aku teringat kalimat putus asaku saat mengadu kepada wali kelas tentang perundungan yang kualami. Bukannya langsung menegur para pelaku, guru justru mempertemukanku dengan mereka. Tentu saja, trik murahan itu dimainkan lagi. Mereka bersembunyi di balik topeng polos anak SMP yang katanya “cuma bercanda”. Maka tidak heran, siklus kekerasan terus langgeng karena tak ada satu pun, bahkan guru, yang berani menghentikannya. 

Christina Salmivalli dari Universitas Turku pernah menjelaskan, perundungan bukan sekadar tindakan individu antara pelaku dan korban, melainkan fenomena kelompok di mana respons bystander secara langsung memengaruhi frekuensi dan intensitas perundungan. 

Dengan melibatkan 6.764 anak SD kelas 3 hingga 5, penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology (2011) menunjukkan ketika siswa membela korban, frekuensi perundungan menurun. Namun ketika sebagian besar bystander justru menguatkan pelaku, dengan tawa atau sorakan, perundungan meningkat. 

Lebih jauh lagi, ada program anti-perundungan komprehensif bernama Program Olweus, yang digagas psikolog Don Olweus. Program ini secara tegas menolak keberadaan bystander dalam perundungan dan menekankan pentingnya mengajarkan siswa menjadi upstander — pembela. Sebagai upstander, siswa harus berani memberi tahu orang dewasa ketika melihat perundungan, menjadi teman bagi korban, dan yang terpenting, menegur pelaku bahwa tindakannya salah. 

Namun sebelum mengajari anak-anak untuk bisa membela diri sendiri dan orang lain, orang dewasa di sekitar mereka juga harus belajar menjadi agen aktif. Karena itulah, dalam Program Olweus, intervensi sekolah dilakukan secara sistematis dengan menargetkan seluruh ekosistem: Guru, siswa, dan orang tua. Aturan tegas tentang perundungan harus dibuat. Guru perlu dilatih agar aktif menangani kasus perundungan, dan keluarga harus terlibat secara konsisten. 

Sayangnya, banyak orang dewasa masih menanggapi perundungan dengan kalimat, “Sudah, damai saja,” atau “Namanya juga anak-anak.” Padahal, sikap mendamaikan tanpa konsekuensi membuat pelaku merasa aman dan korban merasa tak berharga. Akibatnya, perundungan menjadi budaya, bukan lagi insiden. 

Baca juga: Tak Kunjung Minta Maaf: Menteri Agama Gagal Paham soal Kekerasan Seksual 

Keberanian yang Terlambat Datang 

Dari kasus Jessica hingga Timothy, aku semakin paham bahwa diam berarti membiarkan kekerasan tumbuh. Mulai hari ini, jika ada seseorang yang dirundung di kelas, di kampus, atau di tempat kerja, jangan berpaling. Jangan berpura-pura tidak tahu. Tanyakan apakah mereka baik-baik saja. Laporkan. Berdirilah di samping korban, bukan di belakang pelaku. 

Aku sering berpikir, seandainya dulu aku tidak diam, mungkin Jessica tidak perlu pindah sekolah dengan air mata. Seandainya para teman Timothy tidak memilih bungkam, mungkin ia masih hidup hari ini. 

Kadang, keberanian kecil, seperti menolak ikut tertawa, menegur teman, atau sekadar menemani korban, sudah cukup untuk memutus rantai kekerasan. Sebab, di dunia yang terbiasa diam, keberanian sekecil apa pun bisa menyelamatkan hidup seseorang. 

Jika kamu atau orang terdekatmu merasa membutuhkan bantuan kesehatan mental, langsung hubungi layanan online konseling gratis ini JakCare 0800-1500-119 atau aplikasi JAKI. Bisa diakses 24 jam di seluruh Indonesia.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.