Ironi di Hari Sumpah Pemuda: Sejarahnya Dirayakan, tapi Anak Mudanya Ditahan
Pagi itu, (28/10), bendera merah putih berkibar di halaman Museum Sumpah Pemuda. Kamera jurnalis Garuda TV menyorot wajah-wajah pejabat berbatik Korpri biru, berdiri khidmat di bawah langit Jakarta. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, inspektur upacara, naik ke podium dan memulai sambutannya. Ia bicara tentang semangat pemuda 1928—yang katanya berani, bersumpah, dan menepati janji tanpa banyak bicara.
“Dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda, seluruh masyarakat Indonesia mengenang perjuangan para pemuda tahun 1928 yang tidak banyak bicara, berani, bersumpah dan menepatinya dengan darah dan nyawa,” kata Fadli dilansir dari Garuda TV.
Ia menambahkan, dunia kini bergerak cepat, zaman berat, tapi pemuda harus tetap tangguh. “Kita tak boleh takut karena kita harus percaya di setiap kampung, di setiap kota masih ada anak muda Indonesia yang jujur, tangguh, dan berani,” lanjutnya.
Ironisnya, di luar puja-puji pada anak muda di upacara, ratusan anak muda di Tanah Air justru ditahan oleh negara.
Baca juga: Terbentur-bentur Lalu Terbentuk: Kisah Perempuan Muda Pejuang Isu Gender
Anak Muda Kritis Dimusuhi Negara
Hingga berita ini ditulis, aktivis Delpedro Marhaen, masih mendekam dalam selnya sejak ditangkap pasca-demonstrasi menolak kekuasaan Prabowo-Gibran akhir Agustus lalu. Permohonan praperadilannya pun ditolak sepenuhnya oleh majelis hakim.
Berkaca dari kasus Delpedro inilah, Balqis Zakiyyah, perwakilan Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi (GMLK), menilai ucapan Fadli hanya lip service. Ia bilang, realitas di lapangan justru menunjukkan pemerintah takut pada pemuda yang kritis.
“Sebagai orang muda, kami justru merasa jadi korban kesewenang-wenangan penyelenggara negara. Ketika kami melawan, kami justru dikriminalisasi. Padahal, bukankah itu inti dari semangat sumpah pemuda? Melawan ketidakadilan,” ujarnya kepada Magdalene (27/10).
Faktanya, dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 962 orang yang ditangkap, ditahan, atau dijadikan tersangka setelah demonstrasi 29 Agustus. Jumlah itu disebut tertinggi sejak Reformasi 1998.
“Negara sedang mempertontonkan represi secara terang-benderang,” kata Balqis. “Bahkan lembaga yudikatif (hakim) juga ikut menekan orang muda.”
Ia menyinggung penolakan praperadilan empat aktivis — Delpedro, Khariq Anwar, Muzaffar Salim, dan Syahdan Husein — oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (27/10). Hakim menilai penetapan tersangka mereka sah secara hukum, dengan dua alat bukti cukup. Artinya, status mereka sebagai tersangka tetap berlaku.
Di saat upacara kenegaraan menyanjung semangat Sumpah Pemuda, negara yang sama justru menahan orang muda yang berani menghidupkannya.
Baca juga: Bagaimana Gen Z Motori Perubahan di Nepal: Pelajaran Penting buat Indonesia
Harapan Kecil di Tengah Pembungkaman
Meski represi makin gencar, Balqis tak mau kehilangan harapan. Menurutnya, dari setiap penangkapan dan intimidasi, ada kesadaran baru yang tumbuh di kalangan anak muda.
“Selalu ada harapan menurutku, sekecil apapun itu. Teman-teman muda di media sosial justru jadi semakin aware dengan politik Indonesia dan itu menjanjikan,” katanya. “Aku yakin enggak cuma GMLK aja, di berbagai daerah teman-teman muda juga aktif bergerak lewat medium apapun.”
Ia mencontohkan aksi besar akhir Agustus lalu yang diikuti banyak anak muda. Setelah aksi itu, lingkar diskusi dan ruang belajar politik bermunculan di kampus, kafe, bahkan komunitas daring. “Harapan itu tumbuh ketika kesadaran muncul. Dan ketika kesadaran muncul, mereka ikut bergerak,” tambahnya.
Pendapat serupa disampaikan Annisa Beta, Dosen Ilmu Budaya di University of Melbourne. Menurutnya, represi hari ini justru bisa jadi titik balik seperti masa penjajahan dulu.
“Kalau bisa kita lihat, ini hal yang sama persis dengan yang dilakukan oleh pemuda-pemuda di tahun 1900-an. Aktivis sekarang sedang melawan bentuk represi yang mirip dengan penjajahan waktu itu,” ujarnya. “Kalau mereka ditolak, justru itu akan memicu gerakan orang biasa untuk semakin bergerak.”
Bagi Annisa, kerja kecil orang muda hari ini—dari turun ke jalan hingga sekadar berdiskusi—adalah bentuk perjuangan yang kelak berbuah besar.
“Kerja-kerja orang biasa di bawah represi akan ada efeknya 10 atau 20 tahun lagi. Kita tidak boleh berhenti meningkatkan kesadaran politik,” tegasnya.
Kini, ketika negara kembali mengulang pola lama—memuji pemuda sambil menekan mereka—peringatan Sumpah Pemuda seolah kehilangan makna sejatinya.
Di 1928, para pemuda menentang kekuasaan kolonial. Di 2025, mereka menentang represi negara yang mengaku merdeka.
Dan mungkin, seperti kata Balqis, pemaknaan Sumpah Pemuda paling relevan hari ini adalah melawan otoritarianisme yang sama, hanya dengan wajah yang berbeda.
















