November 11, 2025
Issues Opini

Saatnya Jujur pada Anak tentang Kemiskinan Struktural, Bukan Lagi Dongeng

Di negeri tempat 60 keluarga menguasai hampir separuh tanah, saatnya mengajarkan anak soal keadilan sosial yang sesungguhnya di luar “kerja keras pasti berbuah hasil”.

  • October 28, 2025
  • 5 min read
  • 1683 Views
Saatnya Jujur pada Anak tentang Kemiskinan Struktural, Bukan Lagi Dongeng

Di banyak ruang keluarga Indonesia, kemiskinan masih diceritakan seperti dongeng moral. Selalu ada si miskin yang tabah, si kaya yang dermawan, dan pesan penutup penuh wejangan: “Bersyukurlah, Nak. Kerja keras pasti berbuah hasil.” Kita menaburkan sugar coating di atas kenyataan sosial yang getir. Seolah kemiskinan hanya soal nasib, bukan hasil sistem yang menumpuk kekayaan di tangan segelintir orang.

Anak saya pernah bertanya kenapa tidak semua anak sekolah bisa mengakses internet. Baginya, internet adalah kebutuhan yang seharusnya mudah didapat semua orang. Pertanyaan sederhana itu membuka percakapan yang lebih besar, tentang bagaimana kita selama ini mengajarkan ketimpangan sosial kepada anak-anak. Padahal, mereka tidak butuh dongeng manis. Mereka butuh kejujuran yang membentuk empati dan kesadaran kelas sosial.

Dan kejujuran itu dimulai dari mengakui betapa dalamnya ketimpangan di negeri ini. Pada Juli 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang sekaligus Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, mengungkapkan fakta yang menampar logika keadilan kita. Sebanyak 48 persen dari 55,9 juta hektar tanah bersertifikat di Indonesia hanya dimiliki oleh 60 keluarga. Bayangkan, enam puluh keluarga saja—jumlah yang bisa muat dalam dua gerbong KRL—menguasai hampir separuh lahan negeri yang dihuni 270 juta jiwa. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, tapi ketimpangan struktural yang turun-temurun. Dan seperti kebanyakan ketimpangan, ia dinormalisasi sebagai “warisan keluarga”, “hak investasi”, atau “efisiensi ekonomi”. Di sisi lain, jutaan keluarga masih hidup di tanah sewaan, di rumah kontrakan dengan genting bocor.

Baca Juga: Jeratan ‘Pinjol’ dan ‘PayLater’: Cerita Ketimpangan Finansial dalam Hidup Queer

Namun, buku pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau IPS di sekolah hanya memberi penjelasan normative tentang kemiskinan yang terjadi karena kurangnya pendidikan dan keterampilan. Tidak ada bab tentang bagaimana kebijakan pertanahan atau pajak korporasi menciptakan jurang sosial. Struktur disembunyikan di balik moralitas individual. Itulah sugar coating paling rapi, dengan mengubah masalah sistem menjadi persoalan individu.

Dalam seminar “Kemerdekaan Perempuan: Bangkit, Berdaya, Berkarya” yang diselenggarakan Sanggabiz bersama BPPM Equilibrium di UGM Agustus 2025, Sakti Mutiara dari program Titik Temu menegaskan pentingnya kemerdekaan finansial bagi perempuan. Ia mengatakan bahwa karya adalah warisan, sebuah bentuk eksistensi yang membuat hidup lebih panjang dari usia biologis. Pesan itu indah, meski belum menyentuh perempuan adat, perempuan nelayan, atau perempuan miskin kota. Di luar gedung seminar, perempuan masih berjuang di pasar-pasar dari Medan sampai Makassar, dari Banjarmasin hingga Bekasi—menjual tenaga, waktu, dan kesabaran tanpa jaminan kesejahteraan. Kata “kemerdekaan finansial” terdengar lantang di podium, tapi di pasar dan rumah tangga miskin kota, gagasan itu bahkan tidak sampai.

Baca Juga: Jualan Kemiskinan Melulu, Giring Mesti Malu?

Empati bukan kasihan

Anak-anak tidak perlu diajari merasa kasihan, namun mereka perlu belajar memahami sebab atau kausalitas. Bedanya sederhana tapi punya efek besar: belas kasihan berhenti di donasi, pemahaman bergerak menjadi perubahan. Kita bisa mulai dengan mengajak anak mengamati lingkungan sosialnya.

Mengapa di satu kompleks ada kolam renang pribadi, sementara lima kilometer dari sana anak-anak belajar di rumah semi permanen beratap seng bocor? Mengapa pekerja yang bangun pukul empat pagi membersihkan jalan tidak bisa menabung untuk beli rumah?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menumbuhkan empati yang berakar pada kesadaran kelas, bukan sekadar rasa iba. Dan ketika anak bertanya, “Kenapa, Ayah? Kenapa begitu?”, jangan jawab dengan “Karena nasib orang berbeda-beda.” Katakan dengan jujur, “Karena kebijakan yang tidak adil membuat kesempatan tidak sama untuk semua orang.” Itu bukan indoktrinasi, melainkan latihan berpikir kritis sejak dini.

Masyarakat kita sangat percaya pada mitos meritokrasi, yakni gagasan bahwa siapa pun bisa sukses asal bekerja keras. Padahal, banyak orang bekerja keras sepanjang hidup tanpa pernah cukup punya dana untuk membayar sewa rumah di kota tempat mereka bekerja. Dalam masyarakat seperti ini, “kerja keras” berubah menjadi slogan, bukan solusi. Ia dipakai untuk menenangkan hati yang tidak nyaman melihat ketidakadilan. Pelan-pelan, sugar coating itu menumpulkan kepekaan sosial kita, bahkan pada anak-anak yang seharusnya diasah pola pikir kritisnya sejak dini.

Mengajarkan anak tentang kelas sosial bukan menanam kebencian. Sebaliknya, itu adalah latihan keadilan, untuk membantu mereka memahami bahwa setiap orang berangkat dari posisi berbeda. Anak-anak perlu tahu bahwa dunia tidak netral, tapi manusia bisa membuatnya lebih adil. Kita bisa mengajarkan lewat cerita dan fakta, bukan moralitas semu. Bukan kisah “si miskin yang sabar” atau “si kaya yang dermawan”, tapi kisah tentang perjuangan, kebijakan, dan keberanian menuntut perubahan.

Ajak anak memikirkan ulang makna kemerdekaan. Apakah merdeka berarti bisa bekerja di mana saja, atau punya hak yang sama untuk hidup layak? Apakah berdaya berarti bisa membeli, atau bisa menentukan arah hidup tanpa ditindas sistem? Dengan cara itu, anak belajar berpikir sosial, sebuah kemampuan yang semakin langka di era yang terlalu sibuk membentuk “individu sukses”.

Baca Juga: Di Balik Milenial ‘Childfree’: Ada Masalah Struktural Ekonomi yang Jarang Dibahas

Kemerdekaan sejati bukan kemampuan menyesuaikan diri dengan sistem yang timpang, tetapi keberanian untuk mempertanyakannya. Barangkali, pelajaran paling penting untuk anak-anak bukan “cara menjadi sukses”, melainkan “mengapa kesuksesan tidak terbagi adil.”

Mengajarkan anak tentang kemiskinan struktural berarti mengajak mereka melihat dunia tanpa pemanis buatan. Artinya, menolak menjadikan ketimpangan sebagai takdir dan mulai memandangnya sebagai hasil keputusan manusia, yang bisa diubah oleh manusia juga. Di negeri di mana 60 keluarga menguasai hampir separuh tanah, mengajarkan anak bahwa semua orang punya peluang sama hanyalah sugar coating dalam bentuk dongeng moralitas. Dan gula, kalau dikonsumsi terus-menerus, membuat kita mati perlahan—bukan karena kenyang, tapi karena kehilangan kepekaan.



#waveforequality
About Author

Foggy FF

Foggy FF adalah novelis dan cerpenis, aktif berkampanye tentang isu kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan.