December 5, 2025
Lifestyle Opini

Kenapa Perempuan Masih Jarang Ikut Maraton?

Semakin panjang jarak lomba lari, semakin sedikit peserta perempuan. Kenapa partisipasi perempuan dalam olahraga lari jarak jauh masih timpang, dan apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?

  • November 2, 2025
  • 5 min read
  • 695 Views
Kenapa Perempuan Masih Jarang Ikut Maraton?

Beberapa tahun terakhir, lari menjadi gaya hidup populer di Indonesia. Di berbagai kota, mulai dari Jakarta sampai Makassar, orang-orang dari berbagai usia dan latar belakang turun ke jalan di Minggu pagi, mengenakan jersey lomba dan sepatu terbaiknya. Pada 2024 saja, ada lebih dari 400 lomba lari yang digelar di seluruh Indonesia, mulai dari ajang lokal hingga internasional seperti Mandiri Jogja Marathon, Borobudur Marathon, Jakarta International Marathon, hingga Maybank Bali Marathon.

Namun di balik antusiasme tersebut, ada satu pola yang menarik sekaligus mengkhawatirkan: semakin panjang jarak lomba, semakin sedikit jumlah peserta perempuan. Di Jakarta Running Festival 2025, perempuan mendominasi kategori 5K (51 persen). Tapi saat jarak bertambah, proporsinya menurun drastis. Di kategori 10K, hanya 41 persen peserta adalah perempuan. Di half marathon, jumlahnya turun lagi menjadi 25 persen, dan di full marathon, angka partisipasi perempuan hanya 9,5 persen. Pola ini tidak hanya muncul di Jakarta, tapi juga di berbagai lomba lari besar lainnya di Indonesia.

Sebelum lanjut, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini tidak bermaksud menyatakan bahwa berlari lebih jauh berarti lebih hebat. Banyak pelari, termasuk atlet profesional, fokus di jarak pendek dan menunjukkan kemampuan luar biasa di sana. Tapi dalam konteks ini, angka-angka jarak digunakan untuk melihat pola dan mencoba memahami mengapa perempuan masih sangat sedikit di kategori lari jarak jauh.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Apa yang membuat perempuan cenderung absen di kategori lomba yang lebih panjang?

Baca juga: Tren Fotografi Lari: Ada Peluang Ekonomi, Ada Pelanggaran Privasi

Beban waktu, rasa aman, dan ruang yang tidak ramah

Ada banyak faktor yang membuat partisipasi perempuan menurun pada jarak yang lebih jauh.

Salah satu hal paling mendasar adalah cara kita menyosialisasikan aktivitas fisik sejak kecil. Anak laki-laki didorong bermain bola, panjat pohon, dan olahraga tim, sementara anak perempuan diarahkan ke permainan yang lebih “tenang” dan “feminine” seperti boneka atau masak-masakan. Olahraga dianggap ranah maskulin, dan ini berdampak panjang. Akibatnya, banyak perempuan tumbuh dewasa tanpa merasa olahraga adalah bagian penting dari keseharian mereka.

Masalah berikutnya adalah waktu. Maraton bukan hanya soal niat dan sepatu bagus, tapi juga waktu latihan yang konsisten dan cukup intensif. Untuk bisa mengikuti lomba marathon, seseorang perlu latihan minimal 4–6 kali seminggu, masing-masing sesi berdurasi satu hingga dua jam, selama 4–6 bulan. Artinya, partisipasi dalam olahraga ini sangat ditentukan oleh siapa yang punya waktu luang untuk berlatih.

Dan di sinilah ketimpangan muncul. Banyak perempuan, terutama yang bekerja di luar rumah, harus membagi waktu antara pekerjaan formal dan urusan rumah tangga. Beban ganda ini membuat mereka kesulitan menyediakan waktu latihan yang konsisten. Sebaliknya, banyak laki-laki tidak dibebani ekspektasi kerja domestik, sehingga punya fleksibilitas waktu lebih besar untuk latihan.

Masalah lainnya adalah rasa aman. Latihan lari sering dilakukan di ruang publik seperti jalanan, trotoar, atau taman kota. Tapi penelitian UN Women Indonesia dan Yayasan Pulih (2017) menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami pelecehan saat berada di ruang publik, terutama di pagi buta atau malam hari. Sementara laki-laki bisa dengan leluasa berlari sendirian, perempuan sering kali harus berlari berkelompok agar merasa aman. Tapi mengatur jadwal bersama orang lain tentu tidak selalu mudah, dan bisa jadi hambatan tersendiri.

Terakhir, komunitas lari yang didominasi laki-laki kadang justru menciptakan ruang yang tidak inklusif. Pace latihan yang terlalu cepat, candaan seksis, hingga minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan komunitas bisa membuat pelari perempuan merasa tidak nyaman atau tidak cukup “layak” untuk bergabung. Alih-alih merasa didukung, banyak perempuan merasa terasingkan dalam ruang yang seharusnya bisa memperkuat motivasi mereka.

Baca juga: Lari karena FoMO, Berbahayakah?

Membangun ruang yang setara dan aman

Kesenjangan partisipasi dalam olahraga ini sebenarnya hanyalah satu gejala dari struktur masyarakat yang belum setara. Tapi karena itu pula, solusi untuk mengatasinya harus bersifat lintas level, dari kebijakan hingga kebiasaan.

Pertama, dari sisi fasilitas. Pemerintah kota dan provinsi perlu memastikan ruang publik seperti taman, trotoar, dan jalur lari memiliki penerangan yang cukup, rambu aman, dan desain yang sensitif gender. Keamanan bukan cuma soal kriminalitas, tapi juga soal apakah ruang itu membuat perempuan merasa nyaman untuk beraktivitas fisik kapan pun mereka mau.

Kedua, komunitas lari punya peran penting dalam mendorong inklusivitas. Pemimpin komunitas bisa menciptakan lingkungan yang lebih ramah dengan memastikan variasi pace yang cocok untuk pemula, menyediakan ruang aman dari pelecehan, dan menampilkan lebih banyak pelari perempuan dalam peran-peran kepemimpinan. Langkah-langkah kecil seperti ini bisa membuat perbedaan besar dalam menciptakan rasa memiliki dan kenyamanan bagi anggota perempuan.

Terakhir dan paling penting, kita perlu mengubah budaya seputar kerja domestik. Selama perempuan terus dibebani tanggung jawab penuh atas urusan rumah tangga dan pengasuhan, mereka tidak akan punya waktu yang cukup untuk hal-hal yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan mereka sendiri. Membagi beban rumah secara adil bukan hanya soal keadilan gender, tapi juga soal memberikan perempuan ruang untuk berkembang, termasuk dalam bidang olahraga.

Baca juga: Lari adalah Olahraga Murah, ‘Flexing’-nya yang Bikin Mahal

Partisipasi perempuan dalam lari jarak jauh bukan sekadar soal siapa yang bisa mencapai garis finis lebih dulu. Ia mencerminkan siapa yang diberi waktu, ruang, dan rasa aman untuk berlatih dan berkembang. Perempuan jelas mampu berlari jauh, tapi pertanyaannya: apakah masyarakat kita sudah cukup memberi mereka tempat untuk berlari bebas?

Karena lari bukan hanya tentang otot dan napas. Ia juga soal struktur, dukungan, dan siapa yang dianggap pantas berada di garis start. Dan saat lebih banyak perempuan bisa mengambil posisi di sana, kita semua ikut bergerak menuju masyarakat yang lebih setara.

Cantyo Atindriyo Dannisworo adalah pengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Cantyo Atindriyo Dannisworo