Kisah Asep Relawan ‘Caregiver’: Kesembuhan Pasien Jadi Kebahagiaan Saya
Selama lima hari, Asep, 32, mendampingi ustaz yang menderita hernia. Tanpa tidur sama sekali, Asep berjaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit. Ia memandikan, membersihkan luka, mengaji, dan menemani ustaz. Sebab, ustaz tersebut tak mengizinkan orang lain merawatnya, termasuk perawat di rumah sakit.
“Di momen terakhir sebelum ustaz meninggal, beliau berpesan, supaya saya melanjutkan tugas ini (sebagai caregiver). Katanya ada kebahagiaan yang menanti di depan,” ungkap Asep pada Magdalene, (28/10).
Peristiwa yang terjadi pada 2018 itu menjadi salah satu momen berkesan bagi Asep, selama 14 tahun menjadi relawan caregiver. Bahkan pengalaman tersebut mengembalikan semangat, setiap kali semangatnya kendor. Asep sendiri enggan meninggalkan tanggung jawab sebagai caregiver, karena beberapa pasien lain kerap berpesan serupa.
Perjalanan Asep sebagai caregiver berawal pada 2011, saat berusia 18 tahun. Waktu itu, tetangga Asep mengajaknya menjadi kader posyandu di Rangkasbitung, Banten. Ia bertugas mendaftarkan berkas pasien, dan mendampingi sampai pasien bertemu dokter.
Asep mengaku melakukan tugas ini karena panggilan hati. Ia tak merasa terbebani, berharap diupah, atau melihat perawatan sebagai “pekerjaan perempuan”. Mendampingi pasien justru menjadi caranya untuk berkontribusi pada masyarakat, meski tak memiliki latar belakang di bidang keperawatan.
“Dulu kalau ditanya mau jadi apa, saya bilang pengen jadi orang sukses. Biar bisa umrohkan orang tua,” ujar Asep. “Saya enggak pernah bercita-cita jadi dokter atau perawat, kan cuma tamatan SMP.”
Waktu itu, Asep terpaksa putus sekolah karena orang tuanya tak mampu membiayai. Ayah dan ibu Asep bekerja sebagai petani padi, yang harus memenuhi keperluan rumah tangga sekaligus menyekolahkan tiga adik Asep.
Sebenarnya, Asep remaja sangat ingin melanjutkan pendidikan. Namun, ia memahami situasi tak memungkinkan sehingga Asep mulai terlibat dalam kegiatan sosial di komunitas.
Baca Juga: Perjalanan Dita Yolashasanti Sebagai ‘Caregiver’: Kebahagiaan Kita Perlu Diprioritaskan
Jatuh Bangun Sebagai Caregiver
Terlibat dalam kegiatan sosial mengantarkan Asep sebagai relawan caregiver. Dalam seminggu, jadwalnya tak pasti. Ada kalanya Asep mengantar pasien selama lima hari kerja di area Jakarta, Tangerang, dan Rangkasbitung. Di pekan lain, ia hanya menemani selama dua hari.
Terlepas dari jumlah hari kerjanya, rutinitas Asep selalu sama: Bangun tidur antara pukul empat sampai lima pagi, kemudian berangkat ke rumah sakit pukul enam pagi untuk mengurus administrasi dan mendampingi pasien.
Sebelum pendampingan, biasanya Asep berkomunikasi dengan keluarga pasien terkait kondisi pasien, apakah perlu rawat inap atau cukup rawat jalan—kemampuan yang dipelajari dari seorang dokter. Lalu, Asep dan keluarga pasien menyepakati, sejauh mana ia akan menjalankan tugas: Dibantu sebatas urusan administrasi sampai konsultasi dengan dokter, atau menemani penuh selama berobat dan rawat inap.
Asep mengaku melakukan tugas ini karena panggilan hati. Ia tak merasa terbebani, berharap diupah, atau melihat perawatan sebagai “pekerjaan perempuan”. Mendampingi pasien justru menjadi caranya untuk berkontribusi pada masyarakat, meski tak memiliki latar belakang di bidang keperawatan.
Bagi Asep, ia mendapat banyak rezeki dari peran tersebut. Wujudnya tak melulu berbentuk materi, melainkan setiap pertemuan dengan pasien dan keluarga. Ia merasa memiliki banyak keluarga baru dan senang bisa bermanfaat bagi orang lain, apalagi jika pasien yang didampingi sembuh.
Tak hanya itu, Asep juga belajar berkomunikasi dengan dokter dan perawat, serta menyampaikan informasi soal kondisi pasien pada keluarga. Ia juga terampil merawat pasien, seperti saat menemani ustaz yang menderita hernia tersebut. Asep meminta perawat mengajarkannya cara membersihkan luka, sehingga ini menjadi keahlian baru.
Baca Juga: #MerekaJugaPekerja: Bekerja 100 Jam Per Minggu tapi Tak Dianggap Produktif
Namun, perjalanan Asep selama belasan tahun bukan tak luput dari tantangan. Ia berusaha selalu ceria dan siap jika dibutuhkan pasien, termasuk saat sedang sakit. Sebab, apa yang dialaminya tak sebanding dengan berbagai penyakit yang dialami pasien, seperti epilepsi, autoimun, tumor, kanker, HIV, dan tuberkulosis.
Lalu pada 2014, Asep hampir memutuskan berhenti sebagai caregiver setelah dimarahi pasien, dinilai tak bertanggung jawab. Waktu itu, ia meninggalkan pasien karena sudah selesai mengurus berkas dan bertemu dengan dokter. Ternyata, pasien butuh ditemani untuk melakukan rontgen.
“Setelah itu aku capek, masih baper, tapi dikuatkan sama bapak untuk selalu siap membantu orang-orang yang membutuhkan,” terang Asep.
Ia kemudian mengevaluasi pelayanannya, dengan memberikan pilihan pendampingan bagi pasien apabila butuh ditemani lebih lama.
Meski terbilang senang dan menikmati tugas yang dilakukan, peran sebagai relawan caregiver tak dapat memenuhi kebutuhan finansial Asep. Salah satunya karena dibayar sukarela, dan tak semua orang yang dibantu bisa membayar.
Sementara situasinya di rumah, Asep bertanggung jawab untuk membayar listrik dan keperluan rumah tangga. Belum lagi ongkos dan uang makan setiap menemani pasien, sejumlah Rp100 ribu per hari. Selama sebulan, setidaknya Asep mengeluarkan Rp1 juta rupiah, dengan jumlah penghasilan yang tak pasti.
“Aku sering minjem uang ke tetangga. Tabungan pun enggak punya, enggak bisa nyisihin karena kebutuhan orang tua lebih banyak,” cerita Asep.
Baca Juga: Pentingnya Rekognisi Pekerjaan Perawatan
Nihilnya Keterlibatan Pemerintah
Asep bukan satu-satunya caregiver yang menjalankan tugasnya dengan sukarela. Di Rangkasbitung, Delima membina 18 caregiver—termasuk Asep—dalam komunitas Respek Peduli.
Komunitas caregiver ini berdiri atas inisiatif masyarakat, mengandalkan dana pribadi dan bantuan dari media sosial. Misalnya untuk beli bensin jika harus antar jemput pasien, beli beras untuk kebutuhan keluarga pasien, menyewa rumah singgah, dan membeli ambulans. Bahkan, sering kali para caregiver kekurangan biaya untuk makan dan ongkos.
“Kadang saya yang kasih uang akomodasi (ke caregiver), kalau mereka mendampingi pasien yang enggak mampu bayar,” tutur Delima.
Rumah singgah binaannya pun hampir tutup pada 2024, karena tak mampu membayar uang sewa. Kemudian, Delima dibantu seorang warga untuk menyewakan kontrakan kecil selama setahun, supaya rumah singgah tersebut bisa berlanjut.
Upaya Asep, Delima, dan para caregiver lainnya justru mencerminkan, sampai saat ini, pemerintah belum mengakui kerja perawatan. Pekerjaan ini dianggap tak bernilai ekonomi, dicap sebagai tanggung jawab perempuan, dan hanya dilakukan oleh orang yang tak punya pengetahuan dan keterampilan. Padahal, kerja perawatan—salah satunya sebagai caregiver—membutuhkan keahlian khusus. Di bidang ini pula, sebenarnya perekonomian bergerak.
Delima pun mengakui hal itu, bahwa selama ini tak pernah ada keterlibatan pemerintah. Ia berharap, pemerintah bergerak sesuai tugas pokok dan fungsinya, supaya masyarakat yang sakit bisa terbantu.
“Kalau peran itu berjalan baik, tenaga seperti kami ini tak perlu ada,” tegas Delima.
This article was produced by Magdalene.co as part of the #WaveForEquality campaign, supported by Investing in Women (IW), an Australian Government initiative. The views expressed in this article do not necessarily represent the views of IW or the Australian Government.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
















