December 6, 2025
Culture Opini Screen Raves

‘Pangku’: Perempuan Penopang Ekonomi Ambruk dan Debut yang Percaya Diri

Gejala politik itu samar hadir lewat suara di TV, tapi sepanjang film kita melihat bagaimana ekonomi yang ambruk itu selalu menindih perempuan lebih berat.

  • November 13, 2025
  • 8 min read
  • 1394 Views
‘Pangku’: Perempuan Penopang Ekonomi Ambruk dan Debut yang Percaya Diri

Pangku, film debut Reza Rahadian sebagai sutradara, mengikuti Sartika (Claresta Taufan), perempuan muda yang tengah hamil tua dan mencoba mencari penghidupan baru di luar kampung halamannya. 

Di awal film, ia menumpang truk dan diturunkan di pinggir jalan Pantai Utara Jawa. Saat malam tiba dan lelah mendera, Sartika singgah di warung kopi milik Maya (Christine Hakim, dalam performa yang, seperti biasa, memukaunya bikin menganga). Tak punya tujuan lain, Sartika menerima tawaran Maya untuk bekerja di warungnya sebagai penyaji kopi pangku, sebuah praktik di mana penjual perempuan duduk di pangkuan pembelinya sembari mereka minum kopi.

Keputusan Reza untuk menyutradarai film di lokasi asli memang memberikan nuansa realisme yang kuat, tapi menyebut Pangku bagus semata karena lokasi aslinya, malah mengerdilkan pencapaian sinematik film ini.

Kekuatan Pangku juga datang dari keputusan artistik Reza dalam merancang shot dan mengorkestrasi aktor-aktornya. Dunia Pangku terasa hidup, meyakinkan, dan penuh detail, seakan benar-benar ditinggali. Hal ini paling kentara pada sekuens di warung Maya, yang berfungsi sebagai semacam hub bagi rekan-rekan sejawat Sartika yang beroperasi di kedai-kedai sekitar: Yuna (Nazira C. Noer) dan  Sita (Galabby Thahira), serta Tini (TJ Ruth), si rentenir yang meski kerap dihindari saat menagih, tetap menjadi bagian integral dari komunitas. Perhatian Reza terhadap dinamika ruang dan gestur sosial ini menunjukkan visinya sebagai seniman yang memahami manusia, bukan sekadar karakter.

Seperti si sutradara saat sedang jadi aktor di kebanyakan filmnya, Pangku memiliki wajah yang begitu ekspresif dan emotif. Ia tak banyak memberi eksposisi verbal; justru berbicara melalui gambar. Di tangan sinematografer Teoh Gay Hian, pesisir utara tampil kaya dalam tekstur dan warna. 

Momen pertama yang jadi tanda fokus visual itu, muncul ketika Maya menawarkan pekerjaan pada Sartika sambil mencuci pakaian. Dalam aktivitas sederhana itu—tangan memeras air dari kain—tersirat metafora tenaga dan tubuh yang akan terus “diperas” demi bertahan hidup.

Sebagai Sartika, Claresta menampilkan performa yang penuh intensitas tapi tak pernah berlebihan. Ia membawa tubuh perempuan muda yang lugu, tapi tak sepenuhnya polos; ketegangan antara rasa takut dan keberanian itu tampak dalam tiap gestur kecilnya. 

Tahun ini, lewat Pangku, film zombie Abadi Nan Jaya, dan omnibus The Period of Her, Claresta sedang mengalami tahun yang impresif—tiga peran berbeda yang sama-sama menuntut disiplin tubuh yang presisi. Dalam Pangku, perhatikan bagaimana gerak-gerik tubuhnya berubah drastis sebelum dan sesudah title card muncul: dari langkah ragu-ragu dan tatapan yang mencari arah, menjadi gerak tubuh yang lebih mantap dan sadar ruang. 

Perubahan itu tak hanya menunjukkan pertumbuhan karakter Sartika, tapi juga kedewasaan artistik Claresta sendiri sebagai aktor.

Baca juga: ‘Sentimental Value’, Trauma Turun-temurun, Serta Sela di Antara Memaafkan dan Mengampuni

Kerja Tubuh dan Komunitas yang Tumbuh dari Luka

“Warung kopi pangku” dalam film ini bukan semata-mata berfungsi sebagai latar, tapi juga simbol ekonomi afektif yang menopang kehidupan perempuan kelas bawah di masa krisis. 

Di tengah arus ekonomi yang menghancurkan tatanan kerja laki-laki, perempuan seperti Maya dan Sartika justru menciptakan sistem ekonomi alternatif: berbasis tubuh, afeksi, dan solidaritas. Apa yang mereka lakukan ini, menurut buku “Intimate Labors: Cultures, Technologies, and Politics of Care”, disebut sebagai intimacy labor, sebuah ragam kerja yang menggunakan emosi dan keintiman untuk bertahan hidup.

Film ini memotret kerja perempuan yang secara sosial dianggap “remeh” atau “memalukan”, tapi justru menopang ekonomi mikro masyarakat bawah. Nancy Fraser dalam “Contradictions of Capital and Care” menulis bahwa pada hakikatnya, kapitalisme selalu bertumpu pada kerja-kerja perawatan dan afektif yang nilainya tidak pernah diakui layak. 

Dan itulah yang dilakukan Maya dan kawan-kawannya. Mereka mengelola emosi pelanggan, menjaga kehangatan ruang sosial, sekaligus membangun solidaritas di antara sesama pekerja perempuan.

Reza tidak menempatkan ruang itu sebagai ruang eksploitasi, tetapi sebagai ruang ambivalen: tempat perempuan bisa dieksploitasi sekaligus berdaya. Kamera Teoh hampir tidak terkesan voyeuristik: ia memandang tubuh perempuan kelas bawah dengan kelembutan dan menampilkannya apa adanya, bukan dengan nafsu atau moralitas. 

Pencahayaan remang warung kopi, dan ruang-ruang sempit tempat mereka beristirahat dan melayani pelanggannya, semua ditampilkan dengan empati.

Pada satu malam yang larut, masuklah Hadi (Fedi Nuril), sopir truk ikan yang terpesona oleh Sartika. Ia santun dan atentif, bahkan menawarkan menjaga anak Sartika, Bayu (Shakeel Fauzi) saat ia harus melayani pelanggan lain. Penempatan Fedi dalam karakter ini terasa memiliki lapisan meta: mereferensikan peran ikoniknya sebagai Fahri si pria saleh yang berpoligami, tapi di waktu yang sama menegasikan tipe karakter yang kerap diberikan padanya: pria sempurna fantasi kolektif penonton Indonesia. 

Dalam Pangku, Hadi gagal menunaikan perannya dalam ekonomi patriarkal yang rapuh. Ketika sistem ekonomi runtuh, maskulinitas pun kehilangan sandarannya. Hadi yang datang seolah-olah sebagai pangeran penyelamat Sartika, seperti karakter-karakter pria saleh yang diperankan Hadi, malah jadi orang yang mematahkan hati Sartika dengan telak.

Kekuatan lain yang dimiliki film ini terletak pada kemampuannya menyeimbangkan realisme sosial dengan kehangatan kemanusiaan. Dalam banyak film Indonesia, perempuan pekerja sering kali dijadikan simbol penghakiman moral atau penderitaan. Tapi di Pangku, mereka hadir dengan kedalaman manusiawi—punya kebosanan, cinta, dan hasrat seksual. 

Saat Sartika dan Hadi berhubungan seks untuk pertama kalinya di kamar sempit yang mereka sewa, keduanya tampil bercucuran keringat kegerahan, sebelum akhirnya digedor pemilik lapak karena waktu sewa telah melewati batas. Momen-momen seperti ini terasa menyegarkan dalam segala kesederhanaannya; saat seks dipotret sebagai kebutuhan primal yang praktiknya tidak melulu sensasional.

Adegan-adegan kecil lainnya seperti ketika para pekerja saling melempar canda atau menyantap mie ayam bersama-sama, menjadi bentuk resistensi kecil terhadap dunia yang keras. 

Seperti yang ditulis Michele Ford dan Lyn Parker dalam buku Women and Work in Indonesia, dalam masyarakat Indonesia, perempuan kerap menegosiasikan ruang kerja informal dengan menciptakan “komunitas berbasis empati”. Itulah yang dilakukan para perempuan Pangku: membangun solidaritas yang tumbuh dari luka bersama.

Baca juga: Selisih Rp500 Juta Kompensasi Luka Rawa dan Nyawa Korban Meninggal

Reruntuhan Patriarki Orde Baru dan Melankolia Perubahan Zaman

Latar waktu Pangku berangkat dari masa transisi kepresidenan Soeharto ke Habibie. Ia sekaligus menangkap, dengan tajam, bagaimana krisis ekonomi 1998 paling keras menghantam perempuan. 

Reza tidak menarasikan gejolak politik secara langsung; ia menempatkannya di latar belakang, melalui suara berita di televisi yang hampir konstan menyala di warung Maya. Sementara itu, di depan layar, kehidupan perempuan-perempuan kecil ini terus bergulir.

Inilah cara film mengingatkan kita bahwa dampak kebijakan ekonomi selalu paling terasa di tubuh perempuan.

Sebagai zaman Ibuism,” Orde Baru secara eksklusif memposisikan perempuan sebagai istri dan ibu, pelengkap laki-laki dalam proyek pembangunan. Tapi di Pangku, tatanan itu hancur: laki-laki kehilangan pekerjaan, dan perempuan justru menjadi pencari nafkah utama. Ironisnya, meski peran mereka berubah, beban sosial dan moral yang menindas tetap sama.

Kritik institusi pernikahan menjadi tema sentral film ini. Di bawah Orde Baru, pernikahan dipromosikan sebagai “pondasi bangsa”, tapi dalam krisis, institusi itu justru menjadi ruang ketidakadilan gender paling utama. Baik Sartika, Maya, maupun Annisa (Happy Salma)—semuanya menanggung beban yang muncul dari kegagalan laki-laki memikul tanggung jawab ekonomi dan emosional. 

Maya, misalnya, menanggung suami (yang diam-diam diperankan memukau oleh José Rizal Manua) yang kehilangan pekerjaan dan martabat, lalu perlahan kehilangan perannya sebagai pasangan yang setara. Ketika Maya akhirnya mengambil alih peran pencari nafkah, tidak ada timbal balik perawatan dari sang suami.

Pangku juga memotret melankolia perubahan zaman, saat moda rekreasi termutakhir bagi mereka adalah jedag-jedug warung karaoke berpencahayaan warna-warni, yang menggantikan daya tarik perempuan cantik untuk dipangku sembari menyesap kopi. 

Dalam satu shot yang indah sekaligus tragis, Maya duduk termenung sambil mengisap rokoknya di sudut layar, terimpit secara literal oleh komposisi kamera, sementara jauh di belakang cahaya karaoke berkerlap-kerlip. Di situ, Pangku menangkap melankolia sosial: tubuh-tubuh perempuan yang menanggung beban sejarah, ketika dunia berganti wajah tanpa menoleh ke mereka.

Pada titik ini, Pangku bukan hanya film tentang perempuan, tetapi juga film tentang kehancuran sebuah sistem nilai. Ia memperlihatkan bagaimana patriarki yang selama ini menopang identitas laki-laki runtuh bersama krisis ekonomi, dan perempuanlah yang memungut reruntuhannya. Tapi di tengah reruntuhan itu pula, muncul kekuatan baru: jaringan perempuan yang saling menopang di luar batas institusi resmi—pernikahan, negara, bahkan agama.

Reza, mungkin tanpa niat didaktik, telah membuat film politik yang sangat lembut. Ia tidak berteriak tentang kesetaraan gender, tapi mempraktikkannya melalui bahasa sinematik yang empatik.

Baca juga: Beban Perempuan-Pekerja-Urban dan Pertanyaan ‘Yakin Nikah’?

Jika film-film era Orde Baru menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol moralitas negara, maka Pangku mengembalikannya sebagai tubuh yang hidup, bernapas, dan bekerja. Dalam satu shot menjelang akhir, Sartika menatap pantai dengan perut membuncit berisi anak keduanya dengan wajah yang pasrah, tapi tegar. Dengan latar deburan ombak dan bebatuan karang pesisir, Pangku memberikan suara perempuan yang terus hidup, meski sejarah tidak berpihak pada mereka.

Menjelang akhir film, saat istri Hadi, seorang TKW marah karena suaminya menilep uang kiriman untuk membangunkan rumah perempuan lain, Pangku justru mendorong empati pada semua pihak, bahkan pada Hadi. Semuanya direkam tanpa kehilangan kesadaran bahwa akar masalahnya bersifat struktural, bukan personal. 

Dari situ saya sadar, saya baru saja menyaksikan karya debut yang begitu percaya diri dan monumental; pernyataan diri hadirnya seorang seniman yang matang karena pengalaman panjangnya menyaksikan cara kerja banyak maestro film Indonesia, tanpa luput menginjeksikan otentisitas suaranya sendiri.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.