Culture Gender & Sexuality Screen Raves

Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia

Sejak Fahri sampai Aris, pria religius masih jadi fantasi beramai-ramai tentang sosok “ideal” laki-laki maskulin, pemimpin moral. Belakangan sosok “ideal” itu menjalar dari layar lebar ke layar ponsel.

Avatar
  • February 6, 2025
  • 4 min read
  • 2138 Views
Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia

Jika ada satu trope karakter yang sudah terbukti langgeng jadi primadona dalam perfilman Indonesia, ialah pria saleh nan rupawan, yang bukan cuma jago mengaji, tapi juga sukses, berpendidikan, dan pastinya idaman para mertua.

Dari Fahri di Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008) sampai Pras di Surga yang Tak Dirindukan (Kuntz Agus, 2015), sosok pria religius ini bukan sekadar karakter, tapi sebuah cetak biru maskulinitas yang terus direproduksi. 

 

Namun, di balik pesona mereka sebagai paket lengkap husband material, ada banyak hal menarik yang bisa dibedah—mulai dari bagaimana film membentuk imajinasi kolektif tentang pria ideal, hingga bagaimana trope ini beririsan dengan fenomena hijrah selebritas dan tren “husband goals” di media sosial.

Salah satu pola utama dalam film-film religi Indonesia adalah bagaimana ketaatan beragama diposisikan sebagai daya tarik utama karakter laki-laki. Ayat-Ayat Cinta misalnya, mempopulerkan sosok Fahri (Fedi Nuril), pria yang bukan hanya saleh, tapi juga penuh kesabaran menghadapi drama kehidupan dan poligami (tentu saja dengan alasan syar’i). Menurut Van Wichelen (2010), representasi laki-laki religius dalam film semacam ini memperkuat norma patriarkal dengan menempatkan pria sebagai pemimpin moral dalam rumah tangga dan masyarakat.

Baca juga: ‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia

Si Paling Baik, Si Paling Penuntun Moral

Menariknya, jika ada satu aktor yang bisa disebut sebagai “wajah” dari trope ini, maka Fedi Nuril adalah kandidat terkuatnya. Berkali-kali ia muncul dalam film sebagai pria religius pemikat hati, mulai dari Fahri hingga Pras. Seolah-olah, jika ada film baru yang butuh karakter laki-laki saleh, para produser hanya perlu menelepon Fedi. Fenomena ini sendiri menunjukkan betapa kuatnya asosiasi antara wajah aktor dan konstruksi maskulinitas religius di layar lebar.

Hal serupa bisa dilihat dalam Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam, 2009) yang menampilkan Azzam, pria religius yang digambarkan sebagai pekerja keras, penuh tanggung jawab, dan tentunya anti maksiat. Ini sejalan dengan konsep hegemonic masculinity dari Connell (2005), ketika maskulinitas dominan digambarkan tidak hanya melalui kekuatan fisik, tetapi juga kendali moral dan spiritual. 

Pria saleh di film-film ini adalah mereka yang memiliki kuasa atas narasi religius—mereka bukan hanya good boys, tapi juga the ultimate decision makers dalam keluarga dan masyarakat.

Jika kita bandingkan dengan film dari negara lain, maskulinitas religius dalam film Indonesia memiliki pola yang unik. 

Di Turki, misalnya, serial Diriliş: Ertuğrul (2014-2019) menampilkan pahlawan Muslim yang gagah berani, pemimpin perang, sekaligus pria saleh yang berjuang demi agama dan bangsanya. Sementara di Malaysia, film seperti Ombak Rindu (Osman Ali, 2011) menampilkan laki-laki religius dengan sentuhan dramatis yang lebih dekat dengan format sinetron. Maskulinitas religius di Indonesia cenderung lebih domestik dan romantis—tokohnya tidak perlu mengangkat senjata, cukup mengangkat tangan untuk berdoa, dan pesonanya sudah bikin banyak penonton klepek-klepek.

Baca juga: 5 Film Indonesia 2024 dari #MadgeReview: Jeritan Milenial Sampai Konflik Masyarakat Adat

Dari Layar Lebar Menjalar ke Layar Ponsel

Obsesi penonton Indonesia terhadap pria saleh dalam film ternyata juga selaras dengan tren di media sosial. Dari hijrahnya selebritas seperti Teuku Wisnu hingga munculnya ustaz-ustaz gaul yang menawarkan konsep rumah tangga Islami yang harmonis, media digital turut membentuk standar baru tentang pria idaman. 

Di TikTok, misalnya, video bertagar #husbandgoals banyak yang membingkai pria yang rajin salat dan berpenampilan syar’i sebagai the ultimate catch. Hal ini menunjukkan bagaimana maskulinitas religius tidak hanya eksis di film, tetapi juga dalam realitas digital.

Menurut Rinaldo (2013), tren ini mencerminkan bagaimana religiusitas digunakan sebagai alat untuk memperkuat norma gender tradisional, di mana laki-laki tetap menjadi pemimpin dan perempuan diharapkan mendukung mereka dalam peran domestik. Dengan kata lain, baik di layar lebar maupun di media sosial, pria saleh bukan hanya simbol moralitas, tetapi juga alat kontrol sosial yang tetap menguntungkan laki-laki.

Baca juga: Review ‘Qodrat’: Kembalikan Kejayaan Tokoh Pemuka Agama dalam Film Horor

Namun, tidak semua film selalu menggambarkan pria saleh sebagai sosok sempurna. Ipar Adalah Maut (Hanung Bramantyo, 2024) mengeksplorasi sisi lain trope ini dengan menampilkan karakter pria yang tampak religius, tapi justru melakukan perselingkuhan dengan adik iparnya. Ini menarik karena mengguncang ekspektasi penonton dan membuktikan bahwa citra pria saleh bisa digunakan untuk mengeksploitasi kepercayaan orang lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya terpikat pada gambaran pria saleh yang ideal, tetapi juga tertarik pada kisah-kisah yang menggugat dan mengguncangkan citra tersebut.

Trope pria saleh dalam film Indonesia tampaknya masih akan terus bertahan, mengingat besarnya audiens dari cerita-cerita bernuansa religius. 

Namun, dengan meningkatnya kesadaran gender dan diskursus tentang maskulinitas yang lebih cair, ada kemungkinan trope ini mengalami evolusi. Mungkin kita akan mulai melihat karakter laki-laki religius yang tidak hanya menjadi pemegang otoritas moral, tetapi juga lebih manusiawi, dengan kelemahan dan tantangan yang lebih realistis.

Sampai saat itu tiba, setidaknya kita bisa terus mengamati bagaimana trope ini berkembang, dari layar bioskop hingga linimasa media sosial.



#waveforequality
Avatar
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *