December 10, 2025
Issues Opini Politics & Society

Marsinah dan Paradoks Kepahlawanan di Negeri Patriarki

Pengakuan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional menyingkap paradoks kepahlawanan di negeri patriarki dan mengajak kita menuntut keadilan atas kekerasan negara.

  • November 20, 2025
  • 5 min read
  • 529 Views
Marsinah dan Paradoks Kepahlawanan di Negeri Patriarki

Pada suatu masa, ia hanya dikenal sebagai buruh pabrik yang pulang malam dengan tubuh letih dan gaji pas-pasan. Anak dari keluarga sederhana yang hidupnya, di atas kertas, tak pernah ditakdirkan tercatat dalam sejarah bangsa. Namanya Marsinah, perempuan muda yang hanya ingin upah layak dan perlakuan manusiawi di tempat kerja.

Tiga dekade setelah tubuhnya ditemukan penuh luka, negara akhirnya memberinya gelar Pahlawan Nasional. Sebutan yang sakral itu datang terlambat, tanpa kejelasan siapa pembunuhnya. Lebih pahit lagi, orang yang memimpin rezim dan memungkinkan kekerasan terhadapnya, Soeharto, juga diberi gelar yang sama. Di sinilah paradoks itu menganga. Korban dan arsitek kekerasan sama-sama dipeluk dalam narasi kepahlawanan resmi.

Pengakuan terhadap Marsinah bukan sekadar seremoni kenegaraan, melainkan retakan cahaya dalam sejarah panjang patriarki dan kekerasan negara. Ia memaksa kita bertanya, kepahlawanan macam apa yang selama ini diagungkan, dan keberanian siapa yang kita pilih untuk diingat?

Baca juga: Tanpa Gelar Apapun, Marsinah Sudah Jadi Pahlawan Nasional di Hati Kita 

Marsinah dan feminisme Pancasila

Sukarno pernah melontarkan istilah “Ibu Bangsa”, yang digambarkan bukan sekadar sosok ibu secara biologis, melainkan jiwa moral bangsa. Ia menjaga welas asih, keadilan, dan rasa hormat pada martabat manusia. Bukan tentang mengurung perempuan di ruang domestik, tapi tentang etika merawat kehidupan—yang merangkul, bukan menaklukkan; yang mengutamakan nurani, bukan kekuasaan.

Jika Pancasila adalah rumah besar bangsa, maka etika keibuan inilah api lampu yang seharusnya menerangi rumah itu. Dan dari rahim rakyat kecil, dari kehidupan seorang buruh muda bernama Marsinah, kita melihat nyala api itu bekerja dalam bentuk paling konkret.

Marsinah adalah perempuan muda yang bekerja demi menyambung hidup, tetapi dari tubuhnya lahir keberanian moral yang mengguncang republik. Semua pahlawan adalah pemberani, namun keberanian Marsinah lahir dari cinta, bukan dari ambisi kekuasaan. Ia tidak turun ke jalan demi ketenaran, tetapi demi martabat para buruh yang digaji tak layak.

Ia setia pada kebenaran meski tanpa perlindungan. Tidak ada ajudan, tidak ada pengawal, tidak ada privilese. Hanya suara hati dan solidaritas antarpekerja. Aksinya bukan ego pribadi, tetapi tindakan kolektif untuk menuntut keadilan. Tubuhnya yang disiksa dan vaginanya yang dirusak, menjadi bukti betapa berbahayanya menjadi perempuan yang bersuara jujur dalam negara yang menormalisasi kekerasan.

Di situlah sisi sakral perjuangannya: keberanian untuk merawat keadilan, meski harus menanggung risiko luar biasa dari kekuasaan patriarkal yang nyaris absolut—militerisme Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Baca juga: Anak Muda Marah: Soeharto Bukan Pahlawan, dan Kami Tidak Akan Diam

Bias kekuasaan dalam ingatan bangsa

Soeharto diglorifikasi sebagai “Bapak Pembangunan”. Dalam imajinasi Orde Baru, pahlawan identik dengan sosok maskulin, militeristik, kuat, penentu nasib bangsa dari atas, dan menyatu dengan kekuasaan. Inilah kepahlawanan versi negara patriarki, kepahlawanan yang lahir dari kemenangan, bukan dari kesetiaan pada nurani.

Paradoks muncul ketika negara menyandingkan dua tokoh dari dua dunia moral yang berbeda: Marsinah, korban kekerasan negara, dan Soeharto, arsitek struktur kekuasaan yang memungkinkan kekerasan itu berlangsung. Ketegangan moral ini seharusnya menjadi panggilan untuk membangun narasi bangsa yang lebih jujur dan berkeadilan.

Feminisme Pancasila menawarkan cara membaca bangsa yang berpihak pada kemanusiaan dan keberanian moral, bukan pada senjata atau jabatan. Dalam kerangka ini, korban adalah guru, perempuan adalah pendidik bangsa, dan rakyat kecil adalah pusat moralitas nasional.

Ketika negara akhirnya mengakui Marsinah sebagai pahlawan, itu adalah langkah kecil menuju rekonfigurasi memori publik: pengakuan bahwa keberanian tak bersenjata dapat lebih luhur daripada kemenangan militer. Namun pengakuan ini belum tuntas. Semangat etika keibuan yang melekat pada figur seperti Marsinah menuntut bangsa untuk melihat akar kekerasan, bukan hanya memuliakan korbannya.

Semangat Ibu Bangsa pada Marsinah mengingatkan kita bahwa pahlawan sejati bukanlah mereka yang paling kuat, tetapi mereka yang paling setia pada nurani. Keberanian Marsinah adalah keberanian spiritual, sementara kekuasaan yang membiarkan nyawanya diperlakukan sewenang-wenang adalah kegagalan etis negara.

Kita diperintahkan Pancasila untuk membangun bangsa yang “beradab”. Dan tidak ada peradaban yang kokoh di atas tubuh perempuan yang dibungkam: buruh perempuan, ibu rumah tangga, pekerja rumah tangga (PRT) di dalam dan luar negeri, ibu masyarakat adat, dan semua yang suaranya disisihkan demi kenyamanan penguasa.

Dengan menyebut Marsinah sebagai pahlawan, bangsa ini sesungguhnya sedang kembali kepada dirinya sendiri. Kepada jiwa asli republik yang berpihak pada rakyat, pada mereka yang menderita, pada mereka yang berani berdiri sendiri demi kebenaran. Kepahlawanan dalam pemahaman ini bukan milik mereka yang memerintah jutaan orang, melainkan mereka yang menjaga martabat satu dan banyak manusia sekaligus. Marsinah menunjukkan bahwa kekuasaan dapat menciptakan ketakutan, tetapi keberanian perempuan biasa dapat menciptakan harapan yang tidak bisa dimatikan.

Baca juga: Kasus Munir: Misteri, Fakta, dan Tuntutan Keadilan yang Belum Usai

Sistem sosial-politik Indonesia hari ini masih patriarkal, bahkan dalam banyak hal kian militeristik. Perempuan yang bersuara lantang masih menghadapi ancaman, perundungan, dan kekerasan yang mirip dengan yang dihadapi Marsinah. Maka kisahnya bukan sekadar masa lalu yang pilu, tetapi model perjuangan untuk hari ini dan esok.

Sebagai pahlawan, Marsinah berhak atas keadilan: penuntasan kasus hukum yang merenggut nyawanya. Para pelaku masih belum tersentuh hukum. Di sinilah tugas kita sebagai warga: terus menuntut negara menegakkan keadilan bagi Marsinah dan semua korban kekerasan negara.

Ia mungkin tidak lagi kita sebut dengan istilah-istilah muluk, tetapi satu hal pasti: keberaniannya telah menjadi salah satu pilar nurani bangsa ini—dan nurani itu tak boleh kita khianati.

About Author

Eva Kusuma Sundari

politisi, enthusiast Feminisme Pancasila, pendiri Institut Sarinah dan konsultan SDGs, gender and development,