June 21, 2025
Issues People We Love Politics & Society

Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM

Sejarawan feminis Ita Fatia Nadia menyerukan perlawanan terhadap penulisan ulang sejarah yang menghapus pelanggaran HAM berat dan peran perempuan.

  • June 5, 2025
  • 4 min read
  • 1319 Views
Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM

Sejarah adalah arena ingatan bersama dan hari ini, siapa yang berhak menuliskannya tengah diperdebatkan. Proyek strategis penulisan ulang sejarah nasional yang digagas pemerintah kini telah mencapai 70 persen. Ditargetkan rampung sebelum HUT Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025, proyek ini disebut Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai upaya “reinventing Indonesia identity”, agar bangsa ini dikenal sebagai peradaban tua, bukan sekadar bekas jajahan.

Namun, di tengah proses yang kian dekat rampung, muncul gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan tokoh masyarakat, mengkritik proses yang dianggap tidak transparan dan terburu-buru.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR (19/5), mereka mengingatkan bahwa proyek semacam ini lazim di negara otoriter. Adolf Hitler pernah berupaya menuliskan kembali sejarah Perang Dunia I. Contoh terbaru terjadi di Korea Selatan pada 2015 saat Presiden Park Geun-hye, anak diktator Park Chung-hee, yang gagal menulis ulang buku sejarah setelah menghadapi gelombang penolakan publik.

Di Indonesia, salah satu suara paling kritis terhadap proyek ini adalah Ita Fatia Nadia, sejarawan feminis dan Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS). Dalam wawancara bersama Magdalene, Ita memperingatkan bahwa proyek ini bisa menghapus pelanggaran HAM berat, menghilangkan peran perempuan dalam sejarah, serta mempersempit ruang diskusi publik.

Baca juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998

Sejarah perempuan yang dihapuskan

“Kita sedang perang sejarah,” ujar Ita. Negara, menurutnya, tidak berhak memonopoli penulisan identitas bangsa yang sejatinya plural.

Dalam draf konsep yang beredar, sejarah gerakan perempuan dipinggirkan. Nama-nama seperti Siti Sundari, Surastri Karma Trimurti, Maria Ulfah, Francisca C. Fanggidaej tidak mendapat ruang memadai. Kartini sekadar disebut tanpa pembahasan kontribusi konkretnya dalam pendidikan perempuan. Rohana Kudus, pelopor pers perempuan Indonesia, bahkan nyaris tak muncul.

Peristiwa penting seperti Kongres Perempuan Pertama 1928 hingga peran perempuan dalam Konferensi Wanita Asia Afrika 1950-an, yang merupakan bagian penting dari sejarah gerakan solidaritas perempuan internasional, juga dihapus.

“Banyak yang dihapus. Apalagi soal Gerwani, sudah ditutup dengan label buruk. Ini sangat sistematis,” tegas Ita.

Hal ini terjadi karena nasionalisme negara, ujarnya, dibangun di atas memori maskulin. Ia mengutip akademisi feminis AS, Cynthia Enloe dan Raewyn Connell, yang mengatakan bahwa narasi nasional sering dibentuk oleh imajinasi maskulin yang memuliakan militerisme, pengorbanan laki-laki, dan peran “ibu bangsa” yang domestik.

“Perempuan direduksi sebagai pelengkap. Ditempatkan di rumah untuk menjaga moral bangsa, sementara peran heroik dimonopoli laki-laki. Ini persis narasi Orde Baru,” ujar Ita.

Dengan menghapus sejarah perempuan, generasi muda kehilangan jejak perjuangan yang bisa memperkuat kesadaran kritis mereka hari ini.

Baca juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan

Melawan narasi tunggal sejarah

Draft sejarah baru ini tak hanya menghapus peran perempuan, tetapi juga mengglorifikasi militerisme. Presiden berlatar belakang militer diagungkan, sementara Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sekadar disebut, dan Megawati Sukarnoputri, BJ Habibie, serta Soekarno diposisikan sebagai pemimpin “gagal”.

Lebih berbahaya lagi, pelanggaran HAM berat yang diakui negara justru hilang dari draf. Padahal, pada era Joko Widodo, pemerintah telah mengakui 12 pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat tersebut meliputi peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumah Geudong, Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisaksi dan Semanggi I-II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Bagi Ita, penghapusan ini adalah bentuk pengabaian hak korban, yakni hak atas kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan.

“Kalau sejarah ini ditulis jujur, generasi penerus tak lagi dicap PKI (Partai Komunis Indonesia) atau dibebani stigma,” ujar Ita, yang keluarganya sendiri pernah menjadi korban stigma pasca-1965.

Sejarah yang jujur bukan sekadar catatan, melainkan bagian dari pemulihan kolektif bangsa, katanya. Melalui pencatatan sejarah yang jujur dan menyeluruh, negara membuka ruang bagi ingatan kolektif untuk memahami dampaknya. Tanpa pengakuan akan kebenaran, luka lama tetap terkubur, impunitas tumbuh, dan risiko pengulangan tragedi makin besar.

Hal yang sama berlaku untuk sejarah perempuan. Tanpa jejak gerakan perempuan, generasi muda perempuan kehilangan fondasi penting untuk membangun kesadaran kritis dan resiliensi mereka di masa depan.

“Sejarah yang maskulin dan elitis terus direproduksi. Sementara keberanian perempuan dalam perjuangan bangsa dipinggirkan,” kata Ita.

Tanpa referensi yang kuat, gerakan perempuan masa kini menjadi lebih rapuh, mudah dideligitimasi di ruang publik.

Baca juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah

Perlawanan dan kontra-narasi

Meski kritik terus bergulir, Ita meyakini pemerintah akan tetap melanjutkan proyek ini. Karena itu, perlawanan harus terus dibangun.

“Media, generasi muda, komunitas bisa melawan lewat kontra-narasi,” ajaknya.

Kontra narasi bisa berupa tulisan, konten media sosial, diskusi komunitas, penulisan sejarah alternatif, atau publikasi kolektif. Saat ini, Ita bersama rekan-rekannya tengah menyusun buku kecil tentang sejarah gerakan perempuan yang merekam narasi lokal dan plural.

“Misalnya di daerah saya ada tokoh perempuan, ya itu dicatat, ditambahkan. Buku ini bisa jadi pegangan gerakan perempuan yang membangun pemikiran baru,” jelas Ita.

Selain itu, Ita mendorong media dan anak muda untuk aktif menyebarkan narasi alternatif ini.

“Dengan membangun pengetahuan bersama, kita melawan otoritarianisme negara,” pungkasnya.



#waveforequality
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.