MK Larang Polisi Rangkap Jabatan Sipil, Akankah Dipatuhi?
Setelah lebih dari empat bulan persidangan, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan uji materi Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, hakim menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini mewajibkan ribuan polisi aktif yang mengisi jabatan sipil untuk kembali ke institusi asal.
Permohonan ini diajukan dua mahasiswa, Syamsul Jahidin dari Nusa Tenggara Timur dan Christian Adrianus dari Sumatera Utara. Mereka berargumen frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Kedua mahasiswa itu juga menilai keberadaan polisi aktif di jabatan sipil menutup peluang warga sipil untuk ikut berkompetisi secara adil. Mereka menyoroti adanya gaji ganda dan fasilitas dari dua institusi yang diterima polisi, yang dinilai menimbulkan inefisiensi anggaran negara. Selain itu, polisi yang menduduki jabatan sipil tanpa melepas status aparat dianggap memperoleh privilese dibanding masyarakat yang harus melalui seleksi ketat dan tidak boleh merangkap posisi di lembaga lain.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendukung keberatan tersebut dan menyebut putusan MK sebagai langkah awal memperbaiki tata kelola Polri, terutama terkait batas yang selama ini kabur antara peran polisi di lembaga sipil dan institusi asalnya. LBH menegaskan, dengan putusan ini, polisi tidak lagi boleh merangkap jabatan di luar Polri kecuali dengan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Putusan MK ini menegaskan prinsip netralitas dan profesionalitas kepolisian, memperkuat pemisahan lembaga penegak hukum dengan jabatan sipil atau politik,” katanya seperti dikutip dari laman resmi LBH Jakarta, (20/11).
Baca Juga: Bukannya Berbenah, Polisi Keluarkan Aturan Baru soal Penindakan Aksi
Apa Selanjutnya?
Dihubungi melalui pesan singkat, Anggota DPR Benny K. Harman menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat bagi Polri. Ia menilai tidak ada alasan bagi institusi mana pun untuk menunda pelaksanaan putusan tersebut.
“Laksanakan putusan itu. Titik,” ujarnya (19/11).
Melalui situs resmi DPR, Benny juga mendesak Presiden Prabowo sebagai pimpinan tertinggi Polri untuk segera menarik seluruh anggota polisi yang masih aktif dari kementerian, badan, atau lembaga.
“Ingat, Indonesia bukan negara polisi,” katanya.
Menurut Benny, putusan MK ini menjadi ujian penting bagi komitmen Presiden Prabowo dalam menegakkan prinsip rule of law dan demokrasi substantif. Ia mengingatkan, jika putusan tidak dijalankan, maka negara sama saja tidak menghormati konstitusi.
“Polisi tidak patuh. Pemerintah tidak patuh. Negara tidak patuh konstitusi. Ndak tahu itu menuju negara apa,” ujarnya kepada Magdalene.
Terpisah, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, juga mendukung putusan MK dan meminta Polri segera mematuhinya. Ia menyebut putusan tersebut sebagai upaya mengembalikan Polri sebagai lembaga yang melayani dan mengayomi masyarakat.
Baca Juga: Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (1)
Namun ia mengakui ada resistensi dari pihak kepolisian. Umumnya, kata dia, dalih yang dipakai adalah polisi memiliki kedudukan sama dengan warga sipil di jabatan sipil. Bambang menilai argumen itu keliru.
“Anggota Polri diberi kewenangan menggunakan senjata dan menegakkan hukum. Secara kewenangan jelas berbeda dengan sipil biasa. Di mana samanya?” ujarnya (19/11).
Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas bilang, polisi yang telanjur menjabat di jabatan sipil tidak perlu mengundurkan diri karena putusan MK tidak berlaku surut.
“Pejabat Polri yang sudah terlanjur menjabat tidak wajib mengundurkan diri saat ini, kecuali jika Polri secara sadar menarik anggotanya,” ujarnya, dikutip Detik.
Pernyataan ini dipersoalkan akademisi UGM, Zainal Arifin Mochtar. Ia menuturkan meski putusan MK bersifat prospektif, itu tidak berarti jabatan yang berjalan tidak dapat dievaluasi atau dikoreksi.
Ia menggambarkan dengan contoh putusan MK yang membatalkan hukuman mati. Eksekusi tidak mungkin dilanjutkan hanya karena putusan sebelumnya diambil sebelum pembatalan.
Menurut Benny, putusan MK ini menjadi ujian penting bagi komitmen Presiden Prabowo dalam menegakkan prinsip rule of law dan demokrasi substantif. Ia mengingatkan, jika putusan tidak dijalankan, maka negara sama saja tidak menghormati konstitusi.
Baca Juga: #PeringatanDarurat: Putusan MK, Penolakan DPR, dan Kejutan Pilkada 2024
“Apakah Pak Menteri tetap akan mengeksekusi si A dengan alasan hukuman itu diambil ketika MK belum melarang?” tulisnya di akun Facebook pribadinya, (19/11).
Zainal menilai tidak perlu ada pembenaran untuk mempertahankan polisi di jabatan sipil.
“Biarkan Polri berbenah. Jutaan pasang mata anak republik sedang mengawasi. Biarkan Polri segera melakukan penyesuaian.”
Irjen Pol Sandi kepada Sindo menunjukkan sedikitnya 300 polisi menempati jabatan manajerial di luar Polri. Sementara 4.132 lainnya bekerja sebagai staf, pengawal, atau ajudan di berbagai lembaga negara.
Bambang menilai jumlah tersebut signifikan dan berdampak pada struktur internal Polri, termasuk memunculkan banyak jenderal non-job dan menambah beban organisasi.
“Sebaiknya personel yang sudah lama berada di luar struktur menetap saja—alih status atau pensiun dini—agar tidak membebani organisasi.”
Ia bilang, jika Polri tidak mematuhi putusan MK, hal itu sama saja dengan “menantang negara”.
















