June 21, 2025
Issues Politics & Society

Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (1) 

Saya ngobrol dengan mahasiswa yang berpengalaman mengajukan judicial review. Pertanyaannya, apakah cara ini lebih relevan ketimbang turun ke jalan?

  • May 18, 2025
  • 8 min read
  • 2953 Views
Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (1) 

Tahukah kamu kalau aktivisme ternyata tak melulu harus turun ke jalan? Itu bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk perjuangan hukum di ruang sidang.  Setidaknya cara ini dilakukan Sandy Yudha Pratama Hulu, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). 

Ia masih ingat pengalaman perdana menggugat negara saat mengajukan judicial review atau pengujian undang-undang (JR). Kala itu, Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (UU Pilkada), yang melarang kampanye di tempat pendidikanlah yang ia gugat.  Alasannya, ketentuan ini melanggar hak konstitusional warga negara untuk punya calon pemimpin daerah berkualitas. 

“Kenapa kita waktu itu uji spesifik di pasal itu (Pasal 69 huruf i), adalah yang pertama kita tahu bahwa di Undang-Undang Pemilu (kampanye di tempat pendidikan) sudah diizinkan, masa di Pilkada enggak? Yang kedua adalah, selama proses persiapan Pilkada (sebelum pencalonan) itu kita banyak ngeliat orang-orang yang enggak jelas tuh (maju) jadi bakal calon kepala daerah,” tutur Sandy pada Magdalene. 

Baca juga: Dear Dosen se-Indonesia, Izinkan Mahasiswamu Turun ke Jalan 

Berangkat dari keresahan itu, Sandy bersama Stefani Gloria, kawan di FHUI, mengajukan JR terhadap UU Pilkada. Permohonan mereka berakhir dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juli 2024. 

Aktivisme Sandy lewat MK berlanjut di JR Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential nomination threshold.  Sandy mengakui, perkara tersebut lebih rumit dari yang sebelumnya, sehingga memakan waktu lebih lama. Perkara kedua ini juga mengguncang nyalinya lebih hebat. 
 
“Karena kita bukan hanya hadap-hadapan dengan hakim konstitusi, tapi justru menghadap pemerintah, DPR, dan partai-partai politik besar waktu itu,” kisahnya. 

Namun, di perkara ini, alih-alih takut, Sandy semakin tertantang membuktikan negara telah salah dalam merumuskan kebijakan. 

“Rasanya sih jujur menantang, tapi enggak ada rasa takut karena kita ngerasa kita benar. Jadi dengan keterangan-keterangan yang mereka (pemerintah) keluarkan, dengan bukti-bukti yang mereka sampaikan, dengan hal-hal yang mereka utarakan di persidangan, justru bukan mengurungkan niat untuk berjuang, tapi semakin menguatkan bahwa mereka salah selama ini,” ucapnya. 

Perjuangan Sandy dan kawan-kawan kembali berbuah manis. Saat itu, bersamaan dengan JR presidential threshold yang mereka ajukan, terdapat tiga perkara lain—salah satunya Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2025 dari empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. MK mengabulkan seluruh permohonan dalam perkara tersebut. 

Momentum itu mencetak sejarah baru bagi dunia hukum dan politik di Indonesia. Setelah 32 kali menolak, MK akhirnya menghapus ketentuan presidential nomination threshold. Kini, partai politik non parlemen dapat mengusung calon presidennya sendiri. Perubahan itu tak terlepas dari peran mahasiswa seperti Sandy dan para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. 

Gerakan mahasiswa dalam mendorong perubahan hukum tak berhenti sampai di situ. 

Terbaru, para mahasiswa beramai-ramai menguji UU Nomor 3 Tahun 2025 (UU TNI) ke MK. Dari sebelas perkara JR terhadap UU TNI yang telah teregistrasi, sembilan di antaranya datang dari kelompok mahasiswa. 

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyebutkan hal ini menjadi sejarah baru bagi MK. Pertama kali dalam sejarah, MK menggelar sidang dalam tiga panel dengan satu isu yang sama. 

“Jadi ini baru pertama dalam sejarah Mahkamah Konstitusi isu yang sama itu disidangkan serentak dalam tiga panel yang berbeda. Ini pertama baru sejarah Mahkamah Konstitusi karena banyak sekali permohonan. Jadi memang antusiasme untuk mengajukan permohonan tinggi,” ujar Saldi, dilansir dari Detik

Salah satu pemohon JR terhadap UU TNI adalah Muhammad Alif Ramadhan, mahasiswa FH UI. Alif bersama dengan enam rekannya menguji formil UU TNI. Mereka mendalilkan pembentukan UU TNI tidak sesuai dengan kaidah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), dan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

“Pembahasannya sembunyi-sembunyi. Tidak melibatkan masyarakat. Delapan hari selesai. Itu dari segi pembentukan sangat berbahaya sekali. Terutama di partisipasi masyarakat,” papar Alif saat diwawancara Magdalene, (10/5). 

Baca juga: Muak dan Marah, Mereka Turun ke Jalan: Esai Foto 

Bermula dari Trust Issue pada DPR 

Alif mengingat kembali momen pengesahan UU TNI (20/3)  silam. Perasaan yang membekas di dirinya adalah rasa geram.  

“Bayangkan DPR jam 10 pagi di bulan puasa, udah ketok palu,” kenangnya. 

Di pagi hari saat UU TNI disahkan, Alif dan mahasiswa lainnya masih berada di kampus. Turun ke jalan menjadi salah satu opsi untuk memprotes DPR saat itu. Namun, Alif pesimis DPR akan mendengar protes mahasiswa. 

“Enggak mungkin kita demo tiba-tiba undang-undangnya dicabut. Itu susah sekali rasanya. Karena jalur turun ke jalan tidak akan didengarkan oleh DPR, makanya kami memilih turun ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Alif. 

Momentum itu mencetak sejarah baru bagi dunia hukum dan politik di Indonesia. Setelah 32 kali menolak, MK akhirnya menghapus ketentuan presidential nomination threshold. Kini, partai politik non parlemen dapat mengusung calon presidennya sendiri. Perubahan itu tak terlepas dari peran mahasiswa seperti Sandy dan para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. 

Alif dan keenam rekannya mengajukan JR dari segi formil, yaitu pengujian terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Tujuannya, agar ke depannya pemerintah tidak lagi ugal-ugalan dalam membentuk peraturan. 

Alasan yang sama melatarbelakangi Sandy melakukan aktivisme di MK. Proses legislasi yang tidak partisipatif membuatnya menggugat kebijakan negara ke MK. 

“Karena sesuai teorinya, sebenarnya kita ngasih aspirasi soal UU dan sebagainya, mula-mulanya harus ketemu sama DPR dan Presiden. Namun karena kita tahu dua lembaga ini adalah lembaga yang enggak bisa kita percaya lagi, kita pesimis bahwa mereka bisa mengakomodasi apa yang menjadi suara kita, maka jalannya ke MK,” jelas Sandy. 

Pesimisme terhadap DPR tidak hanya dirasakan Alif dan Sandy. Dalam survei Indikator Politik Indonesia Januari lalu, DPR menempati posisi kesepuluh dari sebelas lembaga dalam tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Sementara itu, MK menempati posisi keempat. 

Di saat bersamaan, Sandy tidak menampik fakta bahwa MK dalam beberapa putusannya, tidak berpihak pada masyarakat sipil. “Kita harus tahu juga bahwa Mahkamah Konstitusi ada beberapa kali mengecewakan kita. Contoh, putusan 90 (usia minimal calon presiden dan wakil presiden), putusan PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum) Pilpres yang udah terang-benderang itu salah, tapi justru tetap ditolak,”  

Meski demikian, Alif dan Sandy masih menyisakan harapan pada MK. Sandy menilai MK sempat menunjukkan arah yang benar melalui sejumlah putusan progresif. Misalnya, putusan bahwa Jaksa Agung harus mundur dari partai politik setidaknya lima tahun sebelum menjabat, serta sejumlah putusan penting lainnya terkait Pemilu, Pilkada, dan UU ITE, yang dinilai membawa perbaikan. 

Optimisme itu juga bertumpu pada preseden yang pernah ada. UU TNI bukanlah satu-satunya produk hukum yang disahkan tanpa partisipasi publik yang bermakna. Sebelumnya, UU Cipta Kerja juga menuai gelombang penolakan karena minim pelibatan masyarakat. Ketika dibawa ke MK, undang-undang tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Bagi Alif, putusan itu menjadi dasar keyakinannya bahwa gugatannya terhadap UU TNI memiliki peluang untuk dikabulkan. 

Baca juga: Sudah Demo dan Marah di Medsos: Apa yang Bisa Kita Lakukan Selanjutnya? 

Judicial Review dan Turun ke Jalan, Mana yang Relevan? 

Sejarah mencatat gerakan sipil tak lepas dari peran mahasiswa, yang kerap turun ke jalan mengawal kebijakan pemerintah. Di era Orde Lama, gerakan mahasiswa 10 Januari 1966 melahirkan tiga tuntutan rakyat (Tritura), dipicu inflasi yang menembus 650 persen. Pada era Orde Baru, krisis moneter mendorong mahasiswa kembali turun ke jalan, memuncak pada tuntutan Reformasi 1998. 

Pasca-Reformasi, gerakan mahasiswa berkembang dalam berbagai bentuk, termasuk aktivisme hukum. Menurut pengamatan Titi Anggraini, Dosen Hukum Tata Negara FH UI, hal ini dipengaruhi oleh hadirnya saluran baru pengawasan kekuasaan lewat lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, hingga MK. 

“Jika sebelumnya, misalnya di masa saya (di gerakan Reformasi 1998), karena saluran hukum bagi warga negara tidak banyak tersedia, maka aktivisme itu lebih banyak disalurkan dengan penyampaian opini di ruang-ruang publik yang tersedia, baik itu apakah media massa atau ke turun ke jalan, demonstrasi, audiensi dengan pembuat kebijakan dan seterusnya,” cerita Titi kepada Magdalene (14/5). 

Baginya, kehadiran MK di era Reformasi membuat gerakan mahasiswa menjadi lebih berwarna, serta mengoptimalkan eskalasi gerakan mahasiswa.  

“Nah, keberadaan Mahkamah Konstitusi dan lembaga-lembaga negara independen yang bisa menjadi saluran hukum untuk melindungi hak dan menegakkan demokrasi dan negara hukum, yang kemudian bertemu dengan sistem pengajaran dan pendidikan tinggi hukum di kampus, itu melahirkan kesadaran baru tentang pendekatan aktivisme mahasiswa yang tidak melulu turun ke jalan,” ujar Titi. 

Meski demikian, bukan berarti demonstrasi tidak lagi relevan. Alif mencontohkan aksi Peringatan Darurat pada 22 Agustus lalu, saat DPR berupaya menganulir Putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Tekanan dari masyarakat sipil melalui aksi tersebut berhasil membuat DPR tetap mematuhi putusan MK. 

“Demo seharian di DPR, mahasiswa dan masyarakat sipil bergabung dan menang. Itu sangat bagus sekali. … Dalam sejarah pergerakan kita menang,” ujar Alif. 

Peristiwa itu menegaskan bahwa meskipun sudah ada Putusan MK yang mengikat, bukan berarti tidak mungkin terjadi pembangkangan oleh pemerintah. Maka, masyarakat sipil tetap dibutuhkan untuk mengawal suatu putusan yang dikeluarkan MK agar dapat dijalankan dengan baik oleh pemerintah. 

“Perlawanan itu harus dilakukan di banyak arah. Jadi tetap ada di Jalan, di MK juga, di ruang diskusi publik, di media sosial. Jadi, itu semua harus terkonsolidasi,” tambah Sandy. 

Baca artikel bagian kedua di sini. 



#waveforequality
About Author

Muhammad Rifaldy Zelan