December 15, 2025
Issues Technology

Saya Bertanya Hal ‘Terabsurd’ Apa yang Diminta Orang dari ChatGPT, ini Jawaban Mereka 

Hasil kerja AI menyusup ke tempat-tempat yang tidak terpikirkan sebelumnya. Mungkin ia ada di deskripsi aplikasi kencan yang kamu baca, atau bahkan kalimat belasungkawa yang kamu terima.

  • November 25, 2025
  • 6 min read
  • 730 Views
Saya Bertanya Hal ‘Terabsurd’ Apa yang Diminta Orang dari ChatGPT, ini Jawaban Mereka 

Akal Imitasi (AI) bisa dipakai untuk apa pun, mulai dari membantu pekerjaan profesional, menulis ucapan happy wedding, hingga deskripsi diri di aplikasi kencan. Masalahnya, di tengah bantuan instan ini, ketergantungan dan turunnya daya kritis relatif jadi ancaman.  

Edwin Giovani, 25, lupa cara menulis kalimat belasungkawa dalam agama Kristen, ketika ibu dari seorang temannya meninggal. Dia pun mencari di Google. Namun, referensi yang muncul terlalu baku. “Kok terlalu baku bahasanya? Malah kayak pendeta nih yang ngasih ucapan.” Akhirnya, dia terpikir untuk meminta ChatGPT mengerjakan tugasnya itu.  

“Di AI bisa disesuaiin nih, misal di prompt-nya ngomong, ‘jangan terlalu banyak unsur agama’, terus kayak ‘orang yang meninggal adalah ibu teman saya’ jadi kata-katanya bisa lebih pas gitu,” ucap Edwin melalui aplikasi perpesanan, (20/11).  

Tak berhenti pada satu ucapan, dia kemudian menggunakannya untuk mengucapkan selamat ke temannya yang baru menikah dan ulang tahun. Alasannya sama, referensi di Google terlalu kaku dan tidak cocok untuk diutarakan ke teman. Dengan AI, Edwin lagi-lagi menyesuaikan prompt: ‘tambahkan humor dalam ucapannya.’ 

Sementara itu, dalam pekerjaannya sebagai admin di klinik kesehatan, dia hanya sesekali memakai AI untuk membuat surat formal. Menurutnya, jika menggunakan Google, dia harus mencari lebih dari satu referensi untuk membuatnya. Sementara, dengan ChatGPT, dia hanya perlu mengetik prompt, membaca ulang, dan memperbaiki kesalahan minor.  

“Jadi gampangnya, kalau Google tuh ngasih contoh untuk kerjaan yang mau kita lakuin, kalau kita pakai AI dibikinin, tinggal diganti-ganti, tapi isinya udah mayoritas sama, karena udah benar template-nya,” jelas Edwin.  

Saat ditanya apakah kemudahan yang didapat membuatnya ketergantungan, Edwin menjawab tidak. “Gue cuma malas mikir aja kalau harus bikin ucapan gitu.” 

Baca juga: Jurnalisme di Persimpangan AI: Ancaman Ekonomi hingga Etika Redaksi 

AI dalam Keseharian  

Edwin bukan satu-satunya pengguna AI yang meminta bantuan untuk aktivitas sehari-hari. Beberapa orang menggunakannya untuk curhat, minta validasi, bahkan mengisi deskripsi aplikasi kencan 

Mahasiswa bernama “Nathan” – bukan nama sebenarnya – 22, meminta ChatGPT membuat deskripsi untuk akun Bumble-nya. Dia menulis kepribadian dan ciri fisik yang ingin ditunjukan di kolom prompt, kemudian memerintahkan AI membuat paragraf lucu berdasarkan informasi itu.  

Gue tuh males mikir buat Bumble, kayak receh banget,” kata Nathan kepada Magdalene via telepon, (21/11). Pun begitu, hasilnya kurang memuaskan, hingga Nathan terpaksa harus memodifikasinya. “Karena humornya belum natural banget kalau pakai ChatGPT. Garing gitu,  jadi gue modif lagi,” kisahnya.  

Selain untuk deskripsi aplikasi kencan, Nathan mengaku beberapa kali curhat ke ChatGPT. Dia sering tak bisa tidur ketika malam datang. Teman-temannya sudah tak ada yang aktif. Tidak ada yang bisa dihubungi untuk sekadar curhat. Akhirnya, ia menulis keluh-kesahnya di prompt ChatGPT.  

Kayaknya gue kesepian deh makanya gue pakai AI,” tutur Nathan. Ketika keadaan terbalik, Nathan menanggapi curhat temannya dengan bantuan AI. Ia tidak meminta ChatGPT membuat kalimat tanggapan. Namun, ia yang bingung cara menanggapi, “minta saran ini balasnya gimana,” lanjutnya.   

Fungsi curhat juga dipakai oleh karyawan swasta, Flaga Nindi, 31. Ia bercerita ke ChatGPT untuk mendapatkan validasi. Suatu ketika, saat dia mendapat perlakuan yang kurang baik dari atasan, Flaga menanyakan pada ChatGPT apakah ia berhak marah. Di kolom prompt, Flaga menceritakan kejadian demi kejadian secara runut.  

ChatGPT menerima ceritanya ditertawakan dan dimaki atasan di depan karyawan lain, saat tidak bisa mengetik ucapan sang atasan dengan cepat. Ia yang merasa tidak pernah mengalami perundungan, bertanya pada AI apakah yang terjadi padanya dapat dikategorikan sebagai bullying.  

“Jadi sebenarnya gue salah enggak sih kalau ngerasa marah, kesel, atau apa lah gitu. Karena kalau cerita ke orang, gue enggak tahu orang yang mau gue ceritain itu lagi fine aja. Tapi kalau AI kan enggak punya hari buruk kayak manusia,” ujarnya.  

Baca juga: Kamu Nyaman Curhat dengan ChatGPT, Awas Kena Mental 

Bikin Malas dan Insecure 

Penggunaan AI untuk hal sehari-hari mungkin terlihat harmless, tetapi ada bahaya ketergantungan yang mengintai di belakangnya.  

Nathan pertama kali menggunakan AI pada 2023 untuk mengerjakan tugas kuliah. Awalnya, dia memerintahkan ChatGPT untuk memparafrase beberapa kalimat dari jurnal dan artikel yang ia cari di mesin pencarian. Lama-kelamaan, ia meminta ChatGPT mencari jurnal dan artikel.  

Dari awalnya hanya untuk memangkas waktu, pada satu titik, dia merasa ketergantungan. Malas berpikir, kehabisan kata-kata saat menulis, hingga ide yang sulit didapatkan membuatnya lari ke AI. “Setiap kali otak buntu, gue langsung otomatis mau lari ke AI. Itu momen gue merasa ketergantungan sama AI,” tuturnya.  

Flaga merasakan hal serupa. Suatu kali, jarinya terbata-bata ketika menulis caption untuk konten Instagram pribadi. Hasrat untuk meminta AI membuatkannya pun muncul seketika. Selain itu, dia juga jadi tidak bisa menulis dalam Bahasa Inggris tanpa bantuan AI. Kepercayaan dirinya luntur saat menuliskannya sendiri.  

“Jadi karena enggak pede dan Bahasa Inggris gue juga masih yang belajar, gue akhirnya minta AI buat benerin grammar gue. Setiap nulis Bahasa Inggris sendiri enggak pede akhirnya,” kata Flaga.  

Selaras, Nathan juga mengatakan kepercayaan dirinya dalam menulis dan melantunkan bahasa Inggris juga menurun. “Padahal misalnya buat ngobrol biasa aja, enggak begitu krusial. Tapi gue sampai minta koreksi ke ChatGPT, kan harusnya enggak usah ya.” 

Apa yang Nathan dan Flaga rasakan tercatat dalam jurnal berjudul, “The effects of over-reliance on AI dialogue systems on students’ cognitive abilities: a systematic review”. Zhai, Santoso, dan Lily (2024) menulis ketergantungan AI, membuat kreativitas dan daya berpikir kritis menurun. Ini tercermin dari kemampuan menulis yang tidak lancar karena buntunya jalan pikiran.  

Baca juga: Ini yang Dikritik Seniman Soal AI Generatif 

Menyadari sudah ketergantungan, Flaga mengaku sedang berusaha mengurangi penggunaan AI. Ia mulai membaca buku, aktivitas yang sempat ia tinggalkan, untuk memperkaya kosa kata. Sekarang, ia menggunakan AI hanya untuk urusan pekerjaan yang butuh kecepatan. Untuk Instagram pribadi, Flaga kembali memakai kreativitasnya sendiri.  

“Karena enggak bisa nulis caption tuh udah jadi alarm banget sih buat gue. Kayak pakai sosmed aja kan, gue sering detox ya, AI pun begitu,” ujarnya.  

Di sisi lain, Nathan masih berusaha untuk bisa mengurangi penggunaan AI, tetapi belum berhasil. Lagipula, menurutnya, mesin ini akan jadi barang familier yang dipakai semua orang. “Seiring dengan peekembangan zaman, AI ini bakal dipakai dan familier sama semua orang, termasuk gue, mungkin lo juga, dan kita. Kayaknya enggak bisa lepas dari AI sih,” pungkasnya.  

—  

Mungkin AI bisa menyusup di caption Instagram dan deskripsi Bumble yang kamu baca, skripsi yang kamu jadikan referensi, serta kalimat belasungkawa yang kamu terima. Namun percayalah, hasil kerja mesin itu tidak ada di artikel ini. Sebab, saya mengetik dengan tangan dan kepala sendiri, tidak pakai ChatGPT.  

Magdalene meluncurkan #AkalAkalanAkalImitasi yang merangkum tulisan menarik tentang AI dan anak muda di Indonesia. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.