‘From #OpenToWork to #OpenToLove’: Ketika LinkedIn Jadi Arena Cari Jodoh, Aman Enggak Sih?

Pernahkah kamu, pengguna LinkedIn, menerima pesan DM bernada genit (flirty)? Entah itu ajakan untuk berkenalan, berlanjut ke obrolan yang makin personal atau bahkan ajakan eksplisit untuk berkencan?
Siapa sangka, platform yang kita kenal sebagai arena profesional yang cenderung formal untuk membangun jaringan dan koneksi, pengembangan karir, serta berburu pekerjaan, kini diam-diam punya ‘fungsi’ baru. Ya, LinkedIn, tempat kita biasa flexing pencapaian karier, kini jadi ajang lirik-lirikan mencari jodoh.
Beberapa netizen di X (sebelumnya Twitter) bahkan menganggap LinkedIn sebagai platform kencan alternatif yang menawarkan keunggulan berbeda. Salah satunya karena penyajian tampilan profil kandidat pasangan yang dinilai lebih real.
Penilaian netizen di X ini terbilang masuk akal. Dilansir dari CNN Indonesia, kebijakan LinkedIn mengharuskan penggunanya untuk menghubungkan profil LinkedIn ke laman perusahaan tempat mereka bekerja. Sehingga mekanisme ini menciptakan lapisan validasi ekstra yang meningkatkan kredibilitas dan jarang ditemui di platform lain.
Dengan demikian, bagi para pencari jodoh, hal ini memberikan semacam jaminan awal terkait keaslian identitas dan latar belakang seseorang.
Akun X @dayeVLR setuju soal kepastian ini, ia menulis: “Cari jodoh sekarang di linkedin aja, beb. biar gak makan waktu background check nya.”
Senada dengan itu, akun @phokyuki juga berpendapat: “Screeningnya lebih gampang gak sih? apalagi klo udah verif email perusahaan, sudah 65 persen yakin tidak bodong.”
Bahkan akun @sedikit_penuh merasa bahwa proses untuk mengidentifikasi calon jodoh potensial jadi jauh lebih mudah. “gampang bangettt lg cari jodoh di linkedin. semua nama, pekerjaan, real. ga ada tuh namanya akun linkedin alter wkwkwkw. dari linkedin nya kita bs tau tipe kita atau bukan. lbh gampang utk ngeprofiling sesuai tipe ideal kita. karena all real.”
Aplikasi Kencan Mulai Meredup
Ketika LinkedIn semakin populer, di saat bersamaan, banyak orang mulai meninggalkan aplikasi kencan. Violet Lim, CEO dan Co-Founder Lunch Actually Group (perusahaan penyedia layanan aplikasi kencan) di CNBC Indonesia, menyebut bahwa masyarakat Indonesia kini mulai merasa ‘lelah’ menggunakan aplikasi kencan. Rasa lelah ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari terlalu banyaknya pilihan, ragu pada keaslian profil, hingga kekhawatiran akan privasi data.
Bahkan, laporan dari Lunch Actually sendiri menunjukkan bahwa, sebanyak 73 persen pengguna aplikasi kencan pernah menjadi korban penipuan. Tingginya angka ini memicu krisis kepercayaan (trust issue) bagi pengguna aplikasi dan membuat mereka sulit menjalin hubungan romantis dengan orang baru.
Kecenderungan untuk beralih dari aplikasi kencan ke platform lain yang tidak dirancang khusus untuk urusan asmara, ternyata bukan cuma guyonan di kalangan netizen Indonesia. Di belahan bumi lain, laporan BBC juga turut menyoroti tren ini. Tercatat 79 persen Gen Z di Amerika Serikat mulai meninggalkan aplikasi kencan populer seperti Tinder dan Bumble. Banyak di antaranya berpindah ke platform berbasis minat seperti Strava (platform penggemar olahraga) dan Letterboxd (platform penggemar film).
Konon, generasi muda di sana mulai jenuh dengan aplikasi kencan yang seolah menawarkan banyak pilihan calon pasangan potensial. Namun kenyataannya dirasa tidak sesuai dengan yang dijanjikan, swipe kanan – kiri tanpa henti justru sering kali berakhir pada kekecewaan. Alhasil, rasa muak inilah yang mendorong mereka mencari cara baru dalam menjalin relasi yang lebih otentik.
Rupanya, hal ini juga dirasakan netizen di indonesia,
“Udah ga zaman nyari di dating apps, nyari di LinkedIn. Masa depan terjamin, langsung tau latar belakang pendidikan & pekerjaan” ujar akun X @ElGusGadPrak yang seakan mengamini bahwa LinkedIn, dengan transparansi profilnya, memang menawarkan keotentikan yang dicari-cari itu.
Mempertanyakan Keamanan LinkedIn
Pada titik ini, fitur #OpenToWork di profil LinkedIn seolah bertransformasi menjadi #OpenToLove bagi sebagian penggunanya.
Transformasi ini didukung testimoni netizen di X yang bersaksi mengenai keberhasilan hubungannya. Berawal dari bertukar pesan DM di LinkedIn hingga berlanjut ke jenjang pernikahan. Kisah unik yang dibagikan oleh akun @chloe_sakhi tentu semakin menambah daya tarik tersendiri bagi platform ini.
“#jodohkuunik Sesuai hashtag jodohku memang unik. Ketemunya juga unik, via DM LinkedIn. Kirain mau di rekrut jadi karyawan, gataunya di rekrut jadi istri”
Namun, di tengah gelombang antusiasme dan kisah sukses ini, pertanyaan besar pun muncul: Ketika LinkedIn jadi arena baru dalam mencari jodoh, apakah praktik ini aman?
Desri, 34, seorang pekerja organisasi non-pemerintah, skeptis dengan keamanan itu. Meskipun ia mengakui keunggulan LinkedIn dalam menyuguhkan transparansi profil dibandingkan aplikasi kencan, baginya, prinsip kehati-hatian dan tidak mudah percaya pada profil seseorang adalah kunci, termasuk saat berinteraksi di LinkedIn.
“Kita tau banyak banget kan kasus kriminal kaya penipuan, bahkan sampai pembunuhan dari orang-orang yang saling kenal di dating apps. Jadi kayaknya agak serem aja buat gue kalo mau kenalan sama orang asing tanpa tau info yang cukup tentang latar belakangnya,” tuturnya kepada Magdalene.
Perasaan Risih dan Khawatir
Pengalaman tak mengenakkan dirasakan oleh beberapa pengguna LinkedIn yang merasa platform profesional mereka kini ‘diserbu’ pendekatan personal yang tak diinginkan. Keresahan ini terekam jelas dalam berbagai unggahan di media sosial X, mulai dari permintaan tak senonoh hingga luapan frustrasi.
Salah satu suara yang mewakili kekesalan terhadap pelanggaran batas profesional ini diungkapkan oleh akun @barbajaa yang menulis: “Pernah ada orang dm di linkedin kirain mau tanya apa eh malah minta pap tt mana ngotot lagi, anjir lah kata gw lu cowok sangean mulu ga tau tempat”
Tak kalah geram, pemilik akun @kinderrry juga mengungkapkan kemarahannya terhadap malfungsi LinkedIn di tangan sebagian orang yang salah mengartikan tujuannya. “STOP JADIIN LINKEDIN TEMPAT DATING BUAT CARI JODOH, bisa bisanya gw lagi cari loker dan relasi mala di flirt orang?!!?!!!!! berasa dating apps lu?”
Bahkan, lebih jauh lagi, keresahan ini telah berkembang menjadi kekhawatiran mendalam akan potensi modus penipuan dan pelecehan yang lebih serius. Potensi risiko inilah yang ditakutkan oleh akun X @wortel1907. Ia menulis: “Takut banget, nanti direachout alasan awal manggil interview kerja, eh malah jadi vcs (Video Call Sex).”
Artikel Forbes berjudul “LinkedIn Is Not A Dating Site” menganjurkan agar LinkedIn tidak digunakan sebagai situs kencan. Praktik itu dinilai tidak profesional dan berpotensi menimbulkan pelecehan, kerugian bisnis, serta masalah hukum.
Artikel itu menekankan bahwa fokus utama LinkedIn adalah untuk jejaring profesional, dan penggunaannya di luar tujuan tersebut dapat merusak kredibilitas platform itu sendiri, yang berdampak negatif pada reputasi individu maupun perusahaan.
Sementara itu, di halaman kebijakan komunitasnya, LinkedIn dengan tegas melarang penggunaan platformnya untuk pendekatan romantis. Mereka menyatakan: “Kami tidak mengizinkan ekspresi ketertarikan, hasrat, permintaan hubungan romantis, lamaran pernikahan, rayuan atau sindiran seksual, atau komentar cabul yang tidak diinginkan”
Mereka juga menambahkan, “LinkedIn adalah platform jaringan profesional, bukan situs kencan. Jangan gunakan LinkedIn untuk mencari hubungan romantis, meminta kencan, atau memberikan komentar seksual tentang penampilan atau daya tarik seseorang” tegas LinkedIn di situs resminya.
Potensi Bahaya Kencan Melalui LinkedIn
Achmed Faiz Yudha Siregar, peneliti di Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada, menyoroti risiko keamanan digital di balik tren mencari jodoh di LinkedIn. Ia melihat adanya potensi penyalahgunaan data pribadi dan ketimpangan relasi yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna.
Menurutnya, potensi ini dapat mengarah pada tindakan kejahatan di ruang digital, seperti love scam, pemanfaatan status untuk menciptakan relasi kuasa, penyalahgunaan kekuasaan dengan motif genit, pencurian identitas, cyber harassment, dan berbagai modus kejahatan lainnya.
LinkedIn, sebagai platform profesional, diharapkan dapat bertanggung jawab dalam merumuskan langkah-langkah strategis untuk menyikapi dinamika baru ini. Krusial bagi LinkedIn untuk mengembangkan sistem deteksi, antisipasi, dan penanganan yang lebih baik.
“Secara konkrit, perlu semacam fitur warning yang muncul pada saat sebelum berinteraksi atau menerima pesan atau menerima ajakan connect sebagai network. Kemudian, warning atau notifikasi tersebut dimunculkan sesuai dengan report yang telah dilakukan oleh pengguna lainnya atau fraud yang terdeteksi dari system. Upaya preventif seperti edukasi atau campaign batasan dalam interaksi professional dan personal di LinkedIn, serta potensi risikonya, juga penting” ujar Achmed kepada Magdalene (28/5).
Selain itu, Achmed menyarankan bagi sesama pengguna di LinkedIn agar saling menghargai dan menjaga etika dalam berinteraksi. Termasuk menghormati privasi, dengan tidak menyebarkan informasi atau melakukan interaksi yang bermuatan SARA, pornografi, maupun tindakan harassment lainnya, serta menghindari perilaku manipulatif, yang berkedok memanfaatkan status profesional demi kepentingan personal yang tidak bertanggung jawab.
Selain menerapkan batasan etika, secara praktis, para pengguna perlu membatasi mencantumkan informasi pribadi yang bersifat sensitif, kecuali untuk pihak yang berkepentingan. Kemudian, perlu membatasi interaksi yang bersifat personal melalui DM di LinkedIn.
“Hindari menyebarkan nomor HP dan media sosial pribadi di postingan publik. Untuk meminimalisir risiko dihubungi oleh pengguna (LinkedIn) random yang memiliki motif personal. Kemudian, manfaatkan fitur yang disediakan seperti akses terbatas, report, block dan yang lainnya sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh pengguna demi melindungi diri dan menghindari interaksi yang tidak bertanggung jawab di LinkedIn” tutup Achmed.
Langkah-langkah perlindungan diri ini sangat relevan, khususnya bagi perempuan, yang menurut data dari SAFEnet dan UN Women, lebih sering menjadi target perilaku manipulatif dan kekerasan online. Ini tidak terlepas dari dimensi gender yang memang kerap menjadi pemicu kerentanan mereka di ranah digital.
