‘Mankeeping’: Saat Perempuan Jadi Pengasuh Pasangannya Sendiri
Fitri, 52, telah menjalani peran pengelola rumah tangga hampir sepanjang usia pernikahannya. Selama 25 tahun, rutinitas itu nyaris tak berubah. Ia memastikan segala hal berjalan semestinya, dari urusan besar hingga detail paling kecil yang kerap luput dari perhatian orang lain di rumah.
Suaminya adalah guru yang disegani di sekolah. Namun di ruang domestik, hampir seluruh urusan keseharian bergantung pada Fitri. Ia yang mencatat jadwal mengajar suaminya di kalender besar di dapur, memastikan kemeja sudah disetrika rapi, dan mengingatkan hal-hal dasar yang sering terlupakan.
“Kalau mau pergi keluar bersama keluarga, persiapan saya itu dua kali lipat,” tutur Fitri. “Saya harus menyiapkan baju gantinya hingga celana dalamnya bahkan sesimpel mastiin dia sudah bawa botol (minum) dan dompetnya sendiri. Kalau enggak, dia bakal nyelonong aja manasin mobil.”
Bagi Fitri, ini bukan sekadar bantuan kecil, melainkan tanggung jawab besar yang dipikul sendirian. Apalagi ketimpangan ini sering kali merembet ke wilayah emosional. Fitri cerita dalam hubungannya, ia selalu menjadi pihak yang harus terus-menerus menjaga perasaan pasangan dan meminta maaf lebih dulu saat terjadi konflik.
“Saya minta maaf supaya masalah cepat selesai. Saya takut kalau belarut-larut, dia jadi makin sulit dihadapi. Jadinya, saya harus mengalah demi kestabilan emosi dia,” ujarnya.
Baca Juga: Bahaya Incel dan Femisida: Percakapan Penting Setelah Nonton ‘Adolescence’
Ketika Perempuan Jadi Pengasuh Pasangannya
Kondisi serupa dialami Indri, 37. Ia bahkan menyebut suaminya dengan julukan “Bayi Gede”. Setelah menikah, Indri merasa tidak hanya berbagi ruang hidup, tetapi juga memikul tanggung jawab merawat seorang manusia dewasa yang harus terus diarahkan dalam hampir semua hal.
Beban itu melampaui urusan domestik sehari-hari. Indri harus memastikan fungsi dasar hidup suaminya berjalan dengan baik, termasuk mengingatkan makan, memastikan waktu istirahat cukup, hingga mengurus kebutuhan medis. Perbedaan usia lima tahun, ditambah riwayat tekanan darah tinggi sang suami, membuat Indri merasa perannya bergeser menjadi perawat pribadi.
Ia memantau asupan makanan, menjadwalkan kontrol ke dokter, dan memastikan obat diminum tepat waktu. Pernah suatu malam, tekanan darah suaminya melonjak setelah tiga hari dinas luar kota tanpa menjaga pola makan. Parahnya, obat darah tinggi yang sudah Indri siapkan di tas justru lupa diminum.
Situasi itu membuat Indri kehilangan kesabaran dan memarahi suaminya.
“Saya merasa sedang menjaga bayi yang enggak bisa ngapa-ngapain. Kariernya boleh aja bagus, dia disegani sama orang-orang, tapi soal menjaga diri sendiri, nol besar,” tuturnya.
Peran pengasuhan tambahan yang dilakukan Fitri dan Indri kepada pasangannya ini disebut sebagai mankeeping. Melansir artikel Times of India, mankeeping merujuk pada dinamika relasi di mana perempuan terjebak dalam peran pengasuhan terhadap pasangannya. Dalam kondisi ini, perempuan tidak hanya menjadi pendamping, tetapi memikul beban dominan dalam mengatur detail kehidupan, mengelola urusan sosial, hingga menjadi penanggung jawab tunggal atas stabilitas emosi laki-laki.
Akibat peran dominannya ini, perempuan menjadi rentan mengalami burnout. Fitri misalnya sering kali kehilangan kendali atas emosinya sendiri dan jadi terbiasa mengeluarkan emosi ke anak perempuannya.
“Saya jadi sering menangis di depan anak karena capek banget,” aku Fitri.
Sementara Indri cenderung menginternalisasi beban tersebut seorang diri, yang pada akhirnya memicu perasaan marah.
Mengutip artikel NDTV berjudul “Am I Dating A Boyfriend Or Raising One?” dilaporkan, sebanyak 72 persen perempuan mengalami burnout akibat kelelahan menjadi mentor emosional bagi pasangan mereka. Fenomena ini juga disorot oleh Al Día News dalam tulisan “What Is Mankeeping, the Behavior That Exhausts Women?” yang menyebut perilaku ini sebagai “tenaga kerja emosional tak berbayar”. Perempuan dipaksa menjadi terapis, sekretaris sosial, bahkan koordinator pertemanan bagi pasangannya tapi dengan konsekuensi kelelahan emosional dan mental.
Baca Juga : Di Sini Incel, di Sana Incel: Pengalamanku Seminggu Selami Komunitas Pembenci Perempuan
Konstruksi Gender dan Jebakan Internalisasi Misogini
Psikolog klinis Nirmala Ika kepada Magdalene menjelaskan mankeeping berakar dari konstruksi konstruksi gender yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sejak dahulu. Nirmala memaparkan pola pengasuhan yang mendorong norma gender tertentu membuat perempuan dibesarkan sebagai pengasuh alami. Memori pengasuhan ini bahkan sudah dimulai sejak di dalam kandungan.
Ketika ibu hamil tetap harus menjalankan peran domestik, mengurus keluarga, hingga melayani suami dan mertua, seluruh residu emosional berupa frustrasi, kebingungan, dan kesedihan ikut terbawa ke dalam tubuhnya. Emosi itu tidak berhenti pada diri sang ibu, melainkan turut dirasakan oleh janin yang ia kandung.
“Perempuan akhirnya mengambil peran sebagai pengasuh kan karena sudah diajarin dari kecil. Semua memori ibu itu sedihnya dia, frustasinya dia, termasuk juga bagaimana men-take care itu, semua juga udah bisa dirasakan si anak yang dalam kandungan,” jelasnya.
Kondisi ini membentuk pola di mana pemenuhan diri perempuan kerap dilekatkan pada kemampuannya mengayomi dan merawat orang lain, terutama pasangan. Sebaliknya, laki-laki sejak kecil lebih sering disosialisasikan untuk bergantung pada kerja-kerja perawatan perempuan, alih-alih belajar mengelola kebutuhan dasarnya sendiri.
Nirmala menegaskan, situasi ini bukan semata persoalan memanjakan pasangan, melainkan kegagalan sistem sosial yang tidak memberi ruang bagi laki-laki untuk mengembangkan sisi kemandirian domestik dan emosional.
Namun, dalam banyak kasus, praktik mankeeping juga lahir dari internalisasi misogini pada perempuan itu sendiri. Banyak perempuan merasa perlu melakukan segalanya agar merasa berguna dan bernilai. Tanpa disadari, dorongan ini justru menutup ruang bagi laki-laki untuk belajar dan bertanggung jawab.
Hal ini tampak dalam praktik sehari-hari, seperti melarang suami mencuci piring karena dianggap bukan pekerjaan laki-laki, atau menolak melimpahkan tanggung jawab dengan asumsi laki-laki tidak becus.
Padahal, tidak sedikit laki-laki yang sebenarnya ingin terlibat. Namun karena terus-menerus dikritik atau diambil alih, mereka akhirnya merasa tidak dipercaya dan berhenti mencoba. Pada titik ini, ketergantungan pun terbentuk dan semakin menguat.
“Lama-lama akan muncul bahwa apa guna gue. Itu memengaruhi konsep diri si laki-laki juga, dia jadi ngerasa kenapa aku gak dipercaya. Dan kalau laki-laki yang ingin membantu tapi tidak diizinkan terus, itu sebenarnya sumber konflik jadinya,” tutur Nirmala.
Baca Juga : Pak, Bu, Mendengar Anak Bukan Tanda Kelemahan Orang Tua
Memutus Rantai dan Belajar Berbagi Peran
Memutus rantai mankeeping enggak bisa hanya dibebankan pada perempuan. Perubahan juga menuntut keterlibatan aktif laki-laki untuk berhenti mengambil posisi pasif dalam relasi. Selama laki-laki merasa wajar untuk terus dilayani, diarahkan, dan diselamatkan dari konsekuensi ketidakmampuannya sendiri, pola mankeeping akan terus berulang. Karena itu, tanggung jawab perubahan harus dipikul bersama.
Di saat bersamaan, perempuan juga perlu melakukan proses unlearn dan relearn terhadap bias gender yang sudah lama mengakar. Tanpa disadari, banyak perempuan hanya mereplikasi peran pengasuh yang mereka lihat sejak kecil, tanpa pernah mempertanyakan apakah peran itu benar-benar pilihan sadar.
Langkah awal yang krusial adalah menggugat kembali standar tersebut. Perempuan perlu menelusuri ulang pola pengasuhan yang membentuk dirinya, lalu bertanya apakah gambaran perempuan ideal yang selama ini dipegang berasal dari kehendak pribadi atau sekadar warisan ekspektasi sosial yang timpang.
Proses ini juga berarti membedah respons emosional sendiri. Mengapa muncul kecemasan saat pasangan tidak cekatan mengurus pekerjaan domestik. Mengapa rasa bersalah hadir ketika perempuan memilih tidak melayani pasangan secara total. Dengan mengurai asal-usul emosi tersebut, perempuan sedang berupaya merebut kembali otoritas atas dirinya sendiri.
Setelah bias itu dikenali, langkah berikutnya adalah membangun batasan yang sehat dan mulai memprioritaskan diri. Perempuan perlu berani melepaskan rasa bersalah yang selama ini dilekatkan pada keputusan untuk tidak selalu mengambil peran pengasuhan.
“Jangan merasa bersalah dan kemudian jangan jadikan itu sebagai alat juga untuk mempertahankan pasangan kita. Intinya sebenarnya kita harus belajar jadi diri kita sendiri,” ucap Nirmala.
Ketika batasan internal mulai terbentuk, perubahan dalam relasi dapat dilakukan dengan memberi ruang nyata bagi laki-laki untuk belajar. Ini berarti membiarkan pasangan memikul tanggung jawab domestik dan emosionalnya sendiri, meski hasilnya mungkin belum sesuai standar yang selama ini dibangun perempuan.
Jika perempuan terus mengambil alih setiap kali pasangan melakukan kesalahan, maka laki-laki tidak akan pernah tumbuh menjadi individu yang mandiri. “Biarkan dia belajar sampai akhirnya peran itu diemban sepenuhnya sama dia. Karena niatan dia tidak bisa kita abaikan begitu saja lalu kita marah-marah atau ambil alih peran itu,” saran Nirmala.
Pada akhirnya, relasi yang sehat tidak menuntut perempuan melumpuhkan kemandirian pasangan demi membuktikan cinta, apalagi menempatkan diri sebagai ibu bagi laki-laki dewasa. Keluar dari jerat mankeeping memang tidak mudah, karena berarti membongkar standar lama yang telah mengeras selama puluhan tahun. Namun langkah inilah yang membuka jalan menuju relasi yang lebih setara, manusiawi, dan saling bertumbuh.
















