Rumah untuk Pulang
Menjauhi pulang bertahun-tahun, kali ini perjalanan ke kampung halaman terasa ganjil buat saya. Menguatkan sekaligus melegakan.
Tampaknya kita perlu sepakat, 2019 adalah tahun yang aneh. Pasalnya, kita semua merasa ini adalah tahun yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Faktanya, semua berubah dalam waktu singkat. Momen 2019 juga jadi saat terakhir saya pulang ke rumah. Pandemi di satu sisi memang membuat saya selalu mengurungkan niat untuk kembali.
Selama “krisis” ini, saya dan keluarga hanya berkomunikasi via grup whatsapp. Semua update, berita, kabar saya uraikan di sana (beberapa anggota keluarga mencoba mengikuti di Instagram tapi saya tolak karena ogah dikepoin aktivitas saya di Jakarta).
Lebaran pertama pandemi, 2020, semua keluarga memaklumi keabsenan saya. Lagipula, ini bukan pertama kalinya saya tidak pulang ke rumah saat hari raya. Di Lebaran kedua pandemi, 2021 ada yang bertanya kenapa saya tidak pulang. Meskipun saya sudah vaksin, saya menjawab dengan jujur: “Saya mengikuti anjuran pemerintah.”
Sebenarnya saya tidak begitu dekat dengan keluarga. Saya bukan jenis orang yang akan menceritakan segala hal yang saya alami di Jakarta. Sejak hijrah ke ibu kota pada 2009, saya sudah terbiasa untuk menyaring informasi yang saya bagikan ke keluarga. Selain karena saya ingin mengurangi banyak pertanyaan tidak penting, saya tak mau mereka cemas. Orang rumah tidak perlu tahu jatuh bangun saya selama merantau. Yang perlu mereka tahu adalah saya baik-baik saja.
Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua (1)
Saya sendiri sudah punya support system berupa teman-teman yang baik. Itulah sebabnya ketika saya kena COVID-19 pada Desember 2020, saya tidak memberi tahu keluarga di Malang. Saya baru memberi tahu mereka tiga bulan kemudian saat saya sudah benar-benar kembali seperti semula.
Saya juga tidak tahu kenapa saya menunggu selama itu untuk memberi tahu orang rumah. Namun, informasi ini terasa seperti ramalan. Karena tidak lama setelah saya memberi tahu orang rumah bahwa saya positif, adik dan beberapa anggota keluarga lain terkena COVID-19 juga. Total ada sembilan orang yang kena penyakit tersebut. Beberapa pergi ke rumah sakit, dua orang isolasi mandiri di rumah. Berita bagusnya semua orang sembuh.
Lepas dari itu, meskipun saya cenderung malas pulang, tahun ini saya merasa rindu pada masakan Malang. Tak hanya makanannya yang lezat, ghibah baru pun terlalu sayang buat dilewatkan. Apalagi buat saya sendiri, bergosip kurang seru kalau dimediasi lewat media sosial.
Setelah memesan tiket pesawat dan menitipkan Rico, kucing yang saya anggap seperti keluarga sendiri ke vet, saya akhirnya tes antigen dan bertolak ke bandara. Meskipun saya memakai masker, membawa hand sanitizer kemana-mana, mengikuti protokol kesehatan, rupanya tetap paranoid juga melihat banyak sekali orang berkerumun di satu tempat. Ini pertama kalinya saya ke bandara sejak pandemi dan rasanya horor sekali menyaksikan banyak orang berkumpul. Lebih degdegan karena banyak orang yang sudah mulai masa bodoh dengan masker mereka (tetap dipakai tapi diturunin sampai dagu), sementara notifikasi berita di hape saya terus-terusan meneriakkan berita soal kasus Omicron yang meningkat.
Sebelum sampai ke rumah, saya sudah sampaikan ke adik, saya akan menginap di hotel dengan alasan ada pekerjaan yang menuntut untuk Zoom meeting tengah malam. Ini adalah kebohongan karena sejujurnya saya ingin tidur di kasur daripada di sofa seperti setiap kali saya pulang ke rumah. Meskipun orang rumah santai dengan saya bangun siang tapi saya selalu cranky kalau di rumah karena pagi-pagi rumah berisik sekali. Dengan tidur di hotel, saya tetap bisa menjaga ritme harian dengan baik. Win win solution. Orang rumah menerima alasan ini dan tidak curiga sama sekali.
Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua (2)
Meskipun saya di Malang hanya tiga hari (karena saya tidak bisa berpisah dengan Rico lama-lama), kunjungan saya ke kampung halaman sangat menyenangkan. Begitu saya sampai ke rumah, tante dan adik langsung menyambut saya dengan berita-berita penting yang krusial (seperti tetangga yang langsung bergosip ke seluruh tetangga lain ketika mereka kena COVID-19 yang berpengaruh terhadap bisnis laundry keluarga). Mendengarkan tante dan adik saya mengeluarkan semua gosip keluarga terpanas selama dua setengah tahun terakhir, lengkap dengan gestur dan ekspresi mereka yang penuh semangat, membuat saya ikhlas berpisah dengan Rico untuk sementara.
Keesokan harinya saya pergi mengunjungi makam ayah, pergi menemui ibu dan kakak saya lalu mengunjungi rumah saudara-saudara (setiap rumah saudara yang saya kunjungi selalu menyapa dengan, “Kok gendutan?” lalu diikuti dengan, “Kapan menikah?”). Malamnya saya bertemu dengan teman-teman SMA saya dan ketawa-ketawa soal hal yang enggak penting-penting amat. Rasanya sungguh menyenangkan sekali.
Anehnya ketika saya balik ke Jakarta, rasanya saya seperti mendapat tambahan energi padahal aktivitas saya di Malang hanya duduk, bergosip, makan makanan rumah sambil ketawa-ketawa. Pulang ke rumah kali ini ternyata mengingatkan saya bahwa bertemu langsung dengan orang rumah rasanya sangat beda dengan sekadar bertukar kabar seadanya di grup whatsapp.
Baca juga: Puan Pulang Petang
Ketika saya pulang, tante saya bertanya apakah saya akan pulang Lebaran ini. Saya menjawab jujur, “Iya pulang,” dalam hati saya sudah tidak sabar mendengar update gosip keluarga berikutnya.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.