Culture Prose & Poem

(Bukan) Rumah untuk Semua (1)

Peringatan pemicu. Fiksi liris yang memotret salah satu realitas lesbian di Indonesia.

Avatar
  • May 8, 2019
  • 9 min read
  • 879 Views
(Bukan) Rumah untuk Semua (1)

(1)

Sofia melihat Putri lagi hari Jumat setelah pulang sekolah untuk latihan musik. Kali ini mereka bertukar senyum. Selesai latihan, Sofia memberanikan diri untuk bertanya apakah Putri punya rencana lain setelah itu. Tidak ada, kata Putri, kenapa – kamu mau mentraktirku nonton? Jadilah kedua perempuan itu pergi ke bioskop untuk menonton film lokal. Mereka tertawa-tawa sambil berjalan keluar teater. Ada beberapa adegan yang sungguh lucu, ada juga yang menjadi lucu karena sesungguhnya itu adegan gagal. Selepas menonton film, mereka lapar dan lalu pergi ke Sarinah untuk makan. Sepanjang melahap burger dan kentang goreng McDonald’s yang sama sekali tidak sehat itu mereka masih tertawa-tawa, kemudian membicarakan hal-hal lain selain film.

“Ke mana kamu akan pergi setelah lulus SMA?” tanya Putri.

 

 

“Aku akan pergi ke Amerika untuk belajar bisnis. Sesuai keinginan bapakku,” kata Sofia mantap. Tidak ada perasaan terpaksa karena dia memang ingin belajar bisnis juga. Dia juga senang jika bisa membahagiakan bapaknya. “Bagaimana denganmu?”

“Aku akan masuk universitas negeri, belajar ilmu komputer,” kata Putri, tanpa ragu juga, seakan tidak sulit untuk masuk universitas negeri.

Keduanya tidak memiliki rencana cadangan, karena mereka berdua adalah anak-anak yang mampu. Orang tua Sofia bisa membiayainya kuliah di luar negeri, sementara Putri memiliki kepintaran untuk diterima di universitas negeri mana pun. Kedua anak perempuan itu telah dibuat sadar akan keberuntungan-keberuntungan itu selama mereka tumbuh besar. Dan mereka bersyukur setiap hari. Maka mereka menghabiskan burger dan kentang goreng dengan puas dan beranjak pulang.

Sofia

Setelah lepas misa syukuran akhir semester dan acara kelulusan SMA-nya, Sofia, anak Cina delapan belas tahun itu meringkuk di tahanan kantor polisi. Sudah seminggu dia menangis tanpa henti. Suaranya habis. Seluruh mukanya bengkak. Rambutnya mencuat ke mana-mana. Kuku-kukunya hitam.

Bapaknya telah menanam bukti palsu bahwa dirinya menenggak ekstasi dan menghisap ganja, menelepon sendiri kepala polisi dan menyuruh mereka menangkap anaknya yang lesbian. Beberapa jam sebelum tindakan reaktif itu, Sofia telah berkata jujur tentang kedekatannya dengan Putri.

“Papa, aku suka perempuan,” kata Sofia. “Dia orang yang baik, dan kami saling menyukai.”

Si Papa melempar ponselnya sendiri, barang yang kebetulan paling dekat dengannya, ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Jadi anaknya termasuk kelompok menjijikkan itu. Bagaimanapun, Papa adalah salah satu pebisnis terkuat di negeri ini. Dia bisa melakukan apa saja. Uang yang dia gunakan untuk menyekolahkan anak-anak sopir dan pembantunya hingga tamat kuliah dan membanjiri anak-anaknya sendiri dengan hadiah-hadiah dan perangkat edukasi terbaik yang bisa dibelinya, kini dia kucurkan untuk menipu aparat hukum dan menjebloskan Sofia ke kurungan. Dia lebih rela melihat Sofia dibui begitu kejamnya daripada membiarkan, apalagi menerima, kelakuan bungsunya itu.

Pada hari kedelapan, seorang laki-laki berseragam polisi masuk ke sel Sofia. Dia melucuti pakaiannya sebelum menerjang dan memperkosa Sofia yang menjerit sampai tenggorokannya mau pecah, menangis, dan menendang-nendang. Tapi Sofia kalah kuat. Laki-laki itu tinggi, besar, gemuk dan berat. Dia menabok wajah Sofia keras-keras dan berteriak “Diam!”. Sofia tidak ingin mati di kurungan. Maka dia hanya bisa menangis kecil selama binatang itu memperkosanya. Setelah sepuluh menit yang mengerikan, laki-laki itu bangkit, mengancingkan celana dan kemejanya kembali dan berkata, “Seharusnya kau terima kasih, aku sudah mengembalikanmu ke jalan yang benar. Kini kau bakal ketagihan burung laki-laki.” Lalu dia membanting pintu di belakangnya hingga menutup. Sofia pingsan di lantai.

Sejak kecil Sofia telah tahu dirinya menyukai sesama perempuan, meski dia selalu merasa dirinya aneh karena itu. Dia punya karakter kartun-kartun favorit, menaruh hati pada bintang-bintang rock, hingga membayangkan dirinya berpacaran dengan bintang-bintang film, yang semuanya perempuan. Dia melihat teman-temannya yang lain tumbuh mengidolakan artis laki-laki, dan berusaha untuk mencari daya pikat dari sosok-sosok maskulin itu, namun tidak menemukannya.

Dia merasa sangat bersalah, berdosa bahkan, saat menyadari dia tertarik pada manusia-manusia feminin. Dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kecenderungannya itu, dan berharap itu semua hanya “fase” yang akan dilewati dan dilupakan saat memasuki usia dewasa. Seperti kebanyakan orang, Sofia tidak ingin mengecewakan orang tuanya, terutama Papa. Namun, tidak semua yang ada dan terjadi bisa sesuai kehendak makhluk mortal. Karena itu, meski telah sekuat tenaga mencegahnya, Sofia tetap jatuh cinta pada Putri. Dia tahu itu cinta monyet. Tapi tetap saja atraksinya sama.

Pada hari kesepuluh, Sofia dibebaskan dari kurungan. Papa telah membayar lebih banyak uang untuk membuat kepala polisi yang diteleponnya itu menghentikan kasus Sofia. Kasus itu tidak pernah naik ke pengadilan, dan kepala polisi “memutuskan” bahwa Sofia bisa bebas. Sofia kembali ke rumah Mama karena dia tidak mungkin bisa menatap Papa lagi. Hatinya hancur dan kepingan-kepingannya mengoyak ribuan luka di jiwanya.

Sofia mengenang hari-hari di mana dia duduk minum anggur bersama Papa. Di mana dia bisa bercerita macam-macam pada lelaki itu. Sofia biasanya akan turun dari lantai atas dan akan menemukan Papa sedang duduk di sofa kulitnya yang besar sambil ditemani botol anggur dan gelas yang telah dituang setengah penuh. “Hai beautiful,” Papa biasa memanggilnya dengan ceria. “Sini, minum anggur.”

Lelaki itu adalah perintis sebuah bank yang kemudian beranak perusahaan pembiayaan. Dia salah satu pebisnis dalam negeri yang diperhitungkan. Dia telah bercerai dengan mantan istrinya – yang tidak kalah kaya – namun tetap menjaga hubungan mesra dengan kedua anak gadisnya. Dia sendiri menjalin hubungan dengan banyak perempuan, dan sangat terbuka tentang itu. Namun Sofia tidak keberatan dengan semua keadaan keluarganya. Semua pacar Papa baik-baik. Sofia adalah remaja yang dewasa – dia tahu bahwa tidak semua keluarga beruntung untuk bisa bertahan pada definisi tradisional suami, istri, dan anak-anak. Bahwa keluarga adalah keluarga, tidak peduli bagaimana bentuk dan strukturnya, selama anggotanya saling menerima, mencintai dan menopang satu sama lain saat salah satu dari mereka membutuhkan, maka itu lebih dari cukup.

Sofia menangis terisak-isak di tempat tidurnya yang baru dan asing. Papa yang begitu dia disayangi, seorang keluarga yang amat dia percaya, telah berubah menjadi begitu bengis dalam semalam. Hanya karena Sofia berbeda.

Putri

Putri tidak pernah melihat Sofia lagi untuk waktu yang lama. Bapak Sofia telah menelepon Ibu Putri dan memberitahukan segalanya. Perempuan itu tidak percaya begitu saja omongan pria asing, dan segera menanyakan kebenaran kabar tersebut pada anaknya satu-satunya.

Putri mendongak dari buku yang dibacanya. “Apa yang kau dengar itu benar, Mama.” Mendengar itu, perempuan tua itu menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.

Putri adalah anak yang serba bisa. Dia begitu cemerlang di sekolah. Dia pandai menyanyi. Dia pandai memasak. Dia ahli komputer. Dia bisa mendesain sebuah aplikasi sederhana yang dalam hitungan menit. Dia juga yang membantu sekolah elitenya itu membuat jaringan sistem pengamanan yang kompleks. Dia bisa dengan mudah menyabet beasiswa-beasiswa paling bergengsi untuk dikirim ke Jerman, Belanda, dan Amerika. Namun dia memilih universitas negeri demi menemani ibunya yang tua dan sakit-sakitan. Bapaknya meninggal sepuluh tahun yang lalu. Jadi dia menyayangi ibunya dengan segenap jiwa raganya, dan bertekad tidak akan meninggalkan sisinya meski bom dijatuhkan di atas rumahnya.

Kini, di hadapan ibunya yang masih menangis sedu sedan, Putri tidak tahu harus berbuat apa. Dia terbiasa menangani segalanya dengan efisien. Kali ini dia seperti truk besar mogok di tengah jalan ramai. Menjulang dan kikuk dilihat banyak orang.

Pertama kali Putri berkenalan dengan Sofia adalah pada sebuah latihan musik untuk misa akhir semester. Dia akan membawakan sebuah lagu diiringi permainan gitar Sofia. Ketika menyanyi, Putri mengangkat tangan dan menjentikkan jarinya sesuai irama. Dia mengayunkan badannya ke kanan dan ke kiri, mengangguk-anggukkan kepala.

“Andaikan aku lakukan yang luhur mulia, jika tanpa kasih cinta, hampa tak berguna. Andaikan aku pahami bahasa semua, hanyalah bahasa cinta kunci tiap hati.”

Mulutnya tersenyum, memamerkan giginya yang putih rata serta lesung di kedua sisi pipinya. Dia merasakan Sofia, gadis seangkatannya itu, mengamati dirinya diam-diam. Saat mereka beres-beres untuk istirahat, Putri menepuk pundak Sofia. “Bagi nomormu, dong.” Kelihatan sekali Sofia dibuatnya gugup. Namun Sofia langsung mengeluarkan buku tulisnya. “Nomormu berapa? Nanti aku yang kirim pesan,” kata Sofia. Putri meraih buku tulis dari tangan Sofia dan mengeluarkan pensil dari kantong roknya, lalu menuliskannya di situ. “Supaya bisa berkabar kalau ada perubahan jadwal latihan,” kata Putri sambil menyerahkan buku itu kembali.

Setelah beberapa saat yang rasanya seperti berabad-abad, Ibu menghentikan tangisnya, menaruh tangannya di dada, dan berkata dingin pada Putri. “Kau akan mengambil beasiswa yang bisa membawamu paling jauh dari rumah ini. Aku tidak sudi melihatmu lagi selamanya.” Lalu dia beringsut-ingsut ke dapur untuk membuat kopi.

Seperti Sofia, Putri telah lama tahu akan kecenderungan yang dia miliki. Berbeda dengan Sofia, Putri tidak berharap bahwa kecenderungan itu akan lewat. Otaknya terlalu encer, sehingga dia telah melahap bacaan-bacaan berbahasa Inggris, termasuk makalah-makalah terbaru yang mengulas seksualitas manusia yang begitu luas, kompleks, dan beragam. Putri juga menganggap dirinya religius. Dari usia yang sangat muda dia telah menghafal cerita-cerita kitab suci, dan membanding-bandingkannya dengan pandangan agama-agama lain di seluruh dunia. Dia menghabiskan hampir seluruh waktu luangnya untuk membaca, dan “bermain” komputer, untuk mempelajari tanggapan-tanggapan lain dari seluruh belahan bumi akan bermacam-macam subjek yang didalaminya itu. Dia membaca, menulis, menonton video, mendengarkan orang berbicara, dan ikut berdiskusi.

Seperti ahli-ahli agama dan sains yang jauh lebih tua darinya, Putri menyimpulkan bahwa kecenderungannya bukan azab dari Tuhan, melainkan suatu variasi manusia sebagaimana spesies kita tumbuh menjadi tinggi atau buntet, gemuk atau kurus, atletik atau artistik. Sebagian besar didikte oleh genetik, dan sebagian sisanya dipengaruhi oleh lingkungan. Variasi itu adalah variasi yang netral, dan sebagaimana orang tinggi atau pendek, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Yang ada hanyalah yang dipandang atraktif oleh manusia lain atau tidak, dan dalam kasus ketertarikan seksual ini, hanyalah persoalan mana yang dianggap “normal” atau “abnormal”. Penilaian-penilaian seperti itu adalah manusia yang menentukan. Sementara variasinya sendiri, adalah kenyataan alam. Seperti keberadaan lautan dan gunung-gunung. Manusia boleh mengatakan sebuah gunung terkutuk, namun gunung itu sendiri telah demikian adanya bahkan sebelum manusia-manusia yang mengutuknya lahir.

Tiga bulan berlalu dan ibu tidak menarik kembali omongannya. Dia telah berhenti bicara pada Putri sama sekali. Maka, Putri menggendong satu-satunya koper miliknya dan naik ke pesawat. Dia menoleh ke belakang, ke tanah air yang menolaknya, dan bertolak ke Jepang tanpa pernah kembali lagi.

Baca bagian kedua dari cerpen ini di sini.

Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa



#waveforequality


Avatar
About Author

Antonia Timmerman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *