Health Lifestyle

Menyiksa Diri dengan ‘Hyper-Independence’

Pernah dengar istilah “Kritikus paling kejam adalah diri sendiri”? Orang-orang dengan hyper-independence pasti akrab dengan situasi ini.

Avatar
  • July 20, 2022
  • 5 min read
  • 3960 Views
Menyiksa Diri dengan ‘Hyper-Independence’

“Mau dibantuin, gak?

“Enggak usah, makasih.”

 

 

Pernahkah kamu berada di percakapan seperti di atas? Kalau jawabannya iya, dan terjadinya masih sesekali, selamat. Artinya kamu tak perlu membaca artikel ini lebih lanjut. Namun, jika kamu termasuk yang sering kali menolak bantuan—terlepas apa pun bentuknya—dari orang lain ataupun orang terdekat, hati-hati. Bisa jadi kamu punya hyper-independence.

Apa itu hyper-independence? Lalu bagaimana hyper-independence memengaruhi kehidupan sehari-hari? Apa keterhubungan antara hyper-independence dan bertahan dari trauma? Bagaimana caranya mengatasinya?

Baca juga: Empat Jurus Ampuh Berhenti Stres dan ‘Overthinking’

Hyper-independence Menurut Psikologi

Memilih untuk tidak bergantung pada semua orang, meskipun hal itu dapat berdampak negatif bisa disebut hyper-independence. Konselor profesional Joanne Frederick dalam artikel Can Hyper-Independence Be a Trauma Response? menyebutkan hyper-independence muncul sebagai perspektif “aku” bukan “kita”. Beberapa contoh di antaranya seperti: mengambil terlalu banyak tanggung jawab, mengatakan tidak untuk membantu, mengalami masalah dengan pendelegasian tugas.

Akar dari hyper-independence bisa disebabkan oleh trauma di masa lalu, terlebih jika tidak ada orang dewasa yang dapat dipercaya atau diandalkan. Sehingga mau tak mau mengandalkan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah atau melindungi diri.

Hyper-independence yang memiliki kaitan dengan trauma masa lalu juga akan berpengaruh pada alam bawah sadar diri. Faktanya, respons sistem saraf telah menyebabkan sifat-sifat ini berkembang dalam upaya untuk melindungi diri dari trauma lainnya.

“Terkadang, tubuh dan pikiran secara alami menemukan cara untuk bertahan dari trauma itu, ada sebuah pemikiran: saya perlu melindungi saya, dan tidak ada yang akan melakukan ini lagi kepada saya,” kata Frederick.

Melansir dari Hyper-independence: A Possible Characteristic of Trauma yang diunggah Exploring Your Mind, trauma avoidant attachment yang diterima seseorang di masa kecilnya berbuntut menjadi hyper-independence. Psikolog Michael B. Sperling menjelaskan dalam bukunya Attachment in adults: Clinical and developmental perspectives mengenai dampak avoidant attachment kepada orang dewasa.

Anak yang tidak menerima kasih sayang, dukungan, dan perlindungan dari orang tuanya akan berhenti meminta apa yang tidak mereka terima. Seperti, berhenti menangis, menekan emosi mereka, dan dalam hyper-independence, menjadi mandiri pada usia dini.

Efek dari attachment pada anak hingga orang dewasa bermacam-macam. Mulai dari  berhenti mempercayai orang lain, menjaga jarak emosional, tertutup, dan sangat ketakutan. Bentuk keintiman, kedekatan, dan cinta menjadi hal asing dan ditakutkan. Dalam kasus yang lebih parah, hyper-independence memiliki pemikiran pesimis terutama tentang orang terdekat. Mereka selalu takut akan dikhianati, sama seperti kejadian trauma yang dulu mereka alami.

Karena menghindari keintiman, orang dengan hyper-independence selalu menolak segala jenis bantuan, menjalani hidup dengan bebas, menghindari komitmen dalam hubungan, dan mengatakan lebih suka menyendiri daripada membentuk hubungan dengan orang lain.

Baca juga: Overcoming My Obsession with Self-Improvement

Karakteristik Hyper-independence

Memiliki teman atau pasangan adalah hal yang dihindari orang dengan hyper-independence karena ‘takut’ dikhianati, ditinggalkan, disakiti. Mereka akan menghindari orang yang bisa menjadi teman atau pasangan, lebih lagi jika mereka menyadari perasaan suka atau tertarik terhadap seseorang, insting mereka langsung ingin melarikan diri.

Menghindari hubungan yang bisa menyebabkan rasa sakit yang sama yang mereka derita di masa lalu, adalah karakteristik hyper-independence lainnya. Dalam Exploring Your Mind ada lima karakteristik hyper-independence yang biasanya sering ditemukan:

1. Workaholic

Menyibukan diri dengan pekerjaan menjadi dalih untuk menghindari segala macam komitmen seperti, persahabatan, keluarga, dan pasangan. Menimbun diri dalam pekerjaan atau terobsesi dengan tujuan pekerjaan menjadi salah satu kebiasaan memilih untuk tidak bergantung dengan orang lain.

2. Sulit mendelegasikan atau meminta bantuan

Karakter lainnya yang paling awam adalah merasa “dapat menangani apa saja”.  Meskipun mereka butuh bantuan atau mendelegasikan tugas mereka enggan untuk melakukan hal tersebut. Karena mereka merasa otoritas dan kekuatan yang mereka dicabut. Bagi hyper-independence, menjadi tegas, efisien, dan menyelesaikan semuanya tanpa bantuan siapa pun adalah hal yang dibanggakan.

3. Memiliki kepribadian tertutup

Mereka menyembunyikan diri dengan menekan emosi. Walaupun dirinya merasa terpuruk, orang dengan hyper-independence sulit berbagi dengan siapa pun yang mereka rasakan atau apa yang membuat mereka khawatir. Lingkungan emosional dan fisik seseorang dengan hyper-independence menjadi hal yang personal buat dirinya sendiri.

4. Cenderung membuat keputusan sepihak

Orang dengan karakteristik ini akan selalu membuat keputusan sepihak dan sangat tersinggung jika apa yang mereka sarankan tidak dilakukan. Mereka kesulitan dalam hidup bersama orang lain. Hyper-independence mudah berselisih paham dengan orang lain, merasa frustrasi jika hal-hal tidak berjalan seperti yang mereka inginkan, sulit berbagi ide, sulit berkomunikasi dan bekerja dalam tim.

5. Mereka benci membutuhkan dan atau dibutuhkan

Hyper-independence tidak menyukai ketika mereka mulai membutuhkan seseorang. Keintiman dari perasaan cinta untuk dekat dengan orang lain, untuk berbagi waktu, hidup, dan pengalaman, asing bagi mereka. Mereka menghindari keintiman seperti perasaan membutuhkan atau ada yang membutuhkannya. Hanya dengan cara ini mereka menghindari risiko terluka atau dikhianati.

Melihat kelima contoh karakteristik hyper-independence, bukan berarti tidak ada cara menangani hal tersebut. Ada beberapa trik yang bisa dilakukan agar “independensi” tidak menjuruskan diri lebih buruk.

Baca juga: Owning Our Insecurities and Needing Help for It is More Than Okay

Cara Mengatasi Rasa Mandiri Berlebihan

Dalam Can Hyper-Independence Be a Trauma Response? yang ditulis Taneasha White di PsychCentral menjelaskan, sah saja seseorang membutuhkan waktu menyembuhkan luka emosional. Meskipun sulit bagi hyper-independence menerima dukungan dan bantuan, kedua hal tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik secara positif.

Dalam artikel juga menyebutkan sda tiga cara yang bisa dicoba mengatasi hyper-independence.

  1. Jika ingin menolak bantuan, perlu dicari tahu alasannya. Apakah itu didasarkan pada keinginan untuk menangani hal-hal sendirian?
  2. Pertimbangkan bagaimana keadaannya diri jika menerima bantuan yang diberikan.
  3. Mengingatkan diri meminta dan menerima bantuan bukan berarti tentang kemampuan atau kemandirian, karena normal manusia membutuhkan bantuan.

Memiliki luka emosional dan trauma terlebih dari orang yang dipercaya memang menyakitkan. Namun, manusia adalah makhluk sosial sehingga tidak bisa menghindari interaksi dan kedekatan dengan orang lain. Belajar berdamai dengan masa lalu dan menyelesaikan trauma lebih baik ketimbang menyiksa diri dengan merasa bisa melakukan semuanya sendiri.

Jika kamu memiliki kesulitan dalam meminta bantuan atau membuka diri dengan orang lain karena trauma, kalian bisa menghubungi ahli profesional. Menangani masalah kesehatan mental lebih baik jika dilakukan bersama ahli yang mendalami kesulitanmu.

Ingat, membutuhkan orang lain bukanlah sebuah kelemahan. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Theresia Amadea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *