Politics & Society

Konservatisme di Indonesia pada Taraf Mengkhawatirkan

Konservatisme di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, dan kita perlu mencari tahu akar permasalahannya untuk mengatasi masalah ini.

Avatar
  • June 17, 2016
  • 15 min read
  • 1316 Views
Konservatisme di Indonesia pada Taraf Mengkhawatirkan

Cendekiawan Muslim Mun’im Sirry senang melakukan provokasi dengan melemparkan isu ‘aneh’ baik di media sosial maupun dalam tulisan-tulisannya. Bukan untuk mencari sensasi, tapi untuk mendorong diskusi dan mengguncang konservatisme agama yang menurutnya sudah sampai tahap mengkhawatirkan.
 
Beberapa pandangannya dianggap terlampau liberal bahkan sesat:
 
Mengenai Ramadan: “Ramadan itu bukan bulan luar biasa, yang luar biasa bulan Rajab, dimana tidak boleh perang, itu tradisi pra-Islam. Ramadan menjadi luar biasa itu terjadi secara gradual, terjadi setelah Nabi wafat…”
 
Mengenai sikapnya yang pro-LGBT: “Argumen saya sederhana, ini manusia juga, terus mau diapain? Kalau menurut saya dia bermartabat sebagai manusia, pasti ada cara untuk menafsirkan (ajaran agama) secara berbeda.”
 
Menurutnya, umat Kristen itu orang beriman, bukan kafir dan soal jilbab, ia sepakat dengan Prof. Quraish Shihab bahwa ada perbedaan pendapat dalam berbagai mazhab mengenai kewajiban perempuan memakai jilbab.
 
Pandangan-pandangan seperti ini bukan tanpa dasar ilmu. Mun’im adalah asisten profesor di Departemen Teologi University of Notre Dame di Indiana, AS. Ia mendapatkan gelar S1 dan S2 dari International Islamic University di Islamabad, dan gelar doktor dalam studi Islam dari University of Chicago.
 
Tulisannya ada di berbagai jurnal dan media nasional dan internasional, dan ia telah menelurkan buku berjudul Scriptural Polemics: The Quran and Other Religions (Oxford University Press, 2014).
 
Magdalene baru-baru ini berbincang dengannya saat ia sedang berkunjung ke Jakarta, dan berikut adalah kutipan dari perbincangan tersebut.
 
Magdalene: Pak Mun’im masih bolak balik ke sini?
Mun’im Sirry: Ya. Kita di Notre Dame baru meluncurkan proyek multiyear, kelompok kerja tentang Indonesia. Itu bagian dari proyek lama sebenarnya, yang disebut dengan “Contending Modernities.” Problem yang dihadapi modernitas ini begitu kompleks, jadi tidak mungkin diatasi oleh satu agama saja, atau satu kelompok saja. Kita ingin melibatkan Kristen, dalam hal ini Katolik karena kampus saya kampus Katolik, Muslim, dan yang terakhir ini yang problematik, kelompok sekuler. Bagaimana ketiga kelompok ini menegosiasi, merespon, mengapropriasi tantangan modernitas.
 
Kenapa kelompok sekuler problematik?
Secara kategoris kan problematik, siapa yang disebut kelompok sekuler? Kita sudah punya tiga working groups sebetulnya. Yang pertama working group tentang agama dan bioethics, masalah kedokteran kan selalu menjadi isu menarik. Yang kedua tentang migrasi dan kaitannya dengan cosmopolitanism. Kita teliti di kota-kota besar, apa dampak migrasi terhadap kecenderungan exclusivism atau sebaliknya. Yang ketiga working group tentang Indonesia Menarik sekali Notre Dame ini sudah melirik bahkan secara khusus membuat working group tentang Indonesia.
 
Yang mengusulkan Pak Mun’im?
Saya yang mengusulkan. Jadi kita mendanai tujuh penelitian yang dilakukan oleh berbagai peneliti dan sarjana baik dari Indonesia maupun dari Amerika dan Eropa, melakukan penelitian tentang, tema besarnya itu peaceful co-existence. Saya kira itu isu yang paling krusial di kita sekarang. Jadi ada penelitian, baik itu individual dan kolaborasi, misalnya Pak Bob Heffner dengan Pak (Fajran) Zain, ingin buat skala civic pluralism di empat kota besar di Indonesia, dari Yogya, Maluku dan Sumatra Barat. Ada penelitian misalnya, dari Askal Salim, direktur lembaga penelitian UIN Jakarta, dia melakukan kolaborasi dengan UIN Yogyakarta tentang dampak syariatisasi di Aceh terhadap non-Muslim atau kelompok minoritas. Ada yang melakukan penelitian di Lombok, karena Lombok itu menarik, di sana itu ada Muslim, Kristen tapi juga Hindu. Ada tujuh penelitian yang kita danai.
 
Tema besarnya peaceful co-existence karena Indonesia dianggap contoh atau karena sedang terancam?
Saya kira bagaimana pun ya… mungkin untuk dikatakan sebagai contoh sangat problematik. Tapi banyak hal yang orang luar bisa belajar dari Indonesia, bagaimana keragaman agama itu di-manage. Setelah orang kecewa dengan Arab Spring… dulu ketika terjadi Arab Spring, orang mendambakan mungkin Timur Tengah akan menjadi model perkawinan agama, terutama Islam, dengan demokrasi. Tapi kan orang kecewa, apa yang terjadi di Mesir, kemudian di Tunisia juga ada masalah. Orang kembali melihat tidak ada yang bisa dijadikan contoh. Nah, Indonesia, saya kira, salah satu yang orang bisa belajar. Bukan contoh karena kita tidak punya model ideal. Turki saya kira gagal juga. Indonesia belum kita katakan gagal, tapi menghadapi problem yang nyata betul tentang masalah co-existence ini.
 
Jadi pertanyaan sentral yang ingin kita teliti dari proyek penelitian ini adalah sebenarnya sederhana, kenapa satu wilayah itu cenderung konfliktual, misalnya di Maluku, di Jawa Barat. Itu kan tingkat konflik dan diskriminasi terhadap non-Muslim itu tinggi sekali. Saya kira Jawa Barat itu salah satu yang pada level provinsi atau masyarakat, itu hostility-nya tinggi sekali. Sementara itu di tempat-tempat lain peaceful coexistence-nya cenderung bisa di-manage, seperti Yogyakarta. 
 

Kita itu kayak orang sakit, semua orang ngasih resep tanpa ada diagnosa penyakitnya apa.
 

Atau kenapa di satu daerah conflict resolution bisa dilakukan tapi di daerah lain sulit sekali. Nah, kita lihat, bukan hanya daerah yang Muslim/non-Muslimnya equal, seperti di Maluku, tapi juga di mana Muslimnya mayoritas, seperti di Sumatra Barat, dan minoritas, seperti di Nusa Tenggara. Apakah variabel  mayoritas/minoritas ini mengambil peran tertentu dalam either mempertahankan peaceful co-existence atau menjadi kendala. Itu kira-kira gagasan dasarnya tentang working group kita.
 
Tentang konservatisme agama ini, apakah tingkatnya sudah sangat mengkhawatirkan? Haruskah saya mulai mencari suaka ke luar?
Saya kira mengkhawatirkan sekali, tapi ini juga fenomena global kan. Kalau kita lihat di penelitian Pew Forum, tingkat religious restriction di dunia mengalami peningkatan tajam. Jadi mereka kelompokkan dalam tiga: negara-negara yang bebas/hostility-nya kecil, menengah dan tinggi. Sekarang yang dulu relatif bebas atau hostilitasnya kecil sekarang meningkat, ini fenomena global. Jadi apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya bagian dari potret besar apa yang terjadi di dunia.
 
Di Amerika sekarang tingkat hostilitasnya tinggi, terbukti dengan kampanyenya Donald Trump, misalnya. Di mana-mana ada semacam… orang menggunakan banyak istilah, ada religious resurgence, atau radikalisasi, sama saja istilahnya. Ini kan berarti tesis sekularisasi itu gagal. Orang mengira, semakin modern masyarakat semakin tidak ada ruang untuk agama, terutama di ruang publik, ternyata tidak. Di Amerika, peran publik agama semakin kentara. Semua kandidat presiden pasti ngomong soal agama, kalau tidak nggak akan dipilih.  
 
Di Indonesia, apa yang harus dilakukan?
Saya kira proyek-proyek seperti “Contending Modernities” ini perlu digalakkan. Saya kira kita harus tahu akar permasalahannya apa. Problem kita itu terlalu banyak orang ngasih solusi tanpa meneliti apa yang terjadi. Kita itu kayak orang sakit, semua orang ngasih resep tanpa ada diagnosa penyakitnya apa. Saya kira yang perlu dilakukan sementara adalah lihat dulu. Misalnya radikalisme di kalangan remaja, itu kan mengerikan sekali. Banyak penelitian, bahkan anak SMA – SMA bukan Aaliyah – menolak hormat bendera, dianggap syirik. Kita perlu tahu ini masalahnya apa?
 
Ini yang disebut oleh Leila Ahmed, profesor di Harvard. Dia meneliti – ini persis seperti kita – dia meneliti jihadis di Mesir. Jihadis ini secara diam-diam menggurita ke semua tempat tanpa kita sadari. Penelitiannya menarik, tentang fenomena jilbab. Penelitiannya itu dari tahun 1950an sampai tahun 2010. Dulu tahun 1950an di sekolah-sekolah di Kairo, yang pakai jilbab, kita bisa lihat secara visual di foto-foto wisuda kuliah, hanya satu pakai jilbab. Tahun 1970 hampir separuh. Tahun 1990 sebagian besar, tahun 2010 orang pakai cadar sebagian besar. Bagaimana gerakan ini, tanpa kita sadari…berjihad diam-diam.  
 
Saya optimistis penelitian di Notre Dame bisa paling tidak mendiagnosa masalahnya apa. Jadi kita bisa tahu betul ada problem, tapi opportunity-nya juga ada. Jadi opportunity-nya itu yang harus diperluas. Sekarang ini kan kita tidak tahu masalahnya apa, apa yang bisa kita lakukan, masing-masing ngasih obat dan obatnya salah, masalahnya semakin kompleks.
 
Masing-masing daerah itu harus di-treat berbeda-beda dan saya kira juga solusinya juga harus berbeda, karena ada sesuatu yang bekerja baik di sini belum tentu di tempat lain bekerja karena kompleksitas demografi, dan lain-lain. Kita hampir meng-cover semua daerah di Indonesia. Itu kan proyek tiga tahun.
 
Saya kira dalam tiga tahun kita bisa tahulah. Kita tidak mengklaim akan kasih solusi, tapi paling tidak kita tahu diagnosanya apa, penyakitnya dulu. Kita akan menghasilkan buku, policy note untuk diajukan ke pemerintah. Syukur-syukur kerja sama Notre Dame dan kampus-kampus (Indonesia) akan digalang.
 
Di sekolah-sekolah negeri Islamisasinya sudah parah…
Di satu sisi ini keberhasilan kelompok-kelompok seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Tapi di sisi lain ini juga kegagalan kelompok-kelompok yang mengedepankan argumen plularisme. Ide-ide mereka menjadi elitis sekali dan mungkin juga argumen mereka salah. Itu yang saya tulis. Mereka itu cenderung berkontribusi pada pengerasan kelompok-kelompok keras. Misalnya dengan menganggap semua agama itu sama; argumen dasarnya bisa dipahami seperti itu. Padahal pluralisme bukan agama sama. Tetapi mereka berkontribusi terhadap lahirnya fatwa itu, dan fatwa itu salah. Jadi saya kira teman-teman pluralis punya kontribusi juga, sehingga munculnya kesalahpahaman.
 
Pijakan argumen dasarnya salah. Misalnya mereka ini cenderung mengabaikan mendiskusikan hal-hal yang berbeda. Mereka ini kalau ketemu hanya dengan orang yang seide, kalau diskusi lintas agama, mereka hanya mengundang kelompok-kelompok pluralis yang mereka ajak. Jadi diskusinya indah betul karena seide semua. Nggak pernah mengundang FPI misalnya. Kita perlu melibatkan yang tidak seide dengan kita, libatkan dalam dialog. Ya kalau mau yang enak-enak gampang saja toh. Justru yang sulit yang harus kita address.

 

 

Tapi kadang-kadang memulai dialog saja sulit karena kelompok-kelompok keras itu belum apa-apa sudah sangat defensif biasanya. Caranya bagaimana?
Karena kita yang salah mempersepsikan itu. Bahwa yang berbeda itu tidak perlu menjadi perhatian kita. Padahal seharusnya yang berbeda itu yang menjadi perhatian kita. Karena hal-hal yang sama sekali pun, misalnya Tuhan itu satu, tetapi semakin kita masuk ke dalamnya, memang konsep Tuhan di masing-masing agama itu memang beda. Jadi kerangka berpikir kitanya salah, kita cukup berhenti di kulit luar yang seolah-olah sama.
 
Misalnya tentang redemption, bahwa Yesus turun untuk menyelamatkan umat. Ada yang bereaksi, di Islam juga ada konsep syafa’at. Jadi cenderung menyama-nyamakan juga. Saya bilang, kedua konsep itu berbeda sekali. Tapi karena framework kita udah salah, kita cenderung cari-cari yang sama saja. Kita kemudian tidak meng-address problemnya, seolah-olah sudah cukup di hal-hal yang sama.
 
Betul memang, kesamaan itu bisa dijadikan starting point, tetapi jika berhenti di situ, kita gagal. Karena orang-orang tahu sebetulnya berbeda. Orang kalau sudah tahu berbeda di awal kemudian tinggalkan. Itulah sebabnya, kelompok-kelompok keras itu kita tidak mau libatkan karena kita dari awal sudah bilang mereka berbeda, kita tinggalkan saja.
 
Poin saya adalah, mereka yang berbeda itulah yang mesti kita ajak duduk bersama. Mereka tidak mau dari awal bahwa itu persoalan lain, tapi minimal cara pandang kita dulu yang harus benar.
 
Mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan, juga mengatakan hal yang sama. Bahwa kita, kelompok moderat yang kurang mengerti dan menjangkau kelompok garis keras.
Saya kira benar. Makanya dalam tulisan-tulisan saya, saya selalu ingin mempersoalkan hal-hal yang oleh kawan-kawan saya yang pluralis itu di-pick up ulang. Hal-hal yang kita anggap tidak masalah, kita buka kembali, karena asumsi dasar kita memang harus direvisi. Kalau kita mengalami “kegagalan” jangan cari kambing hitam di luar. Jangan-jangan memang ada sesuatu yang salah dalam diri kita. Saya selalu mencoba untuk memproblematisasi hal-hal yang oleh yang lain sudah dianggap benar. Saya kira dengan cara itu, minimal ada daerah baru lah.
 
Saya kira teman-teman mengalami kemandekan intelektual sekarang ini. Bahkan saya coba provokasi dengan ide yang aneh-aneh, itu paling beraninya komentar di Facebook. Tidak ada yang menulis, mungkin karena merasa teman, tidak ada yang menanggapi. Bahkan saya bilang, tanggapi dong. Saya tidak tahu ada apa, apakah karena euforia politik sehingga semua ingin jadi politisi, dan seterusnya. Sehingga hal-hal yang bersifat daerah intelektualitas… saya kira tidak. Bahkan sudah dipancing, responnya hanya di social media. Mungkin ini problem social media, orang nggak mau nulis panjang sedikit. Kalau kita hanya berhenti di situ, tidak mau nulis panjang, itu problem besar.
 
Langkah pertama untuk membuka dialog antaragama atau dengan kelompok yang berbeda itu apa?
Itu kompleks memang, dari mana mulainya. Idealnya kita ajak mereka duduk bersama, tapi itu sangat ideal, tidak mudah dilakukan karena pengelompokan itu sudah kadung tajam. Misalnya dari dulu JIL itu menganggap FPI dsb itu sebagai musuh dan sebaliknya demikian. Jadi dari awal mereka memposisikan diri sebagai lawan. Tapi sangat mungkin lembaga-lembaga lain selain JIL, seperti Maarif… Problemnya begitu sekarang ini. Siapa pun yang sedikit berbeda dianggap JIL, seperti saya, padahal saya gak ada hubungan apa-apa dengan JIL. Kalau JIL sudah sulit karena dari awal sejarahnya memang sudah ingin konfrontasi. Tapi bukan tidak ada kontribusinya. Jadi biarkanlah itu kerjaan JIL, memang harus ada yang melawan FPI dengan keras. Tapi harus ada teman-teman lain yang melakukan cara lain.
 
Persoalannya, di dalam sendiri pertarungannya runcing. Di NU misalnya, ada NU garis lurus, ada yang garis lucu (tertawa). Jadi pertarungan internal di dalam juga menarik. Tapi itu kan dinamika saja. Bahwa mereka punya kesempatan untuk menarik kelompok-kelompok di luar mereka untuk berbicara masih terbuka. Muhammadiyah juga sama, ada Maarif Institute, ada Al-Maun… kan mereka punya lembaga-lembaga anak muda yang progresif. Muhammadiyah relatif bisa mengajak mereka berdialog karena Muhammadyah sendiri kan agak cenderung “radikal” dibandingkan NU. Mereka punya potensi untuk (menjangkau kelompok-kelompok itu).
 
Jadi yang pertama, saya kira, setelah kita melakukan refleksi tentang cara pandang kita, adalah mulai me-reach out ke mereka. Problemnya adalah kita kadang-kadang soliluquoy, ngomong antara kita sendiri tapi nggak pernah ke kelompok lain.
 
Untuk kelompok feminis seperti kami, religious resurgence ini mengkhawatirkan karena cenderung ingin mengembalikan perempuan ke ranah domestik. Islam sendiri bagaimana? Saya melihatnya mau di-sugarcoat kayak apa, di dalam Islam, perempuan masih kelas dua.
Saya kira kompleks ya. Posisi perempuan dalam Islam itu lebih kompleks. Misalnya kita lihat QS. Al-Mujadilah, yaitu surat tentang perempuan yang mendebat dan direkam oleh Quran. Jadi ada seorang perempuan yang mendebat Nabi karena tidak suka suaminya. Jadi perempuan yang digambarkan subordinate, mungkin tidak juga, karena ada perempuan yang berani dan bahkan mendebat Nabi Muhammad dan itu digambarkan  oleh al-Quran dengan penuh sanjungan.
 
Ada tesis yang ditulis oleh Saba Mahmood, salah satu pemikir muslimah yang sekarang relatif punya nama besar. Ia mengajar di University of California, Berkeley. Ia menulis buku judulnya Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Jadi, penelitiannya di Mesir tentang perempuan-perempuan yang aktif di masjid, mengajar anak- anak di masjid. Argumennya dia adalah, masjid kan ranah laki-laki. Tapi di Mesir, ketika perempuan terlibat di masjid, mereka menemukan agency-nya. Mereka punya hak mengajar anak-anak mengaji, berceramah di kalangan perempuan dan berpengaruh.
 
Jadi walaupun dengan memakai jilbab, dengan datang ke masjid, seolah-olah dari luar perempuan jadi lebih tersubordinasi, tapi argumen Mahmood ini menarik, bahwa dengan demikian justru perempuan menemukan agency-nya. Mahmood mempersoalkan argumen feminis seperti yang dikemukakan oleh Judy Butler, misalnya, yang cenderung mengkontraskan antara agency dan freedom. Anda pilih, anda mau freedom atau anda kehilangan agency. Menurut Mahmood tidak juga. Karena dengan masuk dari dunia laki-laki, ia menemukan agency-nya.
 
Menurut saya, agency itu bisa dimunculkan di konteks yang paling konservatif sekalipun, apalagi di Indonesia, di mana ruang untuk perempuan tidak setertutup atau terbatas seperti di negara-negara Arab. Secara umum pandangan orang mengenai perempuan bekerja di luar….jilbab memang menjadi fenomena, tetapi saya kok tidak melihat… Ya mungkin ada sebagian orang yang mendefinisikan kesalehan dengan jilbab, tapi sepertinya itu tidak menjadi pandangan umum. 
 

 

Sebuah penelitian menunjukkan peran dominan bisnis dalam jilbabisasi Indonesia. 

 
Saya kemarin mengisi kuliah di UGM tentang hak asasi manusia dan syariah. Ada salah satu utusan dari Aceh. Ketika saya sebutkan, mungkin saya terlalu keras, bahwa Aceh adalah salah satu bagian dari pelanggaran HAM yang nyata, ketika orang-orang, bahkan non-Muslim dipaksa memakai jilbab dst, dia bilang, nggak juga, itu bagian dari cara kita untuk melindungi perempuan. Saya jengkel betul pemaksaan jilbab argumennya adalah untuk melindungi perempuan.
 
Saya sampaikan kepada mereka salah satu penelitian di kelompok kita, penelitiannya sangat kuantitatif. Jadi sebagian besar Muslim (Aceh) sendiri merasa hukum tentang pakaian itu melanggar hak-hak sipil mereka. Kalau Muslimah sendiri seperti itu, bagaimana dengan non-Muslim yang dipaksa memakai jilbab berdasarkan Qanun? Poin saya adalah, ketika mereka dipaksa memakai jilbab, mereka tidak merasa mendapat kesalehan. Jilbab tidak bisa menjadi ukuran tingkat kesalehan seseorang dan mereka sendiri tidak merasa seperti itu. Justru orang yang menolak (saat itu) adalah mahasiswi UGM, yang memakai jilbab, yang bilang saya pakai jilbab tapi tidak merasa saya yang paling saleh.
 
Tapi apakah pandangan bahwa kesalehan bukan ukuran adalah pandangan minoritas? Karena yang memakai jilbab semakin banyak. Apakah itu peer pressure?
Ada keberhasilan dari para kapitalis juga sih. Mereka menjadikan ini fashion – ada aspek bisnisnya juga. Ada penelitian dari seorang profesor feminis dari Indiana University, di Bloomington, Carla Jones, yang khusus meneliti tentang aspek finansial dari jilbab. Dia melakukan penelitian critical sekali, bagaimana bisnis bermain sangat dominan dalam jilbabisasi di Indonesia. Jadi jilbab ini ada permainan kapitalis juga, media, dan seterusnya. Bisnis jilbab ini luar biasa.
 
Pebisnis ini menggunakan berbagai cara untuk mengambil keuntungan, tidak peduli dampaknya. Tapi sebenarnya, ini menguntungkan kelompok-kelompok seperti PKS, yang menganggap hal ini adalah keberhasilan dakwah mereka. Yang agresif memang PKS, tapi orang-orang yang punya duit itu berkontribusi juga. Dan perannya tidak sedikit.
 
Bayangkan sampai ada jilbab halal. Lalu artis memakai jilbab, dibayar banyak sekali oleh pebisnis untuk iklan. Orang lalu melihat, artis saja pakai jilbab. Dan itu dampaknya besar untuk masyarakat umum. Kemudian ada asumsi bahwa mereka tobat, seolah-olah sebelumnya salah. Publik secara luas harus diingatkan bahwa ada banyak faktor, termasuk kerja pebisnis.
 
Kalau dari argumen agama saya kira Pak Quraish (Shihab) sudah jelas. Mungkin dari (argumen) agama tidak akan pernah selesai, tapi yang kita tidak sadari bahwa para pebisnis menggunakan artis-artis untuk menjual produknya, dan ini bisnis besar. Dan mereka tidak peduli arah bangsa kita toh? Yang penting dapat keuntungan ekonomi. Itu pentingnya kita mengingatkan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *