‘Blonde’: Menonton Mendiang Marilyn Monroe Dieksploitasi Lagi
Awalnya, saya kira si sutradara ingin mengkritik Hollywood yang jahat pada Marilyn Monroe. Tapi, kok malah sambil melakukan hal yang sama?
Blonde, film terbaru Andrew Dominik, dibuka dengan prolog yang lumayan mengenaskan. Prolog ini bisa dilihat sebagai tes buat penonton. Kalau kalian terganggu dengan isinya, mungkin baiknya tidak lanjut menonton film yang durasinya tiga jam kurang sedikit ini.
Sebelum menjadi Marilyn Monroe (Ana de Armas), gadis itu bernama Norma Jeane (Lily Fisher). Ia tinggal bersama ibunya, Gladys (Julianne Nicholson) yang secara mental sangat tidak stabil. Setelah menunjukkan foto yang ia sebut sebagai ayah Norma Jeane, Gladys membawa anaknya ke Hollywood Hills pada saat kebakaran. Ia bersi keras mengatakan bahwa ayah Norma ada di sana. Polisi yang tidak percaya dengan kata-kata Gladys akhirnya memaksa mereka untuk kembali pulang.
Di apartemen, Gladys mencoba untuk menenggelamkan anaknya sendiri di bath tube. Beruntung, Norma Jeane berhasil lolos dan tinggal di rumah tetangganya. Gladys akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa, sementara Norma Jeane diserahkan ke panti asuhan.
Adegan tragis ini hanyalah awal mula dari serangkaian mimpi buruk yang dialami Norma Jean.
Mengulas Blonde adalah sebuah pekerjaan yang agak susah.
Karakternya memang nyata, tapi Blonde adalah adaptasi dari buku Joyce Carol Oates berjudul sama, yang sebetulnya adalah fiksi. Ini saja sudah membuat saya bertanya-tanya. Apakah Blonde termasuk biopik? Atau apakah ini hanya film fiksi lain yang kebetulan karakternya memang diadaptasi dari dunia nyata? Ditambah dengan cara bertutur Dominik yang cukup tidak biasa, Blonde menjadi sebuah anomali tersendiri.
Tapi, mari kita lupakan dulu presentasinya dan kita lihat kontennya.
Baca Juga: Peran ‘Perempuan Korban’ di Film: Basi dan Harus Ditinggalkan
Mengeksploitasi Kembali Mendiang Marilyn Monroe
Hasil akhir semua produk seni—termasuk film—sangat tergantung dengan penontonnya. Melihat Blonde, saya sangat tertarik dengan obsesi Dominik untuk mempersembahkan fragmen-fragmen derita yang dialami Marilyn Monroe. Ada gagasan seolah-olah dia ingin mengkritisi cara industri film mengeksploitasi tokoh yang sangat terkenal ini, tapi di saat yang bersamaan juga melakukan hal yang sama.
Gambar pertama yang muncul dalam Blonde adalah pantatnya Marilyn Monroe. Dominik sedang mereka ulang visual Marilyn Monroe yang sangat terkenal. Tapi, kesan yang saya dapatkan adalah eksploitasi tubuhnya Marilyn Monroe.
Dominik merekam wajah para pria di keramaian yang terlihat haus menatap Marilyn Monroe sebelum akhirnya menunjukkan wajah perempuan yang menjadi tokoh utama film ini. Tadinya, saya mengira pembukaan ini adalah homage atau semacam pengingat kepada penonton tentang siapa Marilyn Monroe. Tapi sisa filmnya, dan bagaimana Dominik mempersembahkan Marilyn Monroe, membuat saya merasa Dominik tidak ada bedanya dengan laki-laki yang ada di keramaian, di depan Monroe.
Sepanjang film kamera sinematografer Chayse Irvin mengintip dan menelanjangi setiap jengkal tubuh Marilyn Monroe. Adegan-adegan yang ia tampilkan tidak ada yang membosankan, semuanya serba sensasional. Kalau tidak erotis, adegan yang Dominik tampilkan adalah teror. Penonton dipaksa untuk melihat Marilyn Monroe diperkosa (lebih dari sekali), aborsi sampai keguguran. Dan saya belum membahas CGI fetus bayi Marilyn Monroe—adegan yang ramai dihunjam kritik di media sosial. Singkatnya, imaji-imaji tentang Monroe yang ditampilkan Dominik di film ini justru menyederhanakan sosok yang ingin ia pertontonkan ke penonton.
Baca Juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya
Blonde Jadi Tontonan yang Menyiksa
Blonde terasa makin menyiksa karena ia dibikin dengan teknik yang sangat baik. Aspek teknisnya dibikin lebih dari mumpuni. Saya mungkin tidak akan pernah mengerti kenapa Andrew Dominik mengganti-ganti aspek rasio dan kenapa filmnya kadang hitam-putih, kadang berwarna, tapi Blonde adalah salah satu film yang visualnya enak dilihat. Presentasi audionya juga tidak kalah mengesankan. Menonton Blonde rasanya seperti sedang demam dan kamu melihat visual-visual yang tidak koheren muncul silih berganti.
Selain itu, Dominik sepertinya juga begitu telaten mengarahkan aktornya sehingga Ana de Armas begitu berkomitmen memerankan tokoh ikonik ini. Penampilannya meyakinkan. Dalam beberapa angle, de Armas bahkan terlihat persis seperti Marilyn Monroe.
Totalitasnya memerankan Marilyn Monroe tidak berhenti di visual. Ia sangat berkomitmen memerankan semua adegan teror yang dipilih Dominik untuk kita tonton. Rasa mual yang saya rasakan saat menonton Blonde mungkin tidak akan terasa nyata, kalau saja Ana de Armas setengah-setengah memproyeksikan setiap kesakitan yang Dominik eksplor di film ini.
Dalam Blonde, Norma Jeane dewasa mengatakan bahwa dia tidak mengenali dirinya saat melihat Marilyn Monroe di layar. Hal yang sama juga, ironisnya, terjadi di film ini. Dominik tidak tertarik untuk mengajak penonton melihat betapa berbakatnya Marilyn Monroe atau bagaimana Marilyn Monroe bisa memiliki comedic timing yang baik. Dominik lebih tertarik untuk membuat torture porn. Semuanya serba soal luka. Makian, cacian, pukulan, kekerasan seksual sampai akhirnya addiction.
Baca juga: ‘The Batman’ Versi Matt Reeves: Manusia Kelelawar yang lebih Humanis
Sekali lagi, karya seni dilihat tergantung oleh penontonnya. Tapi dalam kasus Blonde, saya merasa semua pilihan yang Dominik pilih, meninggalkan rasa pahit di mulut. Bagian buruknya, saya yakin, Blonde bukan film terakhir yang berusaha untuk menginvestigasi (atau mengeksploitasi) si tokoh larger-than-life itu.
Blonde dapat disaksikan di Netflix