Permendikbud Kekerasan Seksual yang Penuh ‘Catatan Kaki’
Demi rasa aman, Permendikbud Ristek PPKS diterapkan di perguruan tinggi. Namun, apakah ini cukup?
Beberapa hari belakangan, Magdalene menerima sejumlah pesan di Instagram. Mereka mengaku dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau. Semua kompak melaporkan rekan mahasiswanya yang mengalami kekerasan seksual oleh seorang dekan. Dinukil dari Tempo, Tim advokasi Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) Universitas Riau, Agil Fadlan menjelaskan, (4/11), korban kekerasan seksual saat ini masih merasa trauma secara mental.
Kasus kekerasan seksual sendiri terjadi pada (27/10). Korban yang tengah bimbingan proposal justru ditanya hal-hal tak relevan, seperti kehidupan pribadi hingga pekerjaan. Usai bimbingan, korban hendak bersalaman dengan pelaku untuk berpamitan. Namun, pelaku menggenggam kedua bahu korban dan mendekatkan tubuhnya. Pelaku kemudian memegang kepala korban dengan kedua tangannya, lalu mencium pipi kiri dan kening korban, lalu berkata, “Mana bibir, mana bibir?”
Kasus ini menjadi paradoks di tengah pengesahan Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang digadang-gadang jadi gebrakan Nadiem.
Majelis Ormas Islam (MOI) Indonesia yang beranggotakan 13 Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sendiri, merilis pertanyaan sikap yang menolak keras substansi dari pasal-pasal yang ada dalam peraturan anyar ini.
MOI menilai, Permendikbud Ristek PPKS secara tidak langsung justru melegalisasikan perzinaan yang bertentangan dengan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
MOI juga menggarisbawahi kekerasan seksual yang kerap terjadi kepada perempuan dan anak-anak, salah satunya disebabkan oleh praktik zina dan LGBT. Dengan demikian MOI tidak melihat adanya urgensi dari penerbitan Permendikbud Ristek PPKS ini dan menolak keras penerbitannya.
Melihat adanya penolakan dari sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki tafsiran berbeda mengenai Permendikbud Ristek PPKS, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) pun merilis pernyataan sikap.
KOMPAKS menilai penerbitan Permendikbud Ristek PPKS adalah sebuah langkah strategis yang menunjukkan komitmen negara dan perguruan tinggi dalam merespons tingginya angka kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Beberapa Laporan telah mengungkap fakta kekerasan seksual di perguruan tinggi yang bisa dilihat dari Survei #NamaBaikKampus, Rilis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Oktober 2020, dan survei Direktorat Jenderal Kemendikbud Ristek (2020).
Dalam Survei #NamaBaikKampus yang merupakan kolaborasi tiga media jurnalistik, yaitu Tirto, Vice Indonesia, dan The Jakarta Post pada 2019 menunjukkan, terdapat 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di kampusnya. Mayoritas dari korban kekerasan seksual adalah perempuan.
Rilis Komnas Perempuan di Oktober 2020 juga mencatat, ada 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020. Sementara, dalam survei Direktorat Jenderal Kemendikbud Ristek (2020) disebutkan, 77% dosen mengatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dengan sebanyak 63% dari korban yang mengalami kekerasan seksual tidak melaporkan kasus tersebut.
Nihilnya Perlindungan Korban dan Poin Penting Penerbitan
Meningkatnya angka kekerasan seksual di kampus adalah konsekuensi dari nihilnya peraturan tentang penanganan dan perlindungan korban kekerasan seksual. Peraturan yang telah tersedia sayangnya masih belum mampu memberikan perlindungan menyeluruh dan pencegahan terhadap potensi kekerasan seksual secara substansi dan implementasi.
Oleh sebab itu, KOMPAKS mengapresiasi terbitnya Permendikbud Ristek PPKS yang mencakup 7 (tujuh) poin penting:
- Mengisi kekosongan hukum perihal pencegahan, penanganan, dan perlindungan korban kekerasan seksual yang memprioritaskan kebutuhan dan keadilan bagi korban;
- Permendikbud Ristek PPKS lahir dari pengalaman korban kekerasan seksual di pendidikan tinggi yang kerap diabaikan oleh negara dan kampus;
- Merumuskan definisi kekerasan seksual yang akomodatif didasarkan pada pengalaman korban serta mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual yang belum dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang ada;
- Memposisikan perguruan tinggi sebagai salah satu aktor kunci dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus;
- Mengatur upaya pencegahan kekerasan seksual dengan melibatkan pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dalam peran pencegahan dan penanganan kekerasan seksual melalui berbagai kegiatan;
- Mengatur upaya penanganan melalui pendampingan dan perlindungan bagi korban dan saksi, pengenaan sanksi administratif bagi pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual, dan pemulihan bagi korban yang secara keseluruhan implementasinya selama ini masih buruk;
- Membentuk Satuan Tugas yang didasarkan pada merit, transparansi, dan partisipasi sivitas akademika untuk menindaklanjuti kekerasan seksual yang dilaporkan, menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, dan lainnya.
KOMPAKS pun berharap dengan diterbitkannya peraturan ini, Permendikbud Ristek PPKS dapat menjadi dasar dan acuan bagi sistem pelaporan dan penanganan kasus kekerasan seksual bagi korban yang selama ini suaranya dibungkam.
Tidak hanya itu, KOMPAKS juga berharap Permendikbud Ristek PPKS dapat menjamin perlindungan dan pemulihan bagi korban. Pun, dapat mengurangi risiko terjadinya kekerasan seksual di kemudian hari. Dalam hal ini, kampus pada akhirnya dapat benar-benar menjadi ruang ruang aman bagi seluruh sivitas akademik di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Pada akhirnya, KOMPAKS mendorong disegerakannya pelaksanaan Permendikbud Ristek PPKS di perguruan tinggi untuk merespons kasus kekerasan seksual yang semakin sering terjadi berikut dengan mendorong Kementerian lain untuk mencontoh langkah baik Kemendikbud Ristek.
KOMPAKS juga berharap Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menunjukkan komitmen serupa dengan segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU TPKS yang memuat pasal-pasal yang berperspektif pada keadilan dan perlindungan korban.