Culture

‘Bukan Perawan Maria’ Mengkritik Praktik Beragama Islam Mayoritas

Cerita-cerita pendek keagamaan karya Feby Indirani membuat merenung, menghunus, dan memantik emosi.

Avatar
  • July 2, 2019
  • 5 min read
  • 799 Views
‘Bukan Perawan Maria’ Mengkritik Praktik Beragama Islam Mayoritas

“Jemaah mendengungkan amin dan shalawat, khusyu’, perlahan menuju langit, menembusnya. Mereka bisa kusuruh apa saja”.

Ada dua alasan mengapa saya memulai ulasan buku kumpulan 19 cerita pendek bertema keagamaan Bukan Perawan Maria karya Feby Indirani ini dengan potongan terakhir cerpen berjudul “Iblis Pensiun Dini”. Pertama, akhir dari setiap cerpen di buku ini memiliki kalimat yang membuat merenung, menghunus, dan memantik emosi. Setidaknya itu yang saya rasakan setiap kali sampai di kalimat penghujung setiap cerpen.

 

 

Kedua, cerpen tersebut menyebutkan secara gamblang bahwa orang-orang beriman kepada pemimpinnya, bukan kepada agama dan Tuhannya. Dan sebagai pemimpin agama mereka tahu bahwa pengikutnya bisa disuruh apa saja, mulai dari bunuh diri sampai meminum air kencing unta. Sesuatu yang kontekstual saat ini.

Jika dilihat sepintas, judul buku ini membuat kita berpikir bahwa ini bukanlah buku untuk mengkritik praktik beragama Islam mayoritas. Ini mungkin buku yang ditujukan kepada penganut agama Nasrani, karena judulnya mengandung kata “Maria” bukan Maryam, ibunda Nabi Isa AS. Maria adalah ibu dari Yesus. Setidaknya itu yang selalu dijadikan alasan mengapa orang-orang Islam konservatif menolak mengucapkan “Selamat Natal” dan perdebatan soal itu seperti tidak bosan kita ulangi setiap tahun. Karenanya, buku ini tidak diragukan lagi ditujukan kepada orang-orang yang masih waras dan bisa berpikir rasional bukan kepada kelompok Islam konservatif-radikal yang tidak mau mengakui bahwa Isa adalah juga nabi dalam Islam.

Buku terbitan Pabrikultur ini diluncurkan pada Juli 2017, dan pertengahan Juni 2019 ini diterbitkan di Italia, setelah diterjemahkan Antonia Soriente, ahli kajian bahasa dan sastra Indonesia dari Universitas Napoli Lâ’Orientale.

Pada peluncurannya di Jakarta dua tahun lalu, Feby menyertainya dengan pameran seni 19 karya dari tujuh seniman di Taman Ismail Marzuki. Karya-karya seni tersebut kurang lebih menjadi gambaran visual dari cerita-cerita yang ditampilkan oleh Feby dalam bukunya. Selain itu, ada pula pameran kumpulan buku-buku bagaimana doktrin keagamaan konservatif dibentuk mulai dari buku siksa kubur melalui majalah Hidayah; komik Siksa Neraka yang terkenal karena banyak gambar telanjang yang disiksa; sampai Bocoran Pertanyaan Alam Kubur dan Kunci Jawabannya.

Namun yang mencuri pandangan saya dan menjadi alasan saya menuliskan ulasan ini adalah karya berjudul “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya”. Jika cerpen dengan judul yang sama itu menceritakan perempuan yang kehilangan bagian-bagian di wajahnya, dimulai dari hidungnya lalu bibirnya, karya seni ini menampilkan bagaimana perempuan kehilangan dirinya, mulai dari nama.

Ketika menikah, ia akan dipanggil berdasarkan nama suaminya, setelah punya anak kemudian berubah lagi menjadi ibu dari anaknya. Perempuan, melalui nama saja perlahan-lahan kehilangan dirinya sebagai individu karena telah melebur dan diidentifikasi berdasarkan subjek-subjek yang bertalian darah dengannya. Saya melihat karya ini seharusnya menjadi kritik yang tajam bagi feminisme di Indonesia untuk mengevaluasi apakah ibu rumah tangga memiliki eksistensi sebagai manusia dan individu.

Kembali ke buku, sekali duduk dan dalam waktu kurang dari sejam, kita bisa selesai membacanya dan menjadi berpikir banyak tentang keagamaan yang kita jalani sebelumnya, dan bagaimana agama menjadi komoditas untuk berjualan pada hari ini. Cerita-cerita dalam kumpulan cerpen ini menggelitik dan menyentil, seperti “Ruang Tunggu” yang membayangkan bagaimana jika para “pengantin” teroris menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada 72 bidadari yang dijanjikan di surga nanti. Atau “Tanda Bekas Sujud”, tentang bagaimana “riasan” bulatan hitam di dahi para lelaki “saleh” menjalar ke seluruh wajah karena kesukaannya untuk meneror orang lain atas nama keimanan diri.

Yang juga tidak kalah menarik adalah cerita yang menjadi judul buku ini. “Bukan Perawan Maria” mengkritik tajam dikotomi perempuan baik dan jalang yang selalu dipercayai umat beragama mana pun. Bahwa perempuan yang tidak lugu, tertutup, dan tidak terbuka seksualitasnya adalah perempuan baik yang dipuja.

Saat perempuan seperti Maria yang ada di luar kategori perempuan baik-baik kemudian hamil, siapa yang akan melindungi dan mempercayainya? Apakah pada hari ini nasib perempuan di masa lalu yang dianggap hina dan rendah berubah jadi lebih baik? Tidak. Perempuan masih terjebak dalam dikotomi tersebut dan selalu perempuan yang menjadi korban dalam berbagai tafsir keagamaan. Agama adalah salah satu alat untuk mengontrol perempuan dan membuatnya sekedar objek seks dan kepemilikan laki-laki.

Sayangnya, buku ini menjadi serba tanggung. Sebenarnya konten buku ini berkualitas, dengan kritik beragama yang disajikan dalam narasi yang ringan tapi tajam. Cerpen-cerpen dalam buku ini mengajak berpikir dan berefleksi tentang perempuan dalam agama. Dan dengan itu seharusnya buku ini bisa menjadi buku feminis yang mendobrak doktrin beragama secara keseluruhan seperti buku-buku Nawal El Sadawi seperti Perempuan di Titik Nol.

Namun penulis tampaknya masih malu-malu untuk menyatakan buku ini memang untuk mengkritik dan mendobrak melalui strategi pemasaran “Relaksasi Beragama”. Beragamanya pun harus kita pertanyakan lagi, karena pemakaian nama “Maria” dan bukan Maryam membuat buku ini seakan-akan tidak ditujukan kepada kelompok Islam konservatif melainkan kelompok Kristen, padahal isi buku ini terang-terangan mengkritik kelompok Islam konservatif-cenderung radikal.

Apabila kita membaca buku ini dengan cara pandang yang sudah rasional dalam memandang agama Islam, kita mudah menerima dan mencerna buku ini karena orang-orang beragama yang diceritakan dalam buku ini adalah imajinasi dari yang kita bayangkan tentang kelompok Islam konservatif-radikal. Tapi hanya kulit luar saja yang tampak. Kita tidak melihat bagaimana pola mereka berkomunikasi, perekrutan hingga bertukar perasaan secara dalam dan seperti pengakuan sosial dalam kelompok, rasa kekeluargaan dan bagaimana iman dipersepsikan sesungguhnya hingga melupakan akal ataupun konflik kelas sosial dan kesenjangan ekonomi sehingga orang-orang mau melakukan penggerebekan tempat-tempat maksiat.

Sedangkan dari aspek feminine writing, cerita-cerita dalam buku ini berani untuk menggambarkan kerugian yang selalu dialami perempuan dalam beragama, tapi sayangnya, kritik feminis tidak menjadi kritik utama. Padahal saya melihat ada potensi yang baik untuk Feby berfokus pada kritik feminis sebagai gebrakan baru untuk mengkritik keagamaan yang tidak bersifat apologi seperti yang sudah-sudah. Saya harap Feby akan mempertimbangkan fokus pada kritik feminis dalam beragama Islam di Indonesia pada karya-karya selanjutnya.

Ilustrasi oleh Marie Cecile.



#waveforequality


Avatar
About Author

Nadya Karima Melati

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah “Membicarakan Feminisme” (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *